Menit ke 23, saya dan Amos sepakat untuk menutup mata beberapa saat sabil menikmati sedikit keindahan film, sebelum akhirnya film menyuruh saya untuk membuka mata melanjutkan tontonan dan menunggu kejutan lainnya.
Yang ternyata membuat saya sedikit kesal, terlebih ketika ada adegan nangis yang ditiban dengan latar musik. Entah kenapa kadang saya berpikir ini menjadi hal yang berlebihan. Karena saya berpikir tangisan punya melodinya sendiri.
Bravo, Amos!
"Aku melihat apa yang aku inginkan"Â kata Amos. Ini salah satu part yang cukup sedih menurut saya, dan menyadarkan saya bahwa Amos adalah sosok yang 'selangkah di depan'. Saat ibunya nangis melihat keadaannya, ia punya kalimat yang hangat seperti pelukan.
Dan semakin film bergulir, semakin banyak dialog Amos yang saya suka. "Telat, aku sudah memikirkannya" salah satunya. Agak biasa sih, tapi kalau kalian nonton percakapan utuhnya pasti suka.
The Music of Silence adalah film yang dewasa dalam menyikapi kekurangan. Sudut pandang Amos dibentuk dengan sangat kuat bersamaan dengan support system yang ditampilkan, jadi enggak bikin pusing dan 'drama'.
Sebagai penonton yang bisa mem-pause film, saya merasa rugi jika melepaskan pandangan.
Babak tengah film semakin menunjukan karakter Amos sebagai sosok yang sadar kalau ia butuh kerja keras untuk 'dianggap' sama dengan yang lain.
Dan percapakan dengan Ayahnya setelah ia kembali bermain di pantai adalah buktinya. Kembali, Amos punya rangkaian kalimat yang juara!
Melalui Amos, film ini membuat ucapan "Menjadi dewasa itu menakutkan" nyata. Baru saja penonton diajak serius untuk menikmati suara indah Amos, tapi pita suara yang memanjang membuat suaranya berubah.
Seiring dengan kekecewaannya, ia pun menjadi dewasa dan kembali ingin membuktikan kalau dirinya sama dengan yang lain, dengan masuk sekolah hukum. Di sini agak drama sih, tapi untungnya sebentar doang.