Akan terasa lengkap jika kalian datang ke pemeran ini. 30 karya yang ditampilkan seakan mengajak kita berbincang, lebih luas dari sekadar mata ke mata, jauh lebih dalam dari hati ke hati. Mulai dari 25 April hingga 5 Mei 2019, Pameran Internasional Triennial Seni Grafis ini dibuka untuk umum di Bentara Budaya Jakarta, gratis
Memasuki ruang pameran, saya tak perlu lama berpikir untuk melangkah ke sisi kiri. Sudah ada yang menunggu. Karya ketiga pemenang yang menjadi pusat perhatian pada Pameran Triennial yang tahun ini sudah memasuki tahun ke 6.
Sebelumnya, Bentara Budaya Jakarta sudah menggelar Kompetisi Triennial Seni Grafis Indonesia sejak tahun 2003 yang kemudian berkembang ke tingkat internasional di tahun 2015, Lalu tahun ini semakin berkembang dengan banyaknya pegrafis yang berpartisipasi, 317 karya dari 166 pegrafis oleh 26 negara di dunia.
Pada akhirnya, terciptalah Pameran Internasional Triennial Seni Grafis yang menampilkan 30 karya terpilih, di mana diantaranya terdapat tiga karya pemenang dan empat karya yang mendapatkan penghargaan khusus juri.
Supernumerary (Ploy), adalah karya pertama yang saya lihat di pameran ini. Chalita Tantiwitkosol seorang pegrafis dari Thailand terbilang berhasil menarik perhatian mata saya dengan kombinasi warna yang dipilihnya.
Dengan teknik lithograph, yaitu teknik mencetak seni grafis yang memakai acuan dari lempengan berupa batu kapur, karya dari Chalita berhasil mendapatkan juara ketiga pada kompetisi internasional tersebut.
Chalita memasukkan banyak unsur di karyanya. Saya mencoba mengerti. Seorang wanita dengan rambut warna orange, dress biru dengan motif bunga menyelimutinya, yang kemudian terlihat beberapa serangga hinggap di tubuhnya. Ingin sekali saya berbincang dengan Chalita yang memilih judul "Supernumerary (Poly)" untuk karyanya itu. Bagaimana ia ingin menyampaikan 'sosok yang dijadikan cadangan' sebagai bahasa universal.
Ini yang saya suka dari datang ke sebuah pameran, saya bisa berimajinasi, seakan ngobrol dengan si pembuat karya. Saat itu, saya langsung berpikir, "Apakah saat ini, saya benar-benar pemain utama, bukan cadangan untuk kehidupan nyata ini?"
Jawabannya mungkin ada di karya sebelahnya, juara pertama dari pegrafis asal China, Hui Zhang, yang dengan karyanya seakan menghipnotis saya. Mungkin, kita akan dan memang wajib berdiam cukup lama di hadapan seni grafis yang satu ini.
Berbincang dari mata ke mata, jauh lebih dalam dari berbincang dengan teman. "Gaze Toward the Light 2" judul karyanya, sosok wanita bermata besar dan rambut yang melingkar di lehernya. Beberapa helai rambut yang berada di daun telinganya adalah satu hal yang saya suka dari karya ini, detail dari karya seni grafis yang patut diapresiasi.
Dengan matanya yang besar, sosok tersebut sangat mudahnya memulai obrolan. Sorot lampu pameran berpadu dengan sorotan cahaya di dalam grafis menjadi perpaduan yang unik, pantulan cahaya di bagian rambut dan bola mata seperti nyata.Â
Sosok itu bisa jadi siapapun, bak cermin yang memantulkan manusia di hadapannya. Saya rasa, itu salah satu hal yang dilihat dari para juri, bagaimana Hui Zhang pintar mengambil ide untuk karyanya, simple dengan mengajak penikmat seni melihat ke diri masing-masing, dan kemudian dipadukan dengan presentasi artistik bagi khalayak ramai.
Saya tak tahu apakah hal ini benar atau tidak, tapi untuk saya pribadi, pada dasarnya, menikmati seni adalah bagaimana cara kita sendiri menikmatinya. Si pembuat karya membuatnya dengan ide atau gagasan yang ia yakini, dan tugas kita adalah menikmati dengan yang kita yakini. Ikatan yang tercipta melalui karya tersebut bisa dikatakan keberhasilan dari sebuah karya bercerita.
Melanjutkan perjalanan di Pameran Triennial Seni Grafis Indonesia VI yang diadakan pada 25 April hingga 5 Mei 2019 di Bentara Budaya Jakarta ini, saya kembali ingin berbincang dengan pegrafis asal Thailand yang berhasil mendapatkan juara kedua pada kompetisi sebelumnya, yaitu Nuttakarn Vajasut, dengan karyanya berjudul "Depressed".
Saya tak tahu mengapa ketiga jawara menggunakan sosok perempuan untuk karyanya. Terlepas dari itu, ide yang digunakan tetap bisa diterima oleh semua kalangan, dan yang paling 'kena' di pikiran adalah karya dari Nuttakarn ini, sosok wanita muram yang seakan tenggelam, dengan jari terikat, dan wajah yang sedang dibersihkan. Kalian tahu apa yang saya pikirkan? Kita di sosial media saat ini.
Masih ada 27 karya di ruang pameran yang menanti untuk saya ajak ngobrol, atau sebaliknya, dan langkah saya kembali terhenti di karya berjudul The Door Pancasila. Seketika tumbuh rasa bangga, karya pegrafis dalam negeri yang berhasil memasukan unsur kebangsaan di pameran tersebut, Mohammad Yusuf seakan kembali mengingatkan saya untuk memahami arti dan tujuan pancasila.
Dan satu lagi, yang wajib kalian lihat di pameran ini adalah karya dari Puritip Suriyapatarapun, pegrafis dari Thailand yang berhasil membuat seni grafis yang nyata banget, berjudul Soaking, kalau saya lihat seperti bendera negara Thailand yang sedang direndam. Buih busah dan gelembungnya seperti beneran.
Triennial Seni Grafis Indonesia ini merupakan bentuk komitmen dari Bentara Budaya untuk mendukung perkembangan seni grafis di Indonesia, bersama dengan Asia Pulp & Paper (APP) Sinar Mas sebagai sponsor utama, kegiatan rutin yang pada 2003 lalu hanya diikuti oleh seniman grafis dalam negeri berkembang ke taraf internasional, tepatnya pada TRIENNALVIÂ tahun ini dan mungkin tahun-tahun selanjutnya.
Oh iya, pameran ini juga bisa dibilang sebagai wujud potensi baru dari penggunaan kertas dalam dunia seni. Jadi, semua karya yang dipamerkan itu menggunakan media kertas loh, bukan kanvas, makanya dalam pameran ini ada istilah Cerita Kertas, di mana kertas yang dalam kehidupan sehari-hari sangat banyak penggunaannya, yang ternyata juga bisa untuk mendukung perkembangan seni grafis. Jujur, saya pribadi baru tahu, karena saya pikir pameran seperti ini menggunakan kanvas, hehe
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI