Mohon tunggu...
Riza Hariati
Riza Hariati Mohon Tunggu... Konsultan - Information addict

SAYA GOLPUT!!!! Tulisan yang saya upload akan selalu saya edit ulang atau hapus tergantung mood. Jadi like dan comment at your own risk. You've been warned!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kenapa Ada yang Geer Merasa Pantas Jadi Menteri?

9 Juli 2019   10:56 Diperbarui: 9 Juli 2019   12:06 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan semakin mendekatnya pengumuman kabinet, orang semakin berlomba-lomba mempromosikan dirinya sendiri atau jagoan mereka, agar terpilih sebagai Menteri dalam kabinet Jokowi 2019 ini.

Ada satu-dua diantara mereka yang memang betul pantas untuk dicalonkan. Punya kemampuan, punya pengalaman yang dibuktikan dengan track record kerja yang jelas, ada basis dukungan rakyat baik melalui partai, sosial media maupun lembaga keagamaan, dan punya latar belakang pendidikan yang mumpuni.

Tapi ada juga yang kurang tahu diri, tidak punya apa-apa, tidak bisa apa-apa, tapi ngotot mencalonkan diri. Ada yang karena iseng-seng berhadiah, siapa tahu hoki bisa terpilih. Kita tidak tahu di zaman ini 'kan? Bahkan Walikota Solo bisa jadi Presiden.

Ada juga mereka yang merasa berjasa memperjuangkan Jokowi dalam kampanye gila-gilaan kemarin. Bahkan ada yang dicalonkan sekedar karena punya tampang ganteng dan cantik dan ngetop di sosial media!

Kenapa ya orang-orang yang inkompeten ini merasa begitu geer sehingga merasa punya peluang besar untuk terpilih?

Ternyata sifat geer seperti ini adalah hal yang normal sekali. Kebanyakan manusia, termasuk saya dan Anda, seringkali menilai dirinya secara berlebihan. Fenomena ini dinamakan Dunning-Kruger Effect.

Misalnya saat kita menilai kedisiplinan diri, pengorbanan yang pernah dilakukan untuk orang lain, ketabahan, kerja keras, kasih sayang, hasil karya, kemampuan pengelolaan keuangan dan sebagainya, kita cenderung merasa jauh lebih baik dari pada yang sebetulnya kita lakukan atau berikan.

Dan herannya, orang yang lebih kecil kemampuannya justru adalah yang paling merasa geer, paling merasa kompeten. Misalnya : yang pengorbanannya paling sedikit, justru merasa sudah berkorban jauh lebih banyak dari orang lain. Yang rada bloon, justru merasa lebih pintar ketimbang orang lain.

*sampai disini, bahkan saya pun merasa tersindir, heheh..

Psikolog Dunning dan Krueger dalam penelitiannya ditahun 1999 menyatakan, bahwa manusia yang inkompeten mempunya dua 'kutukan'.

Pertama, dia tidak mampu melakukan hal tertentu dalam bidang yang ingin dikuasainya. Misalnya ada orang yang tidak cukup kompeten untuk mengatur keuangan.

Kedua, dia tidak punya standar untuk menilai apakah betul dia tidak mampu. Di point pertama, orang tersebut bukan ahli keuangan dengan standar tertentu, sehingga menilai dirinya terutama pakai feeling atau berdasarkan pujian dari orang disekitarnya, yang belum tentu tulus. Semata hanya ingin menjilat saja.

Tapi kebanyakan orang, jika diingatkan dengan baik, melalui standarisasi atau tes tertentu, akan menyadari kelemahannya dan tidak lagi merasa geer.

Misalnya mereka yang belajar bahasa Inggris secara autodidak. Merasa sudah lancar sekali, karena orang-orang disekelilingnya sama sekali tidak bisa bahasa inggris. Tapi begitu melakukan tes TOEFL dengan hasil dibawah rata-rata, barulah menyadari bahwa dirinya tidak sehebat yang dia sangka.

Dan inilah sebabnya, semakin banyak orang tahu, semakin berkurang kegeeran seseorang atas kemampuan dirinya. Karena dia semakin menyadari standar apa yang diperlukan agar dia termasuk kedalam golongan mereka yang kompeten.

Orang-orang tua bilang : semakin berisi, padi semakin merunduk.

Meskipun demikian bukan berarti 'padi yang berisi' ini tidak bermasalah. Kadang karena mereka punya standar yang terlalu tinggi untuk menilai diri sendiri, sehingga mereka jadi susah sekali merasa puas dan gembira atas hasil kerja mereka. Orang kadang mengatakan mereka jadi terlalu perfeksionis. Sehingga mungkin sekali calon menteri yang paling mumpuni, malah justru merasa tidak sanggup mencalonkan diri sendiri.

Selain itu juga kadang mereka salah mengira orang-orang disekeliling mereka juga punya standar yang sama tingginya.

Mereka mengira, orang-orang yang inkompeten ini memang sudah menilai dirinya dengan baik sehingga berani mempromosikan diri sendiri. Atau malah mengira orang inkompeten ini sengaja menipu mereka. Padahal mereka betul-betul semata hanya geer saja.

Jadi untuk para calon Menteri di kabinet Jokowi nanti, perlu ada standar yang jelas dan transparan yang harus mereka penuhi. Sehingga mereka yang tidak masuk kedalam standar ini, mudah-mudahan, akan mundur dengan sendirinya dan tidak malah marah-marah dan ngambek karena tidak terpilih.

Demikian juga untuk pendukung mereka tidak merasa junjungannya dikhianati oleh Jokowi tinggal mencocokkan calonnya kedalam standar ini, sehingga tidak terus-terusan berperang tidak karuan di sosial media padahal calonnya jauh panggang dari api.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun