Mohon tunggu...
Riza Almanfaluthi
Riza Almanfaluthi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hamba Allah, abdi negara, penulis, blogger, rizaalmanfaluthi.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Samin dan Sri Mulyani

7 Juli 2017   09:23 Diperbarui: 7 Juli 2017   09:42 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Selama hidup Samin tidak pernah membayar apa yang dinamakan pajak. Sekarang lebih-lebih lagi. Sekali ada pejabat datang ke rumahnya.

"Kau tahu bukan apa artinya pajak?"

"Belum."

"Pajak itu berarti pengakuan atas keberadaan negara. Mengerti? Kau mengakui tidak keberadaan negara itu?"

"Samin sudah setengah abad lebih adanya, tetapi belum pernah ada yang membayar apa yang dinamakan pajak itu."

"O, kalau begitu kau tidak mengerti apa itu negara."

"Negara itu jantan atau betina? Sungguh, seumur hidup aku belum pernah melihat. Heran juga, tahu saja belum, sudah disuruh membayar pajak. Apa Samin dianggap gudang uang atau buyutnya, yang sembarang waktu bisa dimintai."

Dialog antara petugas pajak dengan Samin itu ada dalam sebuah buku yang ditulis oleh Soesilo Toer berjudul Dunia Samin. Samin menurut penulisnya ditokohkan seperti Abunawas dalam dongeng Seribu Satu Malam atau tokoh Nasruddin yang kondang di daerah Armenia. Samin merupakan mustadh'afin, kaum lemah, sosok pinggiran, terpinggirkan, ndesani, tapi tetap mengutamakan kejujuran.

Sayangnya kalau semua warga negara berpikiran seperti Samin saat menihilkan pajak maka apa kata dunia? Apalagi pajak saat ini merupakan tulang punggung pembiayaan negara dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Pada APBN 2017 pajak ditargetkan menyumbang sebesar Rp1.498,9 triliun atau 85,63% dari target penerimaan sebesar Rp1.750,3 triliun.

Maka wajar Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan republik ini dalam acara Kongres Diaspora Indonesia ke-4 di Mal Kota Kasablanka, Jakarta, Sabtu (1/7/2017) yang juga dihadiri oleh Presiden Amerika Serikat ke-44, Barack Obama menegaskan kalau uang pajak yang dikumpulkan tidak dikorupsi dan untuk investasi di Indonesia. Karena untuk hal yang terakhir ini jelas membutuhkan dana besar dan pemerintah harus mengumpulkannya dari pajak.

Sri Mulyani mengutarakan kalau selama ini masyarakat kerap mengasosiasikan pajak dengan tindakan korupsi itu. Padahal menurutnya jika masyarakat tidak bayar pajak, tak ada lagi yang bisa menopang penerimaan negara. Anggapan masyarakat ini yang perlu dibenahi. Masyarakat harus diyakinkan bahwa uang pajak yang mereka bayar tidak dikorupsi dan digunakan bagi kepentingan masyarakat.

Sembari itu Sri Mulyani tidak sekadar omong belaka, karena Desember 2016 silam Sri Mulyani membentuk Tim Reformasi Perpajakan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 885/KMK.03/2016. Pembentukan Tim Reformasi Perpajakan ini untuk memastikan Direktorat Jenderal Pajak sebagai lembaga yang mengumpulkan sebagian besar penerimaan negara itu menjadi institusi perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel.

Reformasi Perpajakan ini dijalankanmelalui transformasi terhadap lima pilar perpajakan Indonesia yaitu organisasi; sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, dan peraturan perundang-undangan. Reformasi perpajakan menjadi penting guna meningkatnya kepatuhan wajib pajak, kepercayaan terhadap pengelolaan basis data/administrasi perpajakan, serta integritas dan produktivitas aparat perpajakan.

Sebagai organisasi yang dinamis Direktorat Jenderal Pajak memang mesti melakukan terus menerus perubahan itu, karena menyadari bahwa ketika menjalankan pola pikir dan cara-cara lama niscaya zamanlah yang akan menggilas Direktorat Jenderal Pajak.

Untuk menunjukkan komitmennya yang kuat terhadap pemberantasan korupsi dan jalannya Reformasi Perpajakan, Sri Mulyani terlibat langsung dalam Tim Reformasi Perpajakan sebagai Ketua I Tim Pengarah. Dan sampai saat ini Tim Reformasi Perpajakan masih bekerja terus menjalankan tugas-tugasnya. Ada sebuah keyakinan besar dari Sri Mulyani bahwa Reformasi Perpajakan ini dapat meningkatkan penerimaan pajak yang kemudian pada akhirnya dapat mengurangi utang negara.

Dalam mengumpulkan uang pajak itu, Pemerintah juga berusaha untuk membongkar batasan kerahasiaan bank yang menghambat pemerintah dalam pemungutan pajak. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Dengan aturan ini, Direktorat Jenderal Pajak memiliki kewenangan bisa mengintip rekening nasabah.

Perppu ini juga sebagai tindak lanjut kesepakatan tentang pertukaran informasi keuangan secara otomatis (automatic exchange of information/AEOI) yang telah ditandatangani negara-negara G-20, termasuk Indonesia. Sebuah beleid yang akan memastikan bahwa orang dengan penghasilan lebih tinggi akan membayar pajak lebih tinggi.

Sebagai petunjuk teknis Perppu itu Sri Mulyani mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 pada akhir Mei 2017 yang salah satunya mengatur kewajiban perbankan melaporkan seluruh rekening nasabah orang pribadi domestik yang memiliki saldo minimal Rp200 juta dengan rekam saldo akhir rekening per tanggal 31 Desember 2017, paling lambat pada akhir April 2018.

Namun mempertimbangkan data rekening perbankan, data perpajakan, termasuk yang berasal dari program amnesti pajak, serta data pelaku usaha, pemerintah memutuskan untuk meningkatkan batas minimum nilai saldo rekening keuangan yang wajib dilaporkan secara berkala dari semula Rp 200 juta menjadi Rp 1 miliar. Sri Mulyani meneken Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017 pada tanggal 12 Juni 2017.

Menurut Sri Mulyani, perubahan besaran itu dilakukan setelah mendengar masukan dari masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya agar lebih mencerminkan rasa keadilan. Selain lebih mencerminkan keberpihakan kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pun pada akhirnya ini lebih memperhatikan aspek kemudahan administratif bagi lembaga keuangan yang melaksanakan ketentuan ini.

Sri Mulyani berharap dengan kemandirian anggaran dari penerimaan pajak itu, Indonesia dapat fokus membangun sumber daya manusia di seluruh Indonesia, utamanya pada dua aspek yang menjadi modal utama yaitu pendidikan dan kesehatan. Seluruh rakyat Indonesia dari Aceh sampai Papua, menurut Sri Mulyani, mempunyai hak yang sama mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang baik. Itu bisa dicapai dengan cara mengumpulkan pajak untuk pembangunan. Yang nantinya tak ada lagi Samin dan kaum mustadh'afin lainnya yang terpinggirkan dan dipinggirkan oleh zaman serta skeptis terhadap pajak.

Memikirkan semua itu yang membuat Sri Mulyani tidak bisa tidur. Sebuah cerminan dari watak manusia yang takut terhadap Tuhannya. Bukankah Allah swt. pernah berfirman dalam Alquran  surat Annisa ayat 9: "Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." 

Nah...

***

Riza Almanfaluthi

6 Juli 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun