Mohon tunggu...
Riza Nur Ubaidillah
Riza Nur Ubaidillah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

orang bodoh Yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Puncak Para Dewa (Catatan 2011)

15 Desember 2013   16:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:54 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan bagi saya adalah sebuah keintiman tersendiri, dalam, dan liar. Meresapi setiap jengkal langkah, mensyukuri setiap sandungan, merayakan setiap tikungan. And enjoy the moment.  Nalar saya tidak sampai pada konsep kebanyakan orang dengan landscape visi misi yang jauh melampaui kekinian.

Hari beranjak senja, mendung bak mengulum mega,  burung-burung berterbangan kembali ke sarangnya seolah melengkapi fragmen senja yang sendu. Dan mulailah saya menulis ini. Tulisan lama yang telah berdebu dalam direktori file hardisk laptop saya sejak 2011 yang lalu, tulisan yang  tidak aktual dengan konteks keriuhan zaman saat ini. Dan jangan harap mengandung inspirasi, sebab tulisan ini tidak pernah bersenggama dengan impian yang mendakik-dakik. Sederhana saja, tentang pendakian ke salah satu gunung berapi di jawa *yang mana gunung tersebut mendadak populer setelah industri perfilman bersepakat untuk memproduksinya dikemudian hari*, lebih tepanya tulisan ini adalah pengalaman pertama saya bercinta dengan pegunungan, singkat kata beginilah ceritanya.

………..

Berawal dari ide seorang kawan yang hendak  ke bromo seorang diri, seketika itu seakan ada sengatan listrik dari alam bawah sadar saya membumbung naik ke alam sadar, tergilitik oleh imajinasi keindahan panoramanya yang sesekali pernah saya lihat dari foto-foto dan gambar,  seakan ada sesuatu yang meronta dan memaksa untuk mengakhirinya dengan keputusan untuk mengikut sertakan diri menjelah bromo. Namun tampaknya ide kawan saya itu akan berkolaborasi secara apik dan harmonis dengan ide saya yang sudah terlalu lama meronta-ronta, sebuah ide yang sarat akan ambisi. Ide yang tadinya hanya menjadi imajinasi dalam keliaran pikiran. Menggapai daratan tertinggi pulau jawa, puncak para dewa, mahameru. Tanpa perdebatan mufakat pun diambil, disini kami benar-benar mengabaikan hal-hal yang berbau perkuliahan, entah ini corak ambisius kekanak-kanakan atau memang semacam kehausan akan kebebasan  dari rutinitas formal yang menjemukan.

Hari berganti hari, tiba saatnya untuk meluncur ke destinasi prolog, kota malang. Kami berangkat dari jogja minggu pagi, sekitar pukul 9 pagi dengan sepedamotor.Perjalan cukup saya nikmati, melalui jalur selatan, sepanjang jalan wonogiri trenggalek tulungagung sampai ponorogo kami disuguhi pemandangan yang indah, bukit-bukit hijau berbaris elok dengan sentuhan manis lembut pohon-pohon rindang yang gagah, dan tidak lupa waduk gajah mungkur wonogiri. Sesampainya di Blitar,Perjalanan sedikit terganggu, ban bocor, tak tanggung-tanggung 4 lobang. Perjalanan terhambat hampir satu jam lebih. Jam menunjukkan hampir pukul 11 malam, kami sampai di kota malang. Setelah mengisi perut kami meluncur ke kos seorang kawan di malang untuk sekedar melepas rasa letih.

Keesokan harinya, destinasi awal yang sudah ditentukan, bromo. Setelah sedikit menggali informasi tentang rute yang harus kami lalui, sepeda motor pun terpacu menembus sesaknya jalanan kota malang menuju nongkojejer.Memasuki wilayah ini udara terasa semakin dingin, cuaca berkabut ditambah gerimis seakan menari-nari elok nan menggemaskan, perjalanan sempat terhenti karena gerimis berangsur-angsursemakin deras. Tak sabar menunggu hujan yang tak kunjung reda perjalanan kembali kami lanjutkan, jalanan naik dan berliku, berangsur-angsur cuaca terlihat cerah, langit biru lazuardi membentang indah dengan awan-awan tipis yang menghiasi bukit hijau, tebing-tebing curam, lahan pertanian benar-benar memanjakan mata, ada satu pemandangan yang memaksa untuk menghentikan laju sepeda motor, sekumpulan ibu-ibu sedang menggarap kebun,dan apa yang membuat saya kagum adalah, keberanian srikadi-srikadi tersebut “macul” di lereng bukit yang sangat-sangat curam mungkin mendekati 90 derajat, dengan membelakangi jurang seolah tak ada jurang di belakangnya. Yang pasti pekerjaan seperti itu cukup sepele untuk srikandi-srikandi itu, sementara kita di kota dengan gagahnya membicarakan emansipasi, feminisme, kesetaraan gender dan bla, bla, bla. Ibu-ibu itu sudah memberikan praksis yang nyata dan proporsional.

kabut sudah berada dibawah kami. Sesaat kemudian panaroma eksotis gunung bromo yang bersanding mesra dengan gunung batok semakin memanjakan mata, dinding-dinding gunung seakan terukir indah dengan irisan-irisan seni kualitas tinggi, dihiasi kepulan asap putih bersih yang termuntahkan dari kawah bromo dan awan-awan yang mengitarinya, dipercantik lagi dengan kaldera (lautan pasir) yang membentang luas dihalaman gunung yang disucikan suku tengger tersebut, mengesankan.

waktu menunjukkan pukul 4 sore, angin cukup kencang menghantarkan hawa dingin di sela-sela jaket, kebetulan ada lapak kecil dibelakang kami, tanpa berpikir panjang, kopi panas sudah didepan mata, plus semangkuk bakso tengger, sekedar menghangatkan badan dan mengganjal perut yang meronta-ronta.

Awalnya kami berniat bermalam dengan tidur diemperan warung atau dipendopo, namun dewi fortuna seolah sedang memihak pada kami, di area view point penanjakan seorang srikandi baik hati menawarkan untuk beristirahat di dalam warungnya gratis, biar tidak terlalu kedinginan ujarnya. Obrolan hangat pun mengalir begitu saja dan lagi-lagi kopi hangat sudah tersaji. Langit semakin beranjak gelap, sleeping bag sudah terbentang bak ranjang mewah hotel bintang 5. Kami diperlisalahkan istirahat, jika lapar kami diizinkan memasak mie instan yang ada diwarungnya.weeenak..to..??

Sebenarnya malam belum terlaru larut, tapi udara dingin memaksa untuk tetap bertahan menjadi kepompong dalam sleeping bag, dan waktu terus berjalan. Menjelang subuh, telinga terganggu dengan suara bising sepeda motor dan jip yang naik kepenanjakkan, kami terbangun, siap-siap menyambut sunrise.

Situasi di view point sebenarnya cukup kondusif, namun mata saya sedikit terganggu dengan coretan tak karuan, bermacam-macam tulisan mulai, paijo love painem dan seterusnya, entahlah apa maksudnya, yang jelas budaya vandal tersebut tak elok dilestarikan. Tidak hanya mata yang terganggu, telingapun agak sedikit terganggu dengan petikan gitar yang fals plus suara fals dari rombongan wisatawan yang datang dengan mobil pick up, entah dari mana.

Fajar pagi sedikit mengecewakan, kabut masih terlalu tebal menutupi panorama bromo, mungkin kami terlalu pagi, beberapa saat kemudian kami turun dari penanjakan ke warung tempat kami istirahat semalam. Selanjutnya turun ke kaldera, dengan hati cemas karena bensin sangat kritis , kondisi jalanpun parah, bahkan beberaoa terputus karena longsor. Berakit-rakit kehulu, akhirnya kami sampai di kaldera, setelah foto-foto sekedarnya, motor kami parkir, kemuadian diteruskan dengan jalan kaki menuju 250 tangga kawah bromo.

Perjalanan cukup melelahkan menanjak dan berpasir, beban tas carier semakin memberatkan langkah.Sesaat sebelum tiba dibibir tangga kawah bromo, kawan saya menyerah, mungkin tidak setimpal diatas sana ujarnya, kepalang tanggung sudah didepan mata, saya tidak menyerah, carier dan jaket saya lucuti dari badan, nyalakan mp3, back soudnya don’t stop me know queen. Panorama kaldera dan bukit-bukit hijau mengelilingi masih memanjakan mata.Hanya saya sendiri yang kebetulan naik.  Jalan semakin menanjak, keringat mulai bertetesan, nafas pun tersengal-sengal,aroma belerang mulai terdeteksi syaraf-syaraf penciuman. 250 tangga sudah tertimbun pasir menambah berat langkah, cukup melelahkan.. and finally tiba juga di kawah bromo.

Tepat di bibir kawah langkah sontak terhenti, bukan saja karena takjub menyaksikan tungku alam yang menyimpan lahar menyalak-nyalak tak henti-hentinya menyembulkan asap putih, kadang kehitam-hitaman, kaki pun gemetaran ngeri karena sama sekali tak ada pagar pembatas seperti yang saya lihat digambar-gambar sebelumnya, mungkin karena erupsi beberapa bulan yang lalu. Saya memutuskan untuk cukup jongkok melongok ke dalam kawah, dan tak lupa mengambil gambar sekedarnya, sesekali terdengar gemuruh yang terkesan angker dari dalam kawah disusul dengan menyembulkan asap putih kehitam-hitaman, nyali terasa kecut dan ciut, langsung sigap turun kebawah. Saat turun saya sudah ditunggu tukang penyewa kuda, ah tak apalah merogoh kocek untuk merasakan sensasi ala koboi, setelah tawar menawar harga akhirnya cukup 20 ribu.

Hari sudah semakin terik, kami pun memutuskan untuk kembali ke malang, jalur pulang yang kami lalui berbeda, mengingat jalan yang rusak parah. Lumayan agak jauh, tapi tak apalah. Anggap saja itu harga yang harus dibayar.

Hari sudah beranjak sore kami tiba di malang, ini bukan akhir petualang, justru petualangan yang lebih seru belum di mulai. Masih ada destinasi utama, Semeru.Menggapai puncak para dewa, Mahameru.

/////////////PUNCAK PARA DEWA

Ini adalah Hari yang saya tunggu, segala perlengkapan sudah rapi di carier. Dari kawasan jl.gajayana sumbersari malang Kami meluncur ke tumpang, via jl.adisucipto malang jarak perjalanan kurang lebih 90 menit, sesampainya di tumpang, insting malu bertanya sesat dijalan menyeruak, kami tidak tahu arah menuju desa ranu pane, desa terakhir di lereng semeru. Setelah jawaban kami dapat, sepeda motor kembali berpacu, masih di kawasan tumpang, sesekali saya melihat kelompok-kelompok pendaki siap melaju dengan jip-jip sewaan. Memang kebetulan, musim mungkin sedang bagus-bagusnya untuk mendaki gunung.

Sepanjang perjalanan menuju ranu pane, lagi-lagi kami dihadapkan pada kondisi jalan yang tidak nyaman namun semua itu terbayar lunas bahkan lebih dengan pemandangan yang luar biasa indah, savana-savana hijau nan lembut dimata membentang luas, langit begitu biru cerah dengan awan-awan tipis, angin sepoi-sepoi begitu sejuk menampar-nampar wajah, sesekali saya hirup udara dalam-dalam sambil memejamkan mata, memasukkan keindahan-keindahan itu dalam hati. Sungguh jika memungkinkan, mungkin setiap saat camera tak henti-hentinya mengabadikan keindahan-keindahan prototipe surga tersebut. Namun yang saya khawatirkan batre bakal tumpas sebelum sampai mahameru. Akhirnya keindahan itu cukup saya rekam dalam benak.

Tiba di ranu pane, sekitar pukul 12 siang lebih, aura damai benar-benar terasa di desa sejuk ini, nama ranu pane sendiri adalah nama danau yang ada di desa tersebut, posisinya berada di sebelah timur pos perizinan pendakian semeru, namun sayang ada beberapa sampah yang menganggu keindahan danau tersebut, tidak banyak tapi cukup mengganggu.

Situasi di pos perizinan cukup kondusif, tak terlalu ramai. namun saya sempat kecewa karena pendakian hanya diizinkan sampai kali mati yaitu pos terakhir sebelum mahameru yang berjarak 8 jam perjalanan ke puncak tersebut, Entah atas pertimbangan stastus gunung atau apalah,namun yang jelas saya sudah berambisi untuk sampai di puncak mahameru, tak peduli.

Perizinan cukup mudah, lagi pula kami sudah mempersiapkan segala keperluan periziznan sewaktu masih di jogja, yaitu surat keterangan sehat dan foto kopi ID (KTP,SIM,KTM dan sejenisnya).setelah melengkapi beberapa persyaratan administratif kami berangkat. Carier yang luar biasa berat sudah nempel di badan lengkap dengan jaket tebal, kami pun melangkah, selangkah demi selangkah, awalnya kami melalui jalan lebar yang biasa digunakan para petani setempat untuk menuju sawah dan kebunnya sampai akhirnya kami menjumpai jalan setapak agak menanjak, 10-20 menit kami berjalan keringat mulai bercucuran, kami memutuskan untuk berhenti untuk melucuti jaket. Saya sendiri akhirnya hanya memakai kaos tak berlengan dan celana pendek army yang saya beli di alun-alun kota malang seharga 25 ribu saja. Bersamaan dengan berhentinya langkah kami, kamipun diselip rombongan lain yang ada diblakang kami, mereka cukup hangat menyapa kami.

Jaket sudah saya jejalkan pada carier yang sebetulnya sudah penuh sesak, sesaat kemudian kami mulai melangkah, medan tidak seterusnya menanjak sesekali datar bahkan turunan. Keringat sudah cukup deras membasi tubuh, persediaan air kami cukup aman. Lagi pula jika persediaan air tumpas, di ranu kumbolo dari info-info yang saya dapat sesuai dengan namanya ranu yang berarti danau pastinya air cukup melimpah disana. Beberapa menit perjalanan tampaknya kawan saya sudah nampak kelelahan, kami pun menghentikan langkah. Saya sendiri, entah karena terlalu bersemangat atau apa, lelah benar-benar belum terasa. Semakin jauh perjalanan kawan saya menunjukkan gelagat yang saya khawatirkan akan menyerah sebelum waktunya. Tak mau hal itu terjadi, akhirnya saya putuskan untuk mengurangi beban yang dibawa kawan saya, beberapa botol air minum dan tenda yang dibawanya migrasi ke badan saya, tas army berisi air dan tenda saya bopong layaknya bayi, beban kawan saya berkurang hanya membawa keperluan perut yang tidak seberapa, hanya tas ransel kecil, sebenarnya saya pun ragu tentang logistik sepertinya kurang (maklum pengalaman pertama), kami hanya membawa, beras kurang dari 2 kg, 4 kaleng sarden, sosis, madu, sekoteng instan dan kopi.

Perjalanan ke ranu kumbolo tak sesingkat yang saya bayangkan, hari sudah mulai gelap namun tanda-tanda bahwa kami sudah mendekati ranu kumbolo belum nampak, sesekali kami istirahat meluruskan kaki, merebahkan badan di rumput dan tanah terasa nikmat luar biasa. Seiring perjalanan yang berliku dan menanjak sesekali terdengar suara rintihan pilu dari bagian tubuh saya, tampaknya suara itu irama keroncong dari perut saya. Lapar. Sebenarnya kami sudah membawa bekal 2 nasi bungkus, namun ini santapan untuk nanti sesampainya di ranu kumbolo, supaya tidak repot-repot masak nasi (yang memang nantinya sungguh merepotkan) dan bisa langsung istirahat. Akhirnya kami masing-masing mengganjal perut dengan sepotong sosis, dan rasanya, MasyaAllah, Subhanallah, Puji Tuhan, Haleluyaa.. mak nyus. Bukan berlebihan tapi dengan situasi seperti itu hal-hal yang kita anggap sepele di luar sana bisa menjadi luar biasa pada situasi seperti ini. Namun santapan kecil itu belum manjur untuk meredam rengekan perut. Kami harus bersabar.

Semakin jauh kaki melangkah semakin matahari beranjak ke lengkung bumi yang lain, jalan semakin gelap hawa dingin mulai menusuk-nusuk, kabut mulai tebal, gerimis pula melengkapi suasana, otomatis jalan menjadi licin kami harus lebih waspada dalam melangkah, sedikit lengah jurang di kanan kiri siap menelan. Hari sudah benar-benar gelap, suasana sedikit mencekam, pohon-pohon besar yang mungkin sudah lanjut usia memberikan nuansa film horor, sungguh tidak lucu jika seketika genderuwo atau kuntilanak berpose di pohon-pohon itu dengan situasi dan kondisi seperti ini, mau lari?  Desa ranu pane sudah terlalu jauh. Namun perhatian saya tidak terlalu concern ke imajinasi ala film horor tersebut namun lebih kepada kaki yang mulai pegal dan pundak seakan kaku dengan beban tas carier. Belakangan diam diam saya berhipotesa apa jangan-jangan industri film horor yang selalu mengidentikan hutan dengan hantu itu bekerja sama dengan cukong-cukong konglomerat pengusaha kayu, supaya masyarakat tak keberatan jika hutan di gunduli sampai akar-akarnya. Ah ini kan hanya sekedar kelakar pikiran saya saja, namun bisa jadi, sangat mungkin. Sesaat saya menghentikan langkah, hawa dingin dan gerimis memakasa untuk kembali mengenakan jaket dan mempersiapkan senter. Sesaat kemudian Semangat sedikit terpompa ketika melihat rambu yang bertuliskan ranu kumbolo 500m, walau mulut terkunci rapat namun batin seakan bersorak ala komred rusia “URA!!!”.

Selangkah demi selangkah, dalam kegelapan samar-samar saya melihat titik-titik cahaya dari tenda pendaki yang sudah mendahului di kejauhan dan danau, tidak bisa lain itu pasti ranu kumbolo bukan danau toba apalagi waduk gajah mungkur wonogiri. Namun semangat sedikit ciut karena titik cahaya itu mengisyaratkan jarak kami masih jauh. Jalanan mendekati ranu kumbolo menurun dan licin, ditambah dengan gelapnya malam kami harus lebih ekstra hati-hati. semapat terjadi sedikit perdebatan, apakah kami akan nge-camp disini atau tidak karena lokasinya benar-benar basah. seketika saka salah satu pendaki di belakang kami meberikan sedikit informasi, bahwa kita harus jalan lagi menanjak lagi untuk mendapatkan lahan yang tepat untuk mendirikan tenda. Sabar.

Setelah sekitar 50-60 menit kami berjalan, akhirnya tiba juga di ranu kumbolo, saya tidak bisa menyaksikan apa-apa selain beberapa tenda yang sudah mendahului kami dan danau yang terlihat samar-samar karena kabut dan gelap. Setelah hunting tempat yang tepat untuk mendirikan tenda, kami dapat tempat sedapatnya, yang penting datar dan kebetulan dekat dengan danau.

Setelah sedikit kebingungan mendirikan tenda sebab tidak seorang pun dari kami memiliki pengalaman mendirikan tenda macam ini, saya sendiri hanya berpengalaman dengan tenda pramuka itu pun waktu masih sd, dalam suasana gelap hanya dibantu senter dengan cahaya yang hidup segan matipun tak mau ditambah hawa dingin yang membuat badan saya tak henti-hentinya bergetar dalam frekuensi dinamis namun tak berirama kadang do kadang sol kadang berketukan 4/4 kadang keluar tempo. Akhirnya santap malam kami sikat, nasi ayam plus sambel, nikmat.

Urusan perut sudah aman, saya sudah mengepompongkan diri dalam sleeping bag tapi dingin masih benar-benar terasa, malam ini kami istirahat di ranu kumbolo untuk melanjutkan perjalanan esok pagi. Sebelum pagi menyingsing, di samping tenda kami terdengar kegaduhan yang sangat mengganggu, saya pun kembali terjaga, nampaknya pendaki yang baru tiba sedang mendirikan tenda tepat disamping tenda kami. Saya mencoba untuk duduk, dan tiba-tiba saya merasakan sakit yang luar biasa di pundak, serasa di tusuk-tusuk jarum, mungkin akibat tas carier yang berat itu. Dalam gelap saya meraba-raba tas ransel untuk mencari salonpas, berharap mampu meredam rasa sakit.

Pagi tiba, tak di diduga ternyata tenda kami tepat di depan danau dengan pemandangan 2 bukit yang katanya matahari pagi timbul dari sela-sela keduanya, namun sayang kabut masih terlalu tebal sehingga sunsire tak terlihat sempurna. Ranu kumbolo merupakan danau yang berada di ketinggian 2400mdpl, air yang terkandung didalamnya tentu saja bersih dari segala kontaminasi zat-zat asing, segar dan menyegarkan, suci dan mensucikan. Ranu kumbolo dikelilingi bukit-bukit ala teletubies, seolah membentuk mangkuk besar, hijau lembut menyegarkan hati. Seiring matahari yang kian naik, panorama eksotis mulai terlihat jelas, dan di belakang tenda kami terdapat bukit dengan jalan setapak yang cukup menanjak curam, menurut informasi yang sebelumnya saya dapat dari internet, itu disebut tanjakan cinta. Karena memang bukit itu sekilas membentuk simbol yang lazim kita kenal sebagi simbol cinta, walaupun saya pribadi lebih sepakat jika simbol cinta itu cukup dengan gambar melingkar saja. dan mitosnya barang siapa yang mendaki tanpa menoleh kebelakang maka setiap keinginannya akan terwujud dan kisah cintanya akan indah bak cerita-cerita dongeng, percaya g’ percaya, Namun bagi saya mitos tersebut saya anggap sebagai metafor dan lebih bermuatan filosofis bahwa jika kita harus fokus pada apa yang kita inginkan (mungkin), tak perlu mengungkit-ungkit yang lalu jika tidak berguna , percaya pada diri sendiri dan keberhasilan bukan sekedar lamunan utopis belaka.

Setelah kabut berangsur-angsur menghilang kami sempatkan diri untuk asik dengan pikiran masing-masing mencerna keindahan-keindahan  yang ada. Berkontemplasi sejenak, menggali dalam-dalam lalu masuk ke ruang batin. Sesaat kemudian, kami beranjak menuju danau yang kebetulan dekat dengan tenda kami, mengisi air di botol2, cuci muka, gosok gigi, mandi?? gila .

Matahari semakin gagah di atas awan, kami pun hendak membongkar tenda, namun sebelumnya kami sempatkan diri untuk sarapan, menanak nasi, kesalahan kami yaitu tidak membawa tutup panci, alhasil nasi tak kunjung masak, kami harus menghemat parafin sebagi bahan bakar satu-satunya yang kami bawa. Akhirnya tidak ada pilihan lain, kami pun sarapan dengan nasi setengah matang (serasa makan beras) dicampur sedemikian rupa dengan sarden. Walaupun rasanya abstrak, tetap harus kami makan semampunya,rasa bukan prioritas disini.

Setelah sarapan dan tenda yang sudah kami bongkar kami siap melanjutkan perjalanan, kami harus melewati tanjakan cinta yang sudah saya gambarkan diatas.Bukan saya terlalu angkuh dan mengabaikan mitos yang ada, namun saya berhenti untuk mengabadikan panorama ranu kumbolo yang terlihat segar nan indah , , maka berhentilah saya di tengah jalan dan menoleh kebelakang.

Sesampainya di ujung tanjakan, kami berhenti sejenak untuk meneguk segarnya air dari ranu kumbolo, memang benar-benar terasa segar sejuk ditenggorokan dan tentunya kaya mineral yang membantu menambah energi kami, kami istrihat tepat dibawah pohon rindang yang sejuk, dan kami bisa memuaskan mata menatap ranu kumbolo dari atas, dan cakrawal biru membentang melingkupinya.

Disini kami sempat bertemu rombongan pendaki lain, sekitar 5 orang (seingat saya), mereka dari madura. Sesekali kami larut dalam obrolan sederhana, tapi mereka lebih asyik ngobrol dengan bahasa mereka sendiri yang jelas saya maupun kawan saya Cuma bisa mlongo. Dan akhirnya mereka melanjutkan perjalanan sedang kami masih asyik memandang mangkuk raksasa di depan kami.

Sesaat kemudian kami melanjutkan perjalanan, kami sempat melewati semak yang cukup tinggi, dan saya tidak menyangka bahwa semak itu adalah semacam tirai sebelum saya dibuat terkagum-kagum dengan panorama yang nanti akan saya jumpai.

Semeru, memang banyak kejutan apalagi bagi kami yang baru kali pertama menjelajahinya. Pemandangan indah yang tertutup tirai tadi sudah ada di depan mata, tempat ini disebut oro-oro ombo, sesuai dengan namanya oro berarti rumput ombo berarti luas, seolah berada di negeri lain  semacam afrika mungkin karena saya juga belum pernah kesana, batas cakrawala saya tentang negeri lain masih dibantu oleh media elektronik (TV). Pandang rumput hijau dengan bukit-bukit ala teletubbies bunga-bunga ungu yang indah (entah apa namanya) kawan saya menyebut itu bunga lavender, namun saya ragu untuk memastikan.

Sepanjang melangkah di oro-oro ombo kami melewati rerumputan yang riuh rendah menari tersapu angin, sesekali saya membentangkan kedua tangan untuk menyentuh tumbuhan itu dan meresapi keindahan dalam benak. Tepat didepan oro-oro ombo terdapat hutan cemara yang tentunya penuh dengan pohon cemara sesuai dengan tempatnya yang banyak pohon cemara tempat ini di sebut cemoro kandang. konon katanya sesekali ditempat ini kita bisa menjumpai kijang-kijang liar.Namun saya tidak menjumpainya.

Sesampainya di cemoro kandang kami rehat sejenak, kami sudah memasuki hutan cemara, vegetasi disini didominasi pohon-pohon cemara yang tinggi-tinggi. Saya merebahkan badan, tampaknya keindahan-keindahan yang saya jumpai melupakan rasa sakit yang semalam saya rasakan, meskipun masih terasa sakit tak tertahankan. Saya pun merebahkan tubuh melihat jauh kecakrawala biru dengan siluet-siluet ranting dan dedaunan cemara yang memberi kesan serasa di eropa.Sungguh suasana semakin terasa syahdu dengan iringan musik dari mp3 yang selalu setia “nyantel” di telinga saya. Badan memang terasa kaku dan pegal namun jiwa begitu sejuk dan damai, sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang.Sesekali juga saya mendengar suara angin yang bertiup kencang menghantam dinding-dinding bukit. Benar-benar hiburan yang menentramkan hati jiwa dan pikiran.

Tujuan kami selanjutnya adalah Kali mati, pos terakhir sebelum Mahameru, dari puncak masih berjarak kurang lebih 8 jam perjalanan, rencanya kemi nge-camp lagi disana, dan tengah malam nanti baru menuju ke puncak Mahameru. Kami diam-diam mengabaikan instruksi petugas perizinan di ranu pane untuk hanya mendaki sampai kalimati saja. Sudah kepalang tanggung.

Ditengah perjalan dari cemoro kandang kami sempat selap-selipan dengan rombongan pendaki dari madura tadi, hingga sampai akhirnya puncak mahameru mulai terlihat jelas, gagah dan angker. Terbesit dalam benak saya, medan menuju kepuncak pastilah berat hanya debu batu dan pasir, dan vegetasi terakhir sebelum puncak ada di cemoro tunggal, tempatnya setelah arcopodo. Ditengah perjalanan menuju kalimati kami sempat khawatir dengan persediaan air kami, kami hanya membawa 3 botol air saja. Namun saya sedikit tidak khawatir, sebab di kalimati masih terdapat sumber air yang sering disebut sumber mani (yang nantinya sungguh merepotkan).

Hari sudah mulai sore, kami pun tiba di kalimati, hamparan lapang yang luas dan tepat berada dibawah puncak Mahameru. Setelah mencari tempat untuk mendirikan tenda kami bagi tugas, saya mengurus tenda, kawan saya mencari sumber air untuk mengisi botol yang sudah tumpas, sebelum kawan saya beranjak pergi saya berpesan jika terlalu jauh kembali saja tempat ini masih terlalu asing untuk kita.

Beberapa saat kemudian, saya masih sibuk mengurus tenda, saya sempat kesal karena tidak ada tanah yang tepat untuk menancapkan patok tenda. Namun konsentrasi saya benar-benar buyar karena kawan saya tak kunjung nampak pula. Saya sempat khawatir, pikiran mulai terbayang yang tidak-tidak, jangan-jangan dan jangan jangan. Namun saya usahakan untuk tetap tenang, dan saya cukup lega ketika kawan saya akhirnya datang juga. Dengan langkah gontai tak berarah, sambil membawa botol yang masih kosong. Artinya sumber air tak di dapatnya, ya sudah akhirnya kami harus menghemat. Kawan saya sudah tiba, tapi tenda belum beres.kami gagal dari tugas masing-masing, akhirnya dengan sedikit bersusah payah, tenda pun sudah siap. Seiring dengan itu saya melihat beberapa pendaki lain mulai tiba di kalimati, dan ada beberapa yang pergi membawa botol kosong, mereka pasti hendak macari sumber air, langsung sigap sayapun meraih botol kosong dan membututi mereka seorang diri.

Perjalanan menuju sumber air ternyata cukup jauh, saya menyusuri sungai mati tentu saja sesuai namanya kali mati, dinding-dinding tebing terdapat pohon-pohon tinggi dan pasir, sangat rawan longsor. Saya masih membututi 2 orang pendaki sebagai penunjuk jalan tak resmi. Setelah hampir 40 menit berjalan akhirnya sampai di sumber air, tampaknya sudah ada beberapa pendaki yang mendahului. Sumber air itu tidak terlalu besar, hanya pancuran dengan air yang timbul dari sela-sela tebing, airnya sedingin es, tangan saya tak mampu bertahan lama kontak denganair karena memang sangat dingin, sayang saya hanya membawa satu botol air saja, sungguh tak setimpal dengan perjalanannya. Setelah membersihkan muka dan mengisi air saya kembali ke tenda, perjalanan menuju tenda tanpa guide, sendiri sepi dan suasana menyeramkan, sungguh tidak lucu jika tiba-tiba ada binatang buas kongkow-kongkow ditengah jalan, usut-punya usut dikawasan ini masih ada beberapa hewan buas.Selangkah demi selangkah keringat bercucuran dan sesekali saya tenggak air yang baru saja saya dapat, serasa dari kulkas. Akhirnya sampai juga di tenda, akhirnya saya bisa merebahkan badan.

Saya sempat tertidur selama 10-15 menit, sampai hawa dingin mulai terasa menerkam tubuh. Hari beranjak gelap, setelah mengenakan jaket 2 lapis saya sempatkan berjalan-jalan disekitar kali mati menikmati sunset, sesekali saya menyaksikan puncak Mahameru memuntahkan wedus gembel, hal itu sudah lazim terjadi. Biasanya sekitar 15-30 menit sekali.

Hari sudah gelap, kami mulai memasak air untuk menghangatkan badan, suhu terasa dingin sekali. Masih belum terlalu larut malam namun kami memutuskan untuk masuk ke dalam tenda karena memang dingin tak tertahankan, 2 lapis jaket yang saya pakai sungguh tak membantu, akhirnya saya memakai 3 kaos dirangkap dengan 3 jacket dan 4 lapis celana sambil menenggelamkan diri dalam kepompong sleeping bag.Cukup membantu.

Seharusnya kami memanfaatkan waktu untuk istirahat, namun mata belum bisa terpejam, kami masih asik dengan pikiran masing-masing, sesekali muncul obrolan tentang bagaimana nanti medan yang akan kami hadapi, dan kami sebentar lagi akan berdiri di puncak tertinggi pulau jawa, SBY sebentar lagi ada dibawah kami, sesekali pecah tawa kami. Dan satu-satunya obrolan yang nerusak suasana adalah tugas kuliah yang terbengkalai jauh di jogja sana.ahh..kemudian senyap.

Waktu terus berputar, jam sudah menunjukkan pukul 22.00 kami mulai mempersiapkan beberapa "perabotan" yang mesti kami bawa. Yang pasti kami membawa air dan cemilan, kebetulan kami masih punya sosis dan roti. Sebelumnya kami memang sudah janjian dengan rombongan pendaki dari madura untuk mendaki puncak bersama-sama, dan mereka ng-camp tidak jauh dari kami, tampaknya mereka sudah siap. Perlengkapan mereka jauh lebih lengkap dari kami, maklum kami pendaki jadi-jadian.

Setelah persiapan selesai, kami dan kawan-kawan kami dari madura itu berdiri melingkar, kebetulan satu dari mereka sudah pernah mendaki semeru, setelah memberi gambaran medan yang akan kami tempuh, kami berdo’a, saya masih ingat kata-katanya “mari berdo’a menurut keyakinan masing-masing semoga perjalanan kita menuju mahameru tidak ada halangan berarti dan bisa kembali ke kalimati dengan keadaan untuh“, kemudian “Mahameru” sontak kami menjawab dengan “woy”.

Dari tenda, kami mengambil arah kanan, suasana gelap dan dingin sekali, saya dan kawan saya hanya membawa satu senter yang hidup segan mati pun tak mau, kami memang kurang dalam persiapan. Namun kami cukup terbantu dengan kawan madura itu. Perjalanan saat ini menuju arcopodo, konon dulu sesuai dengan namanya ditempat itu terdapat arco(arca) podo (sama/kembar) arca kembar, namun sudah hancur termakan usia, karena arca itu hanya batu dengan ukiran-ukiran tertentu. Jalan cukup sulit, hanya setapak terjal dan licin. Sesekali kami mengistirahatkan kaki yang memang terasa lemas. Namun semakin kami naik, langit begitu indah dengan bintang-bintang gemerlap, satu persatu rasi bintang bisa terlihat dengan jelas. Dan mulai terlihat lampu-lampu kota memanjang yang terlihat kecil bak jaring laba-laba. Di tengah perjalanan sesekali terdengar peringatan dari pendaki lain “awas jurang, mepet kanan”.

Sampai di arcopodo ternyata terdapat pendaki yang nge-camp disini. Lokasinya tidak seluas kalimati, kondisinya didominasi lahan terjal dan beberapa memang datar, dan disitu mereka mendirikan tendanya. Perjalanan kami lanjutkan.

Kami mulai memasuki ujung vagetasi terakhir dari arcopodo, setelah melewati semak belukar kami menjumpai tanah yang hanya terdiri dari pasir dan batu. Jalan sempit setapak yang diapit dua jurang di kanan kiri, cukup membuat nyali ciut, dan saya melambatkan langkah kaki.

Kami sudah dekat dengan puncak Mahameru, beberapa pendaki sudah mendahului kami, terlihat titik-titik cahaya di ujung atas sana mungkin itu cahaya dari lampu senter pendaki.

Medan sebelum puncak adalah medan paling berat di gunung ini, sangat curam dan 100 kali lipat dari medan kawah bromo. Sesekali saya pun berjalan merangkak dengan tangan mencakar-cakar pasir dan batu, dingin seperti menyentuh es, sampai-sampai kaos tangan saya bolong karena merangkak. Dingin terasa menusuk-nusuk, jalan yang menanjakan membuat kaki terasa lemas, sangat melelahkan, kami sesekali duduk sembarang di tepi jalan dengan jurang tepat berada di samping, pemandangan yang mengerikan.  Banyak pendaki menyebut medan ini dengan tanjakan rugi, karena jika kita melangkah 5 langkah maka akan merlorot 3 langkah, wajar karena medan berpasir. Tidak sedikit pendaki yang terlihat tersengal-sengal , bahkan tidak sedikit yang menyerah.Saya pun hanya mampu berjalan 5 langkah kemuadian berhenti sejenak melangkah lago 5 langkah dan seterusnya. Fajar mulai menyingsing. Kami belum juga sampai puncak, sesekali saya keluarkan kamera untuk mengabadikan moment, kamera pun terasa sedingin es. Pada saat itu saya sempat dibuat panik karena kamera tiba-tiba ngambek.

Puncak mulai terlihat,masih jauh perjalanan terasa lama sekali, tak kunjung sampai, saya hampir putus asa melihat puncak setinggi itu, energi sudah menipis. Akhirnya saya putuskan untuk tidak melihat kepuncak, saya hanya meperhatikan 1-2 meter kedepan, karena melihat ujung tanjakan ini serasa tidak mungkin untuk menyelesaikannya. Di sini saya  tidak perlu terlalu bervisi pada tujuan, tapi bervisi pada proses itu sendiri. tidak mudah .Tidak ada kuaci yang berhadiah mercy.

Selangkah demi selangkah, kawan saya masih berada dibawah saya bersama kawan-kawan dari madura. Saya tidak mau istirahat terlalu lama, karena saya sempat istirahat terlalu lama dan saya tertidur, mungkin karena terlalu lelah. Hal ini cukup berbahaya di tempat seperti itu. Saya sempat tertidur 2-3 kali.

Puncak sudah semakin dekat, saya tetap konsisten dengan lima langkah dan berhenti, terus dan terus. Akhirnya saya sampai di Mahameru, saya tersenyum sendiri. Entah apa yang saya rasakan, bukan sekedar puas. Saya sempatkan untuk mengabadikan panorama jawa dari puncak tertinggi, berdiri diatas awan. Saya sudah di atas SBY sekarang. Saya sampai dipuncak sendirian, kawan saya masih di bawah dengan kawan-kawan madura. Tepat berada di depan saya, kawah jonggring seliko. Saya sempat menjumpai sebuah prasasti yang ditujukan untuk mengenang Soe Hok Gie. Setelah mengambil gambar sekedarnya, saya beranjak ketepi menunggu kawan saya yang hampir sampai. Saya benar-benar haus dan lapar.

Akhirnya kawan saya pun sampai puncak, tapi ia urung untuk sekedar berjalan-jalan dipuncak, mungkin sudah terlalu lelah. Tak berapa selang kemudian, kami memutuskan untuk turun. Tak kurang dari dari 2 jam kami sudah tiba dikali mati, sungguh singkat jika dibandingkan dengan perjalanan semalam.

Perjalanan ke puncak semalam sungguh menguras energi, setibanya di tenda kami langsung terbaring melepas rasa letih yang sangat. Bibir saya pecah-pecah karena hawa dingin puncak. Sore nanti kami turun.

Sore sudah tiba, kami sudah merapikan barang bawaan kami, kami bergegas turun langsung menuju ranukumbolo sebelum gelap. Dengan sisa-sisa energi kami berjalan selangkah-demi selangkah. Singkat cerita, Hari mulai gelap kami sudah sampai di ranu kumbolo, kami mendirikan tenda agak jauh dari danau tepa di sebelah prasasti untuk mengenang pendaki dari UGM yang meninggal di kawasan ini tahun 2009 lalu.

Malam telah larut, kali ini disini tak berkabut cukup cerah bahkan bintang-bintang terlihat indah sekali. Setelah menghangatkan badan dengan kopi. Kami hendak tidur, istirahat kali ini sungguh tak bisa saya nikmati, suhu benar-benar terasa dingin, jauh lebih dingin dari pertama kami datang tempo hari, semua pakaian apapun yang berbahan kain yang saya bawa saya jejalkan dalam sleeping bag, sungguh tidak membantu. Akhirnya saya putuskan untuk menghangatkan badan dengan membuat api, maksud hati hendak memasak air yang kebetulan botol-botol air saya letakkan diluar tenda. Saya cukup terkejut melihat air tersebut sudah mengeras membeku.tenda kami ternyata diselimuti embun-embun yang sudah menjadi kristalan-kristalan es..hhmmm...pantes.

Pagi pun tiba, sunrise sangat indah tepat muncul disela-sela dua bukit, bayangannya cukup indah terlukis di permukaan danau. Apa yang tidak kami dapat tempo hari kami dapat hari ini.

Seiring hari semakin terik kami memutuskan untuk turun ke ranu pane, sepanjang jalan menuju ranu pane hal yang paling sering kami bicarakan adalah “nasi ayam” bagaimana tidak, selama di sini kami harus puas makan hanya dengan nasi yang tidak matang. Siang hari kami sudah sampai di ranu pane, lega rasanya bisa kembali dengan selamat, kami langsung menuju warung nasi yang ternyata juga sudah ada bebrapa pendaki yang beru turun mendahului kami di situ. Maksud hati ingin nasi ayam, ternyata hanya menyediakan nasi rawon. Setelah lahap kami makan dan melapor ke pos periziznan kami meluncur kemalang untuk esok kembali ke jogja. Dengan harapan suatu hari nanti akan kembali kesini.*dan memang kembali lagi :)*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun