Ry, izinkan aku menulis lagi malam ini. Tentang apa saja. Mungkin tentang yang aku alami hari ini. Seperti biasa aku harap engkau cukup diam dan menyimak apa yang aku tulis. Kau tahu kepalaku sakit kalau tidak menulis.
Malam ini Ry, hujan. Jakarta hujan. Depok hujan. Citayam hujan. Apalagi Bogor, hujan pastinya. Alhamdulillah. Berkah banget. Sepertinya kemarau akan segera berakhir. Syukurlah. Dan aku seperti hari terakhir di musim kemarau. Kau tahulah artinya apa. Tapi tadi di Stasiun Sudirman ketika tetes-tetes hujan itu berubah menjadi gemerisik yang deras, sungguh bau tanah yang tersiram hujan itu menyengat banget.
Tahu kamu Ry, apa yang aku lakukan? Di pinggir rel, di peron 2 itu, aku hirup dalam-dalam petrichornya. Aku tiba-tiba teringat kamu Ry. Kalau saja aku sendiri di sana, akan aku rentangkan tanganku dan membiarkan nafasku yang berbicara lalu membiarkan wajahku tersiram gerimis pertama itu. Untuk menghapus ingatan pagi tadi agar hilang dan lenyap bersama petang yang membawa malam.
Kamu tahu Ry, aku di-Gayus-in lagi. Kapan? Iya, tadi pagi. Aku jadi teringat, Juli kemarin aku menulis sebuah artikel. Ceritanya tentang empatiku pada teman-teman DJP di bulan Maret 2010 lalu. Ketika itu kalau ada metromini yang berhenti di depan kantor keneknya itu selalu bilang: “Gayus! Gayus! Gayus!!!” Nah, aku tuh—dalam tulisan tadi—membayangkan bagaimana perasaan teman-teman ketika turun dari Metromini tadi.
Eh, sungguh Ry. Kejadian itu nyata padaku. Menimpa padaku hari ini. Dan aku tidak sekadar empati. Tapi menjadi saksi hidup dari perasaan yang timbul itu. Dulu sekadar membayangkan, kini benar-benar nyata. Pagi tadi dari Stasiun Sudirman aku naik Metromini 640 jurusan Tanah Abang Pasar Minggu. Perjalanan lancar mulai dari Setiabudi, Kolong, Benhil, Atmajaya, Komdak, dan Gedung Mulia. Nah sebentar lagi turun di jembatan penyeberangan sebelah gedung Jamsostek, persis depan kantor BKPM. Biasanya sih si kenek bilangnya: ”Pajak..! Pajak..!” Tapi, kali itu si kenek ini bilangnya ya itu tadi: “Gayus! Gayus! Gayus!!!”
Spontan Ry, aku merasa gimana gitu. Banget nget…nget… “Alhamdulillah ya, sesuatu ya…,” kata Mbak Titi Sugiarti—yang ini teman saya—ala Syahrini di Gtalk. Sepertinya seluruh penumpang melihat saya dengan pandangan aneh dan penuh selidik. Atau ini hanya perasaan saya saja yah? Tapi pokoknya gimana gitu. Menggambarkan perasaan seperti itu rada-rada susah.
Beruntungnya Ry, tidak hanya saya yang turun, tapi sekitar lima orang teman saya juga ikut di Metromini itu. Mereka cuma tersenyum kecut dan saling pandang. Heheheheh kita senasib Mas Bro dan Mbak Sist. Tapi kebetulan Pak Jon Suryayuda S—atasan saya—tidak satu bus. Ceritanya akan tambah seru kalau beliau ikut merasakan juga. Akan jadi obrolan menarik. Hehehhhe…
Ternyata saya baru tahu dan kalau benar, kejadian itu adalah efek dari berita baru tentang Gayus yang punya duit 4 milyar. Ada-ada saja. Tapi yang pasti, kayaknya saya kudu lihat-lihat dulu keneknya siapa kalau mau naik Metromini. Kalau dia lagi—wajahnya ingat betul—ogah ah. Ngapain gitu? Metromini kan banyak…
Itu saja Ry, malam ini aku cerita sama kamu. Terima kasih tetap sama kayak yang dulu. Diam, masih mau mendengarkan aku. Aku yakin diammu adalah cinta yang tak terkatakan untukku. Ohya Ry, di luar hujan sudah menjadi prasasti malam. Jejaknya hanyut diterkam dingin. Kau merasakannya?
Salam.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
21.45- 15 September 2011
Ry, Si Diary.
http://dirantingcemara.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H