Membaca artikel tentang adanya lomba menulis dengan tema ‘[Blog Competition] Listrik untuk Kehidupan yang Lebih Baik’ di http://www.kompasiana.com/kompasiana/, rasanya ingin ikut meramaikan. Kepengen berbagi cerita dan sharing siapa tahu bisa memberikan manfaat.
Sejujurnya saya sendiri tidak begitu paham perihal penentuan tarif listrik baik pascabayar dan prabayar. Saya tidak pernah berurusan. Yang ingin saya sampaikan adalah kisah unik Ibu saya yang tinggal di Desa Bakalan, Kecamatan Purwantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Sebuah Desa kecil yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saya sendiri mendengar penuturan Ibu saya secara langsung tatkala saya pulang kampung beberapa waktu yang lalu.
Yang namanya lama tidak ketemu dengan anak sendiri selama beberapa bulan, seorang Ibu pasti akan bercerita panjang lebar tentang kesehariannya. Demikian juga berlaku bagi Ibu saya. Sembari duduk-duduk di depan rumah saat itu Ibu bercerita panjang lebar tentang apapun. Mengenai hujan yang nggak kunjung datanglah, padi yang layu yang terancam gagal panenlah, hingga hal-hal remeh seperti menceritakan tetangganya yang sudah menimang cucu. Kode keras. Tak ketinggalan saat itu Ibu saya juga bercerita tentang masalah listrik. Beliau menceritakan ihwal mengapa memutuskan menggunakan listrik prabayar dibandingkan pascabayar. Hal yang awalnya saya kurang setuju.
Lha kalo tiba-tiba listrik habis pulsa dan mati piye? Begitu kurang lebih saya bertanya pada Ibu saya. Pasalnya saya ragu Ibu saya akan paham bagaimana membeli token atau voucher, cara mengisinya, dan lainnya. Lebih-lebih Ibu saya kemungkinan akan membeli di warung karena beliau tidak bisa internet dan hal-hal yang kekinian.
Keinginan Ibu beralih menggunakan prabayar ini berawal saat beberapa tetangga saya mulai menggunakan listrik prabayar. Utamanya bagi warga yang baru memasang listrik dari PLN, hampir semua saya katakan memakai listrik prabayar. Jangan heran, di daerah saya tidak semua memasang listrik sendiri. Masih terbilang terbatas.
“Lek Mitun karo tonggo-tonggo liyo sing lagi wae pasang ke podo nganggo voucher lho Mas.” Yang kurang lebih artinya ‘Bu Mitun dan tetangga yang baru masang sendiri-sendiri menggunakan voucher lho Mas’ Begitu kata Ibu saya saat pulang kampung sebelumnya. Ibu saya kayaknya sudah kadung kepengen, ingin pindah ke prabayar.
Saya sudah menebak-nebak kegelisahan Ibu saya ini. Melihat tetangganya yang baru memasang listrik yang beda dengannya, ia pasti gelisah. Lho kok PLN membeda-bedakan, lebih murah apa lebih mahal? Itulah pertanyaan pertama Ibu saya.
Saat itu saya hanya bilang, terserah Ibu saja. Kalo mau seperti Lek Mitun ya saya setuju-setuju saja. Hanya saya berpesan agar Ibu melihat-lihat terlebih dulu, bagaimana caranya memakai listrik prabayar supaya nantinya tidak bingung. Hal itu karena Ibu saya tinggal sendiri di rumah dan beliau tidak terlalu paham juga tentang masalah listrik. Bagi Ibu saya yang bekerja sebagai Petani, sing penting gampang dan murah. Kurang lebih begitu.
Kejadian juga akhirnya, Ibu saya mengikuti jejak Lek Mitun untuk menggunakan listrik prabayar. Nganggo voucher, begitu kalau kata beliau. Panjang lebar Ibu saya bercerita tentang kelebihan dan keluhan menggunakan listrik prabayar PLN ini.
Pertama, bagi Ibu saya, alasan utama kenapa beliau menggunakan voucher adalah lebih murah dan praktis. Murah, memang klasik sekali alasan Ibu saya. Kesimpulan itu awalnya diambil dari harga yang dibayarkan Ibu saya jauh lebih mahal dibandingkan tetangganya yang memakai prabayar. Beberapa tetangga bahkan kadang sebulan tidak sampai habis voucher seharga 25 ribu. Sedang Ibu saya membayar antara rentang 45 hingga 120 ribuan perbulan. Melihat perbedaan yang lumayan, Ibu saya makin gelisah. Ibu-ibu sekali memang.
“Ibu juga jarang-jarang pakai kipas angin, nonton televisi juga jarang. Kulkas aja kadang Ibu ga pakai Mas. Paling lampu. Ibu kan bisa lihat sisa berapa. Kalau mau habis ya nonton sama Lek Mitun aja. Lebih murah.” Begitu katanya sore itu. Hal ini benar adanya. Kalau anak-anaknya tidak di rumah, memang Ibu saya jarang memakai listrik.
“Lha Ibu bisa ngga makainya? Ada kendala ngga?” Tanya saya.
Ibu saya mengatakan sama saja memakai prabayar atau pascabayar, sama-sama paham bagaimana cara memakai prabayar dan pascabayar. Pada awalnya saya takut Ibu saya tidak tahu cara memakai voucher dan malah nantinya membuat beliau bingung. Dugaan saya meleset. Tetangga Ibu saya sukses menjadi Marketing PLN dan sekaligus Guru PLNsecara Cuma-Cuma bagi Ibu saya. Bagaimanapun, dengan listrik prabayar Ibu saya bisa membaca dan menentukan voucher nominal pemakaian listrik yang ia gunakan dalam jangka waktu tertentu.
Disamping murah dan secara teknis tidak sulit dilakukan, Ibu saya merasa lebih aman pergi ke sawah saat rumah kosong. Tidak perlu lagi petugas PLN yang kadang tidak dikenal seliweran dan datang untuk membaca meteran di depan rumah.
Terakhir, meski listrik prabayar ini memiliki banyak manfaat, namun masih perlunya peningkatan dan perbaikan pada penerapan listrik prabayar ini. Menurut Ibu saya, pernah ada kejadian yang dialami tetangganya dimana pulsanya tiba-tiba berkurang atau hilang secara tidak wajar. Syukurnya Ibu saya belum pernah mengalaminya. Jangan sampai juga. Beberapa warga juga belum terlalu mengerti sehingga masih bertahan menggunakan listrik pascabayar. Rasanya masih perlu sosialisasi kepada masyarakat dari PLN. Terutama bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan seperti Desa saya ini.
Sekian cerita dan ulasan tentang si “Listrik Pintar PLN” dari Ibu saya. Terima kasih PLN telah membuat Ibu saya merasa lebih nyaman dan aman. Saya sepakat jika dikatakan listrik pintar PLN membuat hidup menjadi lebih baik, setidaknya bagi Ibu saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H