Mohon tunggu...
Riza Almanfaluthi
Riza Almanfaluthi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hamba Allah, abdi negara, penulis, blogger, rizaalmanfaluthi.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Brotoseno, Pak Polisi, dan Mereka

29 Desember 2011   18:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:36 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BROTOSENO, PAK POLISI, DAN MEREKA Sesaat menunggu iqamat ashar di Masjid Shalahuddin terdengar suara panggilan dari belakang, “Mas, sehat Mas?” Belum sempat menjawab, teman saya ini berkata lagi, “Mas, kata teman saya waktu ngeliat fotonya Broto, langsung bilang kalau wajah polisi itu mirip sama Mas Riza.” Saya langsung cengengesan sambil membayangkan foto Angie lagi berdua sama Kompol Brotoseno  yang sedang hangat di portal berita (29/12). Mirip gimana? Mirip apanya dengan teman dekat politisi Partai Demokrat itu? Jauh be-eng.Terlalu narsis kalau bilang saya lebih ganteng daripada Polisi perwira itu. Terlalu rendah diri kalau saya berkata sebaliknya. Lihat saja foto di bawah ini, masing-masing punya kelebihan dan kekurangannya.  Yang pasti saya bukan orang yang berada di samping Angie. Ingat Brotoseno jadi ingat kejadian waktu di Madinah. Waktu itu sepulang dari shalat Isya di Masjid Nabawi. Saya sendirian bergegas menuju hotel yang jaraknya tak jauh dari masjid. Kurang 100 meter dari hotel tiba-tiba saya disapa oleh dua orang ibu-ibu yang ternyata sedang tersesat. Mereka tak tahu jalan pulang ke hotel mereka. Logat yang kental mengisyaratkan mereka berasal dari daerah Jawa Timur. Mereka minta tolong untuk diantarkan ke hotel. Tapi sayangnya ketika saya tanya nama hotelnya mereka tak tahu. Saya minta kepada salah satu dari ibu-ibu itu untuk kembali mengingat jalan pada waktu mereka berangkat. Mereka menyerah. Ya sudah saya jalan pelan-pelan dengan mereka untuk sama-sama mencari hotel itu. Saya tak jadi pulang segera. Di saat itu, di saat saya sedang bertanya arah kepada orang-orang,  tiba-tiba muncul sosok laki-laki separuh baya dan tampak muda, berbaju gamis warna putih dengan peci warna senada memotong pembicaraan kami.  “Tersesat ya Bu? Tenang saja Bu. Ada saya. Saya antar ke maktabnya. Maktab ibu nomor berapa?” Kewaspadaan saya langsung jalan, ini kok orang baik banget tiba-tiba langsung menawarkan diri dan main tembak mau antar segala. Apalagi dia bilang tentang maktab, padahal sepengetahuansaya  kalau istilah maktab itu adanya di Mekkah, bukan di Madinah. Kalau di Madinah jamaah haji Indonesia tidak dibagi berdasarkan maktab  tetapi sektor oleh muassasah. Saya terus terang curiga dan langsung bertanya padanya tanpa tedeng aling-aling, “Tunggu dulu Pak, Bapak ini siapa?” “Saya petugas. Di sini saya sudah biasa nganterin orang tersesat,” jawabnya. Dia panjang lebar menjelaskan siapa dirinya dan tentu tidak lupa menyebutkan namanya. Tapi saya lupa dialog tepatnya. Bukan penjelasan itu yang membuat saya tiba-tiba langsung percaya. Dia bilang kalau dia adalah polisi, maksudnya anggota Kepolisian Republik Indonesia yang sedang berhaji. Beneran, saya langsung percaya begitu. Makanya saya memutuskan untuk menitipkan mereka kepada Pak Polisi, “Bu, saya tinggal ya Bu, Ini bapak Polisi. Bapak ini yang akan nganterin ibu ke petugas haji Indonesia.” Ibu-ibu itu bukannya senang karena mau ditolong sama Pak Polisi, malah ketakutan  dan langsung memegang tangan saya, sambil berbisik pakai bahasa Jawa, terjemahannya begini, “Sudah Mas, saya pokoknya ikut sama kamu saja. Saya takut. Saya takut sama orang Arab.” Hehehehe, kebetulan memang Pak Polisi itu punya wajah Arab. Polisi itu pasrah saja dia dicurigain sama bangsa sendiri. Saya pikir dia jadi korban stigmatisasi yang selama ini diceritakan kepada para jamaah Haji Indonesia tentang orang Arab, yang entah dari mana sumber asal kisah itu. Akhirnya saya mengambil jalan tengah dengan mengikuti bapak Polisi itu ke Pos Sektor. Nanti dari sana ibu-ibu itu akan diantar ke hotel oleh petugas haji yang bertugas di sana.  Sepanjang perjalanan menuju Pos, Pak Polisi geleng-geleng kepala saja mengingat sampai detik itu mereka tak benar-benar percaya sama dia. Salah satu ibu itu memegang erat ikat pinggang saya. Benar-benar ketakutan dan was-was kalau-kalau saya meninggalkan mereka. Padahal saya tak henti-hentinya juga meminta supaya ibu-ibu itu percaya sama Pak Polisi. “Kenapa Ibu kok percayanya sama saya, padahal ibu enggak kenal saya?” tanya saya. “Sampeyan kan pakai batik, wislah pokoke aku percaya,” jawabnya. Kebetulan memang pada saat itu saya memakai  batik seragam jamaah haji Indonesia. Ibu yang satunya lagi tercecer di belakang sambil mencari-cari wajah dari banyak orang yang sedang lalu lalang. Mungkin ada yang dikenal. Tapi ia gagal, sampai Pak Polisi itu sedikit jengkel dan setengah berteriak, “Sudah Ibu, percaya saja sama saya!” Menuju hotel tempat pos sektor itu berada, saya sempatkan berbincang-bincang dengan Pak Polisi. Ternyata ia seorang ajun komisaris polisi (waktu itu dia bilangnya kapten) yang sedang bertugas di daerah Kalimantan. Jabatannya saya lupa, antara kasatserse atau kasat intel. Dan memang betul, ini yang ia yang sadari, kalau ia punya garis keturunan Arab Tanah abang. Obrolan kami terputus karena kami sudah sampai di depan hotel tempat pos sektor itu berada.  Lobi hotel penuh dengan orang Turki. Kami naik ke mezanin hotel dan benar di sana ada bendera Indonesia dan spanduk tanda pos sektor. Yang jauh melegakan adalah tampak pula seorang petugas haji yang sedang jaga di sana. Kata Pak Polisi yang mengantar kami, petugas haji itu juga seorang polisi. Mengetahui mereka telah diantar ke pos sektor dan ketemu sama petugas haji yang memakai baju biru, ibu-ibu mengucapkan terima kasih dan minta maaf sama Pak Polisi karena telah curiga berat. Kemudian sudah saatnya Pak Polisi itu pergi dan meninggalkan kami. Selanjutnya petugas haji itu yang akan mengantar ibu-ibu itu ke hotel mereka yang ternyata dekat dengan pos sektor. Anehnya lagi, ketika saya mau meninggalkan mereka, mereka tetap bersikeras supaya saya tetap menemani mereka hingga ke hotel. Aduhai, mereka juga masih tak percaya sama Pak Petugas Haji.

Tidak sampai 100 meter dari pos sektor, kami telah tiba. Barulah terlihat wajah mereka dihiasi senyuman. Ada kelegaan yang tampak. Saya turut senang juga. Sebelum berpisah, saya minta izin memfoto mereka sambil berpesan, “ingat-ingat jalan, ta iye.” *Ibu Siah dan Ibu Ramiah di depan hotel (26/11). *** Riza Almanfaluthi dedaunan di ranting cemara 00.19 30 Desember 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun