Zinc (seng) adalah salah satu mikromineral yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang sangat sedikit yaitu ≤ 100 mg/ hari. Angka kecukupan gizi untuk masyarakat dewasa Indonesia terhadap zinc adalah 8 – 11 mg, tergantung usia dan jenis kelamin, dan untuk ibu hamil atau menyusui kebutuhan Zinc meningkat hingga setengahnya1.
Zinc diperlukan karena terlibat dalam sintesis DNA dan RNA, menstimulasi aktivitas hampir 100 enzim didalam tubuh, sebagaimana kita ketahui bahwa enzim merupakan zat pemercepat proses metabolisme di dalam tubuh. Selain itu, zinc juga berperan dalam sistem pertahanan tubuh karena mengaktifkan sel T (limfosit T). Sel ini bekerja dengan dua cara yaitu mengendalikan respon imun dan menyerang sel yang membawa kuman penyebab penyakit. Zinc juga berperan dalam penyembuhan luka dan pertumbuhan serta perkembangan anak, terutama pada organ reproduksi dan tulang2.
Sayangnya tubuh tidak dapat memproduksi zinc sendiri, sehingga asupan ini harus didapatkan dari makanan atau suplementasi. Sumber utama zinc adalah daging merah, hati, telur, hewan laut bercangkang (tiram, lobster, kepiting, udang), jamur shitake, kacang-kacangan seperti kacang tanah, merah, polong, mete, almond, dan termasuk olahan kacang kedelai seperti tempe dan tahu3,4.
Kekurangan zinc dapat menyebabkan menurunkan jumlah dan fungsi sel pertahanan tubuh dalam darah sehingga tubuh memiliki kondisi rentan infeksi2. Selain hal tersebut kekurangan zinc juga dapat menurunkan nafsu makan2, menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak termasuk terhambatnya kematangan seksual. Bahkan dapat menimbulkan kerontokan rambut, ruam hingga erosi kulit, serta sindrom malabsorbsi usus, bahkan diare5.
Salah satu penyakit akibat kekurangan zinc adalah AcroDermatitis Enteropathica (ADE / AE). ADE ini merupakan kelainan langka yang disebabkan oleh kekurangan zinc yang diturunkan atau didapat. Bentuk “diturunkan” adalah diturunkan secara resesif autosomal dapat terjadi akibat mutasi gen SLC39A4, yang mengkode transporter seng ZIP4, yang menyebabkan gangguan penyerapan seng dalam tubuh. Sedangkan bentuk “didapat” dapat terjadi akibat asupan makanan yang tidak mencukupi, misalnya pada kasus rendahnya kadar zinc dalam susu pada wanita menyusui, peningkatan kehilangan zinc, seperti pada penyakit gastrointestinal (diare bandel, fistula usus) atau kehilangan urin (penyakit ginjal), malabsorbsi seperti pada penyakit radang usus kronis, dan peningkatan kebutuhan, seperti pada bayi prematur6.
ADE pertama kali dijelaskan pada tahun 1936 oleh Brandt dan kemudian diidentifikasi sebagai penyakit definitif pada tahun 1942 oleh Danbolt7, sebagai ruam akral yang berhubungan dengan diare. Pada tahun 1973, Moynahan8 mengaitkan temuan klinis tersebut dengan kadar seng plasma rendah dengan menunjukkan perbaikan pada pasien dengan suplemen seng.
Saat ini perkiraan kejadian atau prevalensi 1 hingga 9 :1.000.000, dengan tingkat kejadian global 1:500.000 pada bayi baru lahir. Penyakit ini dapat muncul di semua kelompok, tidak tergantung pada etnis atau jenis kelamin. Biasanya muncul pada masa bayi, saat bayi disapih, dan lebih awal pada bayi yang diberi susu formula. Defisiensi seng yang didapat dapat terjadi pada semua usia9.
Karena zinc merupakan mikronutrien penting untuk beberapa fungsi dalam tubuh manusia, gambaran klinis dari defisiensi zinc dapat berbeda-beda10,11. Secara khusus, kulit merupakan jaringan ketiga yang paling banyak mengandung zinc (Zn) dalam tubuh (otot rangka 60%, tulang 30%, kulit 5% dan hati 5%). Dengan demikian Temuan dermatologis yang khas pada defisiensi seng adalah kulit kering, bercak bersisik, berbatas tegas, merah, eksim pada wajah (periorificial) dan plak psoriasformis khas5,10.
Selain dermatitis (manifestasi pada kulit) sebagaiman diatas, jika pasien juga menderita diare dan alopecia (rambut rontok), maka hal ini dikenal dengan istilah trias klasik defisiensi zinc14. Trias ini hanya diamati pada 20% hingga 28% kasus dan berkorelasi dengan tingkat keparahan defisiensi 14.15.
Cara paling akurat untuk menegakkan diagnosis ADE adalah dengan mengukur kadar seng plasma atau serum, meskipun ADE dengan kadar seng normal telah dilaporkan16. Pasien dewasa dapat menjalani terapi zinc dengan dosis 2 mg/kg/hari, setidaknya dua atau tiga kali lipat dari tunjangan diet yang dianjurkan yaitu 15 mg/hari. Pemantauan harus dilakukan secara berkala untuk mengukur kadar zinc, hemogram lengkap dengan indeks eritrosit, hitung diferensial, kadar tembaga serum dan darah samar pada tinja. Pasien diperkirakan dapat sembuh total dalam dua minggu5.
Refferensi :
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 28 Tahun 2019 Tentang Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Untuk Masyarakat Indonesia
2. Widhyari, S. D. (2012). Peran dan Dampak Defisiensi Zinc (Zn) Terhadap Sistem Tanggap Kebal. Wartazoa, 22(3).
3. Priyatna, Andri dan Asnol, Uray B.2014.1000 Hari Pertama Kehidupan.ISBN : 978-602-02-3796-1. PT.Elex Media Komputindo
4. Grieger, L. (2021). What is Zinc and What Does It Do? Communicating Food for Health.
5. Saritha, M., Gupta, D., Chandrashekar, L., Thappa, D. M., & Rajesh, N. G. (2012). Acquired zinc deficiency in an adult female. Indian Journal of Dermatology, 57(6). https://doi.org/10.4103/0019-5154.103073
6. D’Amico, G., de Laet, C., Smits, G., Salik, D., Deprez, G., Vilain, C., Perlot, P., & Vicinanza, A. (2021). Acquired zinc deficiency mimicking acrodermatitis enteropathica in a breast-fed Premature Infant. Pediatric Reports, 13(3). https://doi.org/10.3390/PEDIATRIC13030051
7. Danbolt N, Closs K. Acrodermatitis enteropathica. Acta Derm Venereol 1942;23:127-69.
8. Moynahan EJ. Acrodermatitis enteropathica: A lethal inherited human zinc deficiency disorder. Lancet 1974;2:399-400.
9. Ciampo IRLD, Sawamura R, Ciampo LAD, Fernandes MIM. ACRODERMATITIS ENTEROPATHICA: CLINICAL MANIFESTATIONS AND PEDIATRIC DIAGNOSIS. Rev Paul Pediatr. 2018 Apr-Jun;36(2):238-241. [PMC free article] [PubMed]
10. Glutsch, V.; Hamm, H.; Goebeler, M. Zinc and skin: An update. JDDG 2018, 17, 589–596. [CrossRef]
11. Kambe, T.; Fukue, K.M.; Ishida, R.; Miyazaki, S. Overview of inherited zinc deficiency in infants and children. J. Nutr. Sci.Vitaminol. 2015, 61, S44–S46. [CrossRef] [PubMed]
12. Ogawa, Y.; Kinoshita, M.; Shimada, S.; Kawamura, T. Zinc and skin disorders. Nutrients 2018, 10, 199. [CrossRef] [PubMed]
13. https://www.racgp.org.au/afp/2015/may/acrodermatitis-enteropathica-in-an-adult
14. Livingstone, C. Zinc: Physiology, deficiency, and parenteral nutrition. Nutr. Clin. Pract. 2015, 30, 371–382. [CrossRef] [PubMed]
15. Ranugha, P.S.S.; Sethi, P.; Shastry, V. Acrodermatitis enteropathica: The need for sustained high dose zinc supplementation. Dermatol. Online J. 2018, 24, 13030. [CrossRef] [PubMed]
16. Tatlican S, Yamangokturk B, Eren C, Gulbahar O, Eskioglu FA Diagnostic challenge: A case of acrodermatitis enteropathica without hypozincemia and with maternal milk of low zinc level.Pediatr Dermatol 2010;27:534-5.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H