Entah sudah hari keberapa saya bertahan di rumah saja. Rasanya senang sekali jika ada panggilan video, dari siapapun, ponsel yang jarang lepas dari pandangan pun mendukung, kemudian terjadi percakapan panjang dengan tawa-canda, obrolan yang entah ke mana arahnya dan sampai di mana ujungnya. Tapi saya suka, obat untuk pikiran saya yang terkena dampak corona.
Namun kesendirian jelas tak mau kalah, sering pula hadir. Berbagai film saya saksikan, series dengan berpuluh-puluh episode selesai tanpa mengenal waktu, merusak pola pada intinya. Tapi kembali lagi, saya lakukan karena saya suka, hiburan yang mungkin bisa saya dapatkan selagi bisokop masih ditutup.
Salah satunya melalui layanan streaming Mola TV Movies, di mana saya menemukan film berjudul The Music of Silence, yang mengajak saya untuk melihat perjalanan dan mendengarkan kehidupan Andrea Bocelli, musisi opera asal Italia.
"Amos, karena aku suka nama itu"
Hitam-putih, sebuah keheningan yang dirasakan oleh mata saya ketika pertama kali menonton film ini. Meskipun Cuma sebentar tapi bagi saya sungguh berkesan. Selanjutnya film ini akan jauh lebih berwarna, The Music of Silent bisa dibilang tak bertele-tele dalam membagikan kisah Sang Maestro yang dibagi dalam beberapa babak.
Amos, adalah nama yang dipilih oleh Andrea Bocelli. Kalian tahu apa alasannya? Karena ia suka nama tersebut. Awalnya saya biasa saja dengan alasan itu, namun sembari menikmati film, saya tersadar kalau ternyata itu adalah sifat yang ia miliki dari kecil.
Bocelli memilih melakukan hal-hal yang ia sukai, meskipun berujung kekecewaan, namun dalam prosesnya ia belajar. Begitulah film ini dibangun.
Singkat cerita, saat usia lima bulan Amos didiagnosa mengalami ganguang penglihatan, congenital glaucoma, yang kemudian berlanjut dengan operasi dan mempertemukan telinganya dengan suara indah dari musik opera. Setelah berkenalan, ia pun banyak belajar dari koleksi musik opera milik pamannya.
Babak pertama film menggiring saya untuk mengikuti rasa keingintahuan Amos akan banyak hal. Sebenarnya seperti anak kecil pada umumnya, semua benda disentuh. Tapi ternyata ia melakukannya untuk sebuah alasan, ia belajar mengingat, dan seiring berjalannya waktu meskipun punya gangguan pada penglihatannya ia tetap bisa melakukan tanpa bantuan orang lain.
Saya merubah posisi nonton, dari duduk kemudian tiduran, karena kebetulan streaming film ini saya lakukan melalui aplikasi Mola TV yang bisa diunduh secara gratis melalui App Store dan Google Play, jadi bebas mau posisi apa pas nonton, hehe.
Orang tua Amos tentu menginginkan hal baik untuknya, sehingga ia dimasukan ke sekolah tunanetra meskipun ia tak ingin. "Tak usah khawatir, tinggal 3 tahun lagi kita di sini" kata temannya sebelum ia tidur. Jujur, ini kalimat optimis banget menurut saya! 3 tahun bukan waktu yang sebentar loh. Dan saat mendengar kalimat itu saya langsung merasa kalau film ini akan memperlihatkan bagaimana support system bekerja.