Mohon tunggu...
Riyanto Suparno
Riyanto Suparno Mohon Tunggu... Swasta -

Safety Engineer yang hobi menulis dan berdiskusi rriyanto74@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pak Ahok, Bolehkah Saya Katai Sampeyan Jancuk?

14 April 2016   14:23 Diperbarui: 14 April 2016   14:28 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Ahok, apakah diperbolehkan saya mengatai Anda sebagaimana Anda mengatai orang-orang yang Anda anggap ‘salah’? Bolehkah Pak?. Apakah nantinya para pendukung Bapak akan menyerang saya. Mengata-ngatai saya juga begitu?.

Lagi-lagi ini bukan soal SARA ya Pak. Melainkan menyoal apakah kiranya bahasa dan tindakan yang menjadi ciri khas Bapak pantas dan layak. Dalam subyektifitas saya lho ya. Dalam pandangan pribadi saya lho ya.

Sebelumnya, saya mohon maaf sekali kalau salah-salah menuliskan sesuatu. Saya tidak ingin di-bully atau apalah. Jika tidak sepakat dengan tulisan ini, monggo ditanggapi dengan tulisan juga. Artikel juga. Opini juga. Kan sepadan.

Saya orang Jawa Pak. Jawa tulen. Boleh dibilang tulen sekali. Saking tulennya kadang-kadang saya sendiri sadar kalau saya ini dalam berkomentar, berpendapat, bertingkah polah Jawa sekali. Selalu membawa-bawa unsur Jawa. Selalu membanggakan identitas saya sebagai orang Jawa. Buat saya Pokoknya Jawa is the best Pak.

Saat pemilihan Gubernur Jakarta kemarin saya mendukung Pak Jokowi namun -mohon maaf sekali- saya tidak ada niatan mendukung Bapak. Yah kepaksa aja, mau ndak mau aja. Lha wong Bapak pasangan Pak Jokowi e. Njuk kepiye maneh. Jujur saya waktu itu bagi saya, sing penting Gubernure wong Jowo.

Tidak hanya sekedar urusan Gubernur Pak, bagi saya juga, Presidennya harus orang Jawa. Pemikiran saya mungkin dangkal dan agak-agak gimana. Tapi itu kenyataan lho Pak. Bukan maksud saya tidak mendukung Bapak gara-gara Bapak keturunan China, jelas bukan. Nanti saya dituduh begitu lagi. Asal bapak tau, biarpun Mas Dhani ada Jawa-Jawa-nya, saya tetap ga mendukung dia jadi Gubernur. Wes lah, kok melantur jauh.

Saya tidak akan paparkan bahasa dan tindakan pada tataran Negara, terlalu besar dan terlalu berangan-angan barangkali. Lebih-lebih saya ga mengerti. Saya mah apak Pak. Saya hanya akan menceritakan bagaimana di tempat saya berasal, sebuah Desa kecil di Jawa Tengah yang masih mengedepankan kesantunan dalam berpolitik (tentunya politik lingkupan Desa). Hanya sekedar contoh kecil tentang makna deheman.

Tutur kata bagi saya, mungkin juga kami, orang Jawa sangat penting. Saya kadang sering dimarahi Ibu saya saat tidak menggunakan bahasa Jawa halus dengan yang lebih tua. Itulah mengapa di suku kami, Jawa, ada tingkatan bahasa dan peruntukannya. Kesantunan bagi saya sangat penting. Apalagi untuk ukuran pemimpin. Semestinya juga penting.

Di tempat saya Pak, seorang Kepala Desa saat berembuk di Balai Desa tentang sesuatu hal, tidak perlu mengatakan dan berteriak ‘Diam kalian semua’ atau ungkapan kasar lainnya ketika warganya berisik dan saling cela. Hanya dengan berdeham saja semua warga sudah diam. Mereka semua mengerti.

Arti deheman seorang Kepala Desa saja sudah menunjukkan sebuah perintah diam. Bahkan tanpa mengucap kata diam itu sendiri. Apalagi deheman Bapak. Tanpa mengucapkan ‘BPK ngaco’ pun saya rasa kita semua paham maksud Bapak.

Eheemmm, BPK yaaa… kan lebih keren kesannya Pak. Bukan maksud saya ngajari lho ya. Contoh saja. Perbandingan saja. Seperti yang saya bilang, saya ini Jawa tulen yang seringkali membandingkan yang bukan Jawa dengan Jawa. Tapi jujur saya tidak ada maksud SARA apalagi maksud menghina. Ini pendapat pribadi saya saja.

Tapi ini memang soal gaya bicara sih Pak. Kalau bapak masih ingin berbahasa cenderung kasar ceplas-ceplos seperti sekarang dan tidak ingin mengubah menjadi lebih halus dan santun, ya monggo-monggo saja. Sah-sah saja. Ndak ada undang-undang juga yang mengatur ketentuan berbahasa Gubernur sepertinya.

Saya hanya takut penggunaan bahasa yang agak keras Bapak banyak ditiru kawula muda. Apalagi bapak banyak diidolakan oleh banyak kawula muda -kecuali saya ya Pak-. Mohon maaf, sampai saat ini saya masih mengidolakan Megan Fox dalam aktingnya di Transformer, so sexy.

Entah kenapa saya kalau mendengar kata-kata Bapak yang ‘sinting’ lah, ‘gila’ lah, ‘ngaco’ lah, ‘kurang ajar’ lah, ‘saya pecatin semua’ lah, 'kotoran' alias -maaf- 'tai' lah, 'komunis' lah saya kesal Pak. Kok Bapak pemimpin tapi begitu. Batin saya sih Pak.

Pak Harto saja yang mimpin Indonesia 32 tahun lamanya tidak sesombong itu Pak bahasanya. Jangan sampai kata-kata kasar jadi trend dan dibenarkan.

Ajining diri soko lathi. Kurang lebih begitu.

Bagi saya, senyuman Pak Harto yang lebih suka meneng lebih menakutkan dari Bapak. Wibawanya lebih kena daripada Bapak. Kalo Pak Harto, dia idola saya. Sungguh-sungguh saya idolakan. Sama-sama pernah sekolah dasar di Wonogiri juga.

Pak Ahok, mbok ya kalo bisa dikurangi Pak penggunaan bahasa yang kurang santun dan cenderung kasar. Saran saja sih Pak. Yah walaupun saya tahu nanti pendukung bapak akan bilang, lebih baik kasar tapi bersih, jujur, adil, dan tegas. Heemmm. Bukankah lebih baik lagi kalau santun tapi bersih, jujur, adil, dan tegas. Sesederhana itu Pak. Pernah saya liat di siaran televisi "ILC" pendukung Bapak berkata-kata yang kasar kepada salah seorang pensiunan Jenderal. Saya rasa berlebihan sekali kata-kata pendukung Bapak itu. Jangan-jangan dia meniru Bapak?. Saya hanya menduga-duga saja.

Bapak itu banyak yang mengidolakan. Artis sosial media. Di Kompasiana aja banyak yang menulis tentang Bapak. Lha termasuk saya iki. Bisa saja dan bisa jadi banyak yang meniru tindak-tanduk sehari-hari Bapak. Apa bapak mau suatu saat nanti akan ada kejadian dimana seorang suami yang mengatai istrinya ‘istri ngaco’ gara-gara beli bawang seharga 100 ribu sedangkan di toko sebelah diduga dijual 80 ribu. Yah perumpaan saya ngaco sih emang. Ibarat saja itu. Bisa jadi. Bisa enggak.

Malahan ada yang menyamakan Bapak dengan Nabi saya, Muhammad SAW, lho pak. Apa nggak membabi-buta banget pendukung Bapak itu. Kalau sudah ada yang sebegitunya, apa ga kebangetan Pak. Saya tersinggung terus terang saat ada yang memberitakan itu di Media. Berani betul orang itu. Kampret sekali –tuh kan Pak, saya ikutan kasar-. Sepurane.

Ya wes gitu aja Pak. Makanya saya minta ijin. Apakah boleh saya katai bapak Jancuk!? Sebabnya saya juga kesal melihat bapak suka menggunakan kata-kata yang kasar gitu. Tapi ini saya nanya lho Pak. Masih nanya. Boleh apa enggak Pak?.

Mohon maaf jika tak berkenan. Sekian dan terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun