Saya sedang bingung dengan kasus Gayus. Negara seakan tak berbuat apa-apa diobrak-abrik sama dia. Dan kenapa denda untuknya hanya Rp300 juta atau jika tidak mampu membayarnya dapat diganti kurungan yang hanya tiga bulan? Padahal maling ayam yang harganya paling mentok Rp100 ribu, bisa dikurung enam bulan lamanya? Saya sangat bingung dengan ketidakadilan ini.
(surel dari seorang guru kelas 1 SDIT Insan Kamil, Sidoarjo)
***
Mbak Emmoy yang jujur, pertanyaan itu terus terang mengganggu benak saya Mbak. Sejak Mbak menanyakannya kemarin sampai dini hari ini. Yah, memang pada akhirnya akan ada yang menanyakan itu kepada saya suatu saat. Entah itu siapa orangnya. Baik Mbak, akan saya jelaskan semua itu. Tentunya dengan sepemahaman saya, dan setiap kepala tentunya punya pendapat yang berbeda-beda dalam memandang persoalan ini.
Kita kembali ke bulan Juli 2009 Mbak. Saat itu Gayus sudah ditangani sama Polisi tentang adanya aliran dana mencurigakan yang diketahui oleh Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK). PPATK menganalisis seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) kok bisa menerima dana sebesar itu. Darimana ia mendapatkannya. Oleh karena itu diselidikilah dan dengan berbagai intrik dari berbagai pihak Gayus divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang.
Kebetulan Susno Duaji pernah menjadi Wakil Ketua PPATK dan menangani kasus itu. Dari mulut dia terlontarlah kasus Gayus ini. Akhirnya gegerlah dan kasus Gayus terangkat kembali di bulan Maret 2010. Ketika itu hujatan kepada instansi kami luar biasa derasnya. Padahal pada saat itu kami memang sedang giat-giatnya untuk menerapkan reformasi jilid II kami. Mbak bisa baca tulisan ini, karena pada faktanya memang tidak semua kami ini bejat.
Dengan tekanan dari berbagai pihak, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mulai mendalami dan mengungkap kasus Gayus kembali. Dan untuk menjeratnya maka diperlukan kasus lagi. Sayangnya berkas yang dipilih oleh kepolisian adalah berkas Wajib Pajak yang bisa dikatakan ecek-ecek. Nilainya kecil. Dan tidak menyangkut nilai sebesar Rp28 milyar yang diterima Gayus.
Seharusnya kalau mau menjeratnya tentu dengan menyelidiki berkas yang ditangani Gayus terkait penerimaan dana sebesar itu. Makanya banyak yang menilai bahwa pemilihan PT Surya Alam Tunggal (SAT) itu hanyalah pengerdilan kasus, hanya untuk menyenangkan publik, dan tidak mengejar para pengemplang pajak kelas kakap.
Setelah berkas diserahkan ke Kejaksaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Gayus hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp500 juta atas empat dakwaan yaitu penanganan keberatan PT SAT yang merugikan negara, menyuap penyidik Polri, menyuap hakim, dan memberikan keterangan palsu.
Kemudian pada tanggal 19 Januari 2011 kemarin, Albertina Ho selaku Ketua Majelis Hakim dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, memvonis Gayus dengan tujuh tahun penjara dan denda Rp300 juta karena lalai dalam menangani keberatan wajib pajak PT SAT (merugikan negara Rp570 juta), memberikan keterangan palsu untuk menyiasati rekening Rp28 miliar, menyuap aparat agar tidak ditahan, dan menyuap hakim Pengadilan Negeri Tangerang Muhtadi Asnun untuk memengaruhi putusan.
Dengan alasan apa Judge Ho memberikan hukuman yang dikatakan oleh banyak orang ini terlalu ringan? Judge Ho menyatakan bahwa Gayus terbukti dalam empat dakwaan itu namun Gayus melakukannya tidak sendiri. Itu saja.
Terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi soal uang Rp28 miliar di rekening Gayus, kata Judge Ho, hakim tidak dapat menghukumnya lantaran tidak ada dalam dakwaan dan belum dibuktikan di persidangan.
Menyuap penyidik Polri, menyuap hakim, dan memberikan keterangan palsu, bagi saya, "it's oke", semua sepakat tindakan itu tercela dan tidak dapat dibenarkan. Patut diberikan hukuman yang setimpal. Nah masalahnya ada pada kasus keberatan PT SAT itu.
Mbak Rino yang baik hati, saya kutip dari berita media tentang vonis terhadap kasus keberatan PT SAT ini:
Albertina Ho, ketua majelis hakim, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (19/1/2011), mengatakan, sebagai pelaksana di Direktorat Keberatan dan Banding, Gayus tidak teliti, tidak tepat, tidak cermat, serta tidak menyeluruh saat menangani keberatan pajak PT SAT. Selain itu, hakim menilai Gayus telah menyalahgunakan wewenang.
Menurut hakim, Gayus telah mengusulkan menerima seluruh keberatan pajak PT SAT. Usulan itu lalu disetujui mulai dari Humala Napitupulu selaku penelaah, Maruli Pandapotan Manurung selaku Kepala Seksi Pengurangan dan Keberatan, serta Bambang Heru Ismiarso sekalu Direktur Keberatan dan Banding.
Akibat diterimanya permohonan keberatan pajak itu, menurut hakim, PT SAT sebagai korporasi menerima keuntungan sekitar Rp 570 juta. "Terbukti telah merugikan keuangan negara," ucap Albertina saat membacakan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hari ini.
Terkait dengan kasus itu, majelis hakim menjerat Gayus dengan dakwaan subsider, yakni Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. (Sumber).
Mbak Emmoy yang tidak sombong, baiklah akan saya terangkan secara sederhana dan singkat prosedur atas pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) Wajib Pajak. Bila Wajib Pajak dalam laporan Surat Pemberitahuan (SPT) mengklaim ada kelebihan pembayaran pajak maka dilakukanlah prosedur pemeriksaan. Dan pemeriksaan ini tidak hanya karena ada klaim restitusi Wajib Pajak namun juga ada karena alasan lain, misalnya untuk meneliti kepatuhannya.
Dari hasil pemeriksaan ini terbitlah sebuah surat ketetapan pajak yang bisa menyatakan bahwa pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak itu nihil, lebih bayar atau kurang bayar. Jika Wajib Pajak tidak sepakat atas hasil pemeriksaan itu maka Wajib Pajak diperkenankan untuk melakukan protes, salah satunya berupa pengajuan keberatan. Nah, pada saat proses ini koreksi Pemeriksa diteliti kembali oleh Penelaah Keberatan (PK), apakah sudah benar sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan atau tidak.
Jika ternyata koreksi pemeriksa salah maka akan dibetulkan oleh PK, namun jika koreksi Pemeriksa telah benar maka koreksi itu akan tetap dipertahankan. Dalam proses itu tentunya ada penafsiran yang berbeda antara Pemeriksa dengan PK, pun dengan Wajib Pajak.
Hasil proses itu adalah menolak atau mengabulkan seluruhnya atau sebagian proses keberatan. Mengabulkan seluruh atau sebagiannya ini berarti jika ada pajak yang sudah dibayar oleh Wajib Pajak, maka pajak itu akan dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Tidak hanya sampai di sini. Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan hasil keberatan itu, maka Wajib Pajak diperkenankan untuk mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak-tidak bisa ke tempat lain. Majelis hakim yang memutuskan apakah keputusan keberatan itu benar atau salah. Dalam proses persidangan itu-ini yang biasa saya kerjakan sekarang mewakili Direktorat Jenderal Pajak-tentunya ada adu argumentasi dan adu data serta bukti yang akan menjadi pertimbangan majelis hakim.
Setelah itu Majelis Hakim mengeluarkan putusan pengadilan yang bisa menolak, mengabulkan sebagian atau seluruhnya permohonan banding Wajib Pajak. Jika Majelis Hakim memenangkan Wajib Pajak maka akan ada pajak yang dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Nah, yang ingin saya tekankan Mbak Rino, tidak teliti, tidak tepat, tidak cermat, serta tidak menyeluruh bisa sangat subyektif sekali. Tergantung dari pemahaman Penelaah Keberatan serta petugas lainnya dalam memahami peraturan perpajakan. Terkadang pula ada peraturan yang multitafsir sehingga mengakibatkan adanya perbedaan pandangan mereka dalam memutus sesuatu. Mereka sebagai pelaksana dari ketentuan perundang-undangan tentu tidak bisa berbuat apa-apa. Majelis Hakim di Pengadilan Pajak saja bisa memandang dan mengambil keputusan berbeda dalam satu kasus yang sama.
Yang paling parah adalah bila keputusan keberatan yang menerima permohonan keberatan Wajib Pajak dianggap sebagai sebuah bentuk korupsi dan kejahatan karena adanya unsur mengakibatkan kerugian negara dan menguntungkan pihak lain. Ingat loh, Gayus tak pernah terbukti menerima duit dari PT SAT.
Akankah pula ini ditujukan kepada para hakim yang berada di Pengadilan Pajak karena sebagian besar putusan mereka memenangkan para Wajib Pajak? Kemudian merembet kepada PK yang bertugas sebagai petugas banding karena dianggap tidak bersungguh-sungguh dalam mempertahankan koreksi pemeriksa.
Kalau ini yang terjadi Mbak, wah berat. Ini yang membuat resah para PK. Bekerja sudah benar tetapi masih dihantui dengan ketakutan dikriminalisasikan. Akan semakin banyak lagi kasus keberatan yang tidak berakhir sampai pada proses pengajuan keberatan, namun berujung sengketa di Pengadilan Pajak karena para PK-nya tak berani untuk menerima atau mengabulkan permohonan Wajib Pajak. Ujung-ujungnya akan menambah biaya buat negara mengurusi hal ini. Asas ekonomis dalam pemungutan pajak pun akan terabaikan. Wajib Pajak demikian pula.
Ada yang berpendapat kalau sudah bekerja dengan benar sesuai dengan ketentuan mengapa harus takut? Masalahnya bukan sekadar takut dan tidak takut, tetapi pada konsentrasi para PK yang terganggu dalam bekerja karena 'hantu' Bareskrim. Waktu dan mental seringkali terkuras habis. Dan ini melemahkan semangat bekerja. Itu saja Mbak yang berkaitan dengan masalah keberatan ini.
Mbak Emmoy yang semoga senantiasa bersemangat, maka bila dikaitkan vonis tujuh tahun penjara itu dengan penyelesaian keberatan oleh para PK yang telah bekerja dengan benar maka tentunya itu sangat berat. Coba bandingkan dengan pelaku penerbitan faktur pajak fiktif yang hanya divonis beberapa bulan penjara saja. Padahal mereka telah jelas-jelas menilep uang negara sebesar milyaran rupiah.
Jadi kalau masalah vonis Mbak, akan banyak pendapat yang bermunculan. Judge Ho bilang itu sudah cukup, bagi saya sebagai PK terlalu berat-khusus kaitannya dengan keberatan PT SAT, dan bagi masyarakat kebanyakan adalah terlalu ringan sekali. Harifin Tumpa, Ketua Mahkamah Agung kita saat ini, mengatakan bahwa orang-orang memiliki penilaian terhadap persepsinya sendiri.
Maka sebenarnya yang akan membuka keadilan bagi semua pihak adalah kepemilikan puluhan milyar yang ada pada Gayus itu. Kita sama-sama buka darimana ia dapatkan duit sebanyak itu. Saya sangat bersemangat sekali dan mendukung 100%. Bahkan untuk hudud berupa potong tangan sekalipun, jika itu menjadi syarat untuk negeri kita menuju ke arah yang lebih baik lagi.
Dus, Vonis tujuh tahun bagi Gayus adalah kesempatan terbaik bagi negeri ini untuk mengusut mafia pajak dan hukum lebih jauh lagi dan lebih dalam lagi. Vonis 20 tahun adalah vonis maksimal yang membuat kita tidak bisa melakukan upaya hukum lagi untuk menjerat Gayus . Mbak bisa tanyakan hal itu kepada Harifin Tumpa kembali.
Pembuktian terbalik dapat diterapkan kepada Gayus menurut PPATK. Polisi bekerja dengan sebaik-baiknya, transparan, dan tanpa ada tekanan politis. Begitu pula dengan aparat penegak hukum seperti jaksa dan hakimnya.
Masalahnya hukum kita di Indonesia ini seringkali berpihak kepada para pemilik kekuasaan dan duit. Kalau demikian ceritanya sudah jelas hukum semakin tambah bobrok, maka siap-siap saja negeri ini akan musibah yang diturunkan Allah sebagai azab atas keadilan yang dipermainkan. Padahal Muhammad sudah tegas-tegas bilang kalau Fatimah binti Muhammad mencuri akan tetap dipotong tangannya.
Maka wajar teramat sulit dinalar ketika putusan Gayus pun dibandingkan dengan putusan untuk para pencuri ayam itu. Maka terimalah kenyataan itu bahwa kita hidup di negeri yang hukumnya menghamba pada pemilik kekuasaan dan duit itu.
Mbak Rino, lalu sebagai orang yang beriman apa yang harus kita lakukan? Kita harus senantiasa optimis bahwa harapan itu masih ada. Harapan itu yang membuat kita bersemangat untuk tetap hidup. Harapan akan adanya perubahan itu dan Indonesia menjadi baldathun toyyibatun warobbun ghoffur. Karenalah kitalah anashiruttaghyir (unsur perubahan) itu. Dengan apa? Ah, langkah kecil saja: untuk tetap memegang teguh integritas sepanjang helaan nafas saat ini hingga yang terakhir. Saya mencoba untuk belajar. Saya harap demikian juga Mbak.
Ini adalah jawaban nomor tiga. Maafkan saya kalau terlalu berpanjang lebar.
Wassalaamu'alaikum. Warahmatullahi. Wabarakaatuh.
***
Hormat saya:
ttd
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
04.01 WIB 23 Januari 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H