Senin menjadi hari yang selalu saya nantikan. Meskipun lelah dengan upacara sekolah, saya anggap itu sebagai cobaan sebelum akhirnya melakukan kegiatan yang saya sukai, yaitu menonton film.Â
Anak 90an pasti tahu istilah 'Nomat' alias nonton hemat yang selalu ada tiap Senin. Itulah alasan saya dulu sebagai pelajar suka sekali hari senin, hingga berakhir menjadi hobi, dan membuat saya berada pada posisi saat ini. Saya tak tahu apa jadinya saya jika tak suka menonton film di bioskop saat itu.
Time flies but memories stay. Tak ada lagi kaca hitam yang membuat saya harus mengintip jadwal film, atau berebut masuk untuk antri membeli tiket.Â
Saya ingat waktu pemutaran perdana film Apa Artinya Cinta di 21 Depok, saya menjadi tumbal untuk antri, dan seketika terdengar suara kaca pecah di belakang saya karena tertekan banyak orang. Horor seketika. Apalagi dulu bioskop lampunya masih reman-remang, lengkap sudah, untuk filmnya cinta-cintaan bukan horor.
Tak kapok sama sekali. Saya justru semakin senang menonton film, bahkan menjadi bioskop sebagai tempat pelarian kalau lagi bosen di rumah atau cabut sekolah meskipun harus kucing-kucingan sama satpam karena dulu ada peraturan anak berseragam sekolah tak boleh masuk mal.
Apa yang saya dapat ketika nonton film di bioskop?
Dulu saya tak tahu kalau menonton film di bioskop artinya mendukung film tersebut, saya tak peduli dengan profit yang film itu dapatkan, jumlah penonton, bahkan siapa pemainnya.Â
Saya benar-benar hanya menikmati dan tertarik dengan judulnya, terlebih ketika lampu mulai padam dan layar mulai menarik perhatian. Saya seperti anak bayi yang hanya fokus pada dua warna, hitam untuk kegalapan dan putih untuk layar.
Pada akhirnya hanya ada dua pilihan, saya suka dan sangat menikmati film tersebut atau saya kesal dan merasa bodoh membuang uang jajan untuk nonton film tersebut. Yang kemudian saya utarakan kepada teman-teman.Â
Maklum dulu belum ada sosmed, haha. Bisa dibilang saat itu saya bodoh, hanya anak kecil yang mencari kesenangan semata dengan melihat sebuah imajinasi yang divisualisasikan. Tapi saya suka akan kebodohan yang saya lakukan.
Seiring berjalannya waktu saya semakin selektif. Saya sadar menonton film bukan soal hiburan semata tapi juga media pembelajaran dengan memilih film yang tepat. Meskipun keterbatasan ngepoin film hanya melihat detail poster dan pemain, saya merasa sudah naik tingkat dan mampu memilih tontonan sehingga kalau jelek enggak rugi-rugi amat.