Mohon tunggu...
Riza Almanfaluthi
Riza Almanfaluthi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hamba Allah, abdi negara, penulis, blogger, rizaalmanfaluthi.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Hati-hati Kalau Beli Perusahaan

10 Mei 2012   22:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:27 4321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_187507" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption] Saat di KRL Commuter Line petang ini saya dapat email dari Fadly seperti ini: Dears Riza Pada awal February 2012 saya membeli perusahaan seharga Rp 130 juta dari teman saya sendiri, jauh sebelum akad memang saya menanyakan kelengkapan dokumen termasuk hal pajak, dan menurut dia semua komplit dan pajak tidak ada masalah(saya punya bukti-bukti negosiasi by sms dengan dia) Namun setelah akad dan perubahan akta keluar, memang benar data-data lain komplit, namun yg jadi masalah adalah pajak. Karena semenjak tahun 2009-2011 perusahaan tersebut memang tidak pernah lapor pajak (dikarenakan perusahaan pada tahun 2009-2011 itu vacum dan tidak beroperasi dikarenakan pemiliknya mengalami kebangkrutan modal). Terlebih sekarang setelah saya selidiki kembali, ternyata ada kewajiban-kewajiban dulu yang tidak dibayarkan, sehingga terhutang pajak mencapai 100 juta.

Untuk itu saya harus bagaimana dengan situasi ini, dikarenakan saya pertama sudah dibohongi oleh teman, ke dua nya perusahaan baru akan saya gerakkan kembali tapi pajak terhutang sudah sebegitu besarnya. Mohon agar dapat memberikan solusi nya. Salam, [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="*Stress karena pajak (ilustrasi dari photobucket)"]

[/caption]

Fadly

Yang sering disepelekan orang saat beli perusahaan adalah mengabaikan masalah pajaknya. Kalau yang beli adalah perusahaan gede tentu mereka akan berhati-hati saat beli perusahaan. Tetapi jangan dikira perusahaan sekelas Penanaman Modal Asing menerapkan kehati-hatian saat membeli perusahaan. Biasanya yang sering terjebak dan tidak menerapkan prinsip kehati-hatian adalah mereka yang beli perusahaan karena pertemanan.

Saya pernah menjumpai seorang direktur asing yang kelimpungan saat dilakukan konseling oleh saya sewaktu masih jadi Account Representative.  Dia enggak sanggup menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang kurang dibayar tahun lalu karena keuangannya dikuras habis untuk bayar utang pajak lima tahun lalu.

Dia enggak tahu kalau perusahaan yang dibeli dari temannya itu punya masalah pajak yang bejibun. Ujung-ujungnya, dari mulut karyawannya, terendus kalau dia mau bubarkan perusahaan ini dengan meninggalkan utang pajak yang banyak lalu mendirikan perusahaan baru.

Memangnya gampang mendirikan perusahaan baru dengan meninggalkan jejak utang pajak? Sampai saat ini administrasi pajak masih belum bisa memfilter pemegang saham hitam sewaktu mendaftarkan perusahaan barunya untuk dapat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Jadi belum ada sistem peringatan untuk menolak permohonan NPWP perusahaan yang pengurus atau pemegang sahamnya punya utang pajak di perusahaan lama. Juga karena belum ada payung hukumnya.

Jadi apa yang harus dilakukan oleh kita saat mau beli perusahaan agar tidak terulang kejadian seperti Fadli dan direktur asing itu? Jangan mudah percaya saat penjual bilang urusan pajak beres semua.

Pembeli harus mengetahui seberapa besar utang pajak yang masih ada dan histori pelaporan pajaknya. Atau dengan kata lain minta tax clearance atau Surat Keterangan Fiskal (SKF) ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). SKF ini adalah surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berisi data pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak untuk masa dan tahun pajak tertentu.

Tetapi permintaan SKF ini dalam ketentuan yang ada yaitu PER-69/PJ./2007 tentang Perubahan atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-447/PJ./2001 tentang Tata Cara Pemberian Surat Keterangan Fiskal, hanya untuk Wajib Pajak yang sedang dalam proses pengajuan tender untuk pengadaan barang/jasa untuk keperluan instansi pemerintah. Jadi untuk Wajib Pajak lain yang tidak dalam rangka proses pengajuan tender pemerintah tidak bisa untuk mendapatkan SKF.

Lalu bagaimana untuk dapat mengetahui utang dan histori pelaporan pajak itu? Buat surat ke KPP. Surat itu harus diajukan dan ditandatangani oleh pengurus lama perusahaan yang mau dibeli. Surat tidak bisa diajukan oleh selain pengurus atau pihak luar perusahaan dikarenakan  DJP berkewajiban menjaga kerahasiaan data Wajib Pajak.

Apa isi surat tersebut? Tentu meminta keterangan jumlah utang pajak yang masih belum dibayar dan kewajiban pelaporan apa saja yang belum dilaksanakan. Itu secara formalnya. Secara informalnya pengurus datang ke Seksi Penagihan KPP minta jumlah utang pajak dan datang ke

Account Representative untuk mengetahui data tentang pelaporan perusahaan. Biasanya mereka akan memberikan informasi itu dengan senang hati karena termasuk dalam tugas mereka memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak. Yang penting meyakinkan kepada pihak pajak—petugas di Seksi Penagihan dan Account Representative—bahwa yang datang adalah benar-benar pengurus perusahaan.

Jadi saat kita jadi pembeli pastikan bahwa informasi itu sudah ada di tangan penjual. Kalau enggak, ya sudah jangan berjudi. Lebih baik buat perusahaan baru saja. Pun , kalau informasi itu ada pastikan pula bahwa informasi itu adalah informasi terkini, bukan informasi lawas.

Informasi utang pajak tentu sudah jelas diperlukan untuk mengetahui jumlah berapa pajak yang mesti kita bayar. Informasi tentang kewajiban pelaporan adalah untuk mengetahui masih adakah Surat Pemberitahuan (SPT) yang belum dilapor. Dengan demikian kita akan tahu jumlah sanksi adminsitrasi berupa denda dan bunga yang timbul karena keterlambatan pelaporan SPT tersebut. Kalau hanya mengetahui jumlah utang pajak saja kita tidak bisa antisipasi berapa besar lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar denda dan bunga.

Bagaimana dengan kasus Fadli yang sudah terjadi itu? Saya tidak menyoroti kasus penipuan itu. Ada dua alternatif yang bisa saya sodorkan.

Alternatif pertama, lanjutkan perusahaan tersebut dengan risiko membayar semua utang pajak yang timbul. Hubungi Seksi Penagihan dan utarakan niat untuk melunasi dengan cara mencicilnya. Perhitungkan resiko bunga karena telat bayar utang pajak.

TOTAL UANG YANG KELUAR = UTANG PAJAK + BUNGA TELAT BAYAR + SANKSI ADMINISTRASI

Menurut saya alternatif pertama: RIBET. Bisa habis lebih dari Rp150 juta karena bunga telat bayar saja dapat lebih dari 48%.

Alternatif kedua adalah tinggalkan perusahaan ini dan buat perusahaan baru lagi. Fadly cuma kehilangan uang Rp130 juta. Ongkos mendirikan perusahaan baru tidak sebanding dengan biaya yang timbul jika meneruskan perusahaan tersebut serta pikiran memikirkan petugas pajak yang terus menerus menagih utang pajak dan meminta kewajiban lain. Terkecuali memang keuntungan yang akan didapat dapat menutupi seluruh utang pajak.

Demikian. Semoga bisa dimengerti. Kurang lebihnya mohon maaf. *** Riza Almanfaluthi dedaunan di ranting cemara 22.15 10 Mei 2012

Tulisan ini adalah opini pribadi dan tidak mencerminkan pandangan institusi tempat penulis bekerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun