Setelah bosan di Kantor dan jengah dengan banyaknya pemberitaan tentang PILKADA DKI serta banyak lagi berita tentang Pemerintah yang ini dan itu, rasanya tergelitik juga ingin berpendapat. Ingin sharing.
Ingin gosip buat orang yang kerja di Menara Kuningan Jakarta agak susah. Semua sibuk menatap laptop, sementara saya sibuk nunggu giliran presentasi beberapa jam lagi. Saya curahkan saja opini saya. Semoga bisa diambil hikmah.
Kadang-kadang kita perlu becermin dan belajar pada sosok lain dan mendengar apa yang mereka katakan. Taruhlah seorang pengemis dan pedagang asongan juga punya pandangan-pandangan yang bisa jadi bijak lagi baik.
Man on street, orang awam seperti saya, bisa juga melontarkan gagasan yang kadang ada benarnya.
Di negeri yang enggan beranjak maju ini, mesti begitu ingin. Tersebutlah sebuah kisah tentang Negara dan Provinsi yang sedang menjadi buah bibir. Tempat dimana seorang RT hidup, sebut saja Dikun. Biasa disapa RT Dikun.
Sore itu, RT Dikun sedang duduk di depan pendopo rumahnya. Sebagai abdi Negara dan Negarawan, ia cukup disegani oleh para warganya. RT Dikun rupanya jelek, idung cenderung pesek, perut buncit, kaki pengkor ndak karuan, tapi ia punya tutur kata dan guyonan yang bagus. Tidak pernah sekalipun ia mengejek atau membentak warganya. Walau ingin.
Ia merakyat dan mau ngobrol sama kawan-kawannya yang ndak sempat bersinggungan dan menyampaikan gagasan kepada Gubernurnya. Gubernur di Provinsi ini dikenal dekat dengan RT Dikun. Bisa dibilang RT Dikun memiliki relasi khusus dengan Gubernur. Sehingga banyak orang menganggap dia sebagai penyambung lidah orang-orang kecil. RT Dikun bekerja sebagai tukang kebun di Rumah Dinas Gubernur.
Sore itu. RT Dikun tengah mendengarkan keluh kesah salah satu warganya. Djani. Pedagang gorengan.
“RT Dikun, harga beras itu mulai mahal loh. Mbok yo ngomong karo Gubernur. Kandani yen beras jadi mahal. Kami susah makan Kun. Ndak mikirin apa kami susah kayak gini.” Celoteh Djani yang lewat dan bertemu RT Dikun yang sedang duduk di teras depan rumahnya.
“Yang punya kebijakan itu Presiden, ya Presiden yang ada di pemerintahan pusat sana yang punya kuasa nentuin harga beras.” Jawab RT Dikun. “Gubernur mana tahu begituan.” Lanjutnya sok tahu.
“Mbok pikir Gubernur iku goblok!. Dari dulu itu tugas Gubernur bantu kami toh Kun. Memang dia ndak merasakan kayak kami.” Kilah Djani.
Heeemmmm. RT Dikun mesam-mesem sendirian. Ia terlihat sedikit Gusar.
“Teruske Pak.”
“Lah malahan Gubernur itukan juga bisa menyelesaikan keluh-kesah kami, ikut merasakan akibat dari harga beras naik itu. Giliran panen padi, harga gabah murah. Iki lak gendeng to Kun.”
RT Dikun menarik nafas dalam-dalam. Ngerti apa kamu, batinnya kesal.
“Jamannya sudah beda Pak. Sekarang Gubernur mungkin sudah berubah. Ndak seperti dulu lagi yang idealis, indenpenden, dinamis, dan selalu terpanggil menyuarakan hati rakyat jelata kayak sampeyan.” Jelas RT Dikun sembari mengelus perutnya yang buncit.
“Jangan ngelus perut aja Kun. Maksudnya itu gimana lo ya?” Timpal Djani balik. “Mencla-
mencle kamu ini kalo ngomong. Sama kayak rupamu itu.”
“Jadi begini Pak Djani yang terhormat, dulu waktu pemerintah pusat masih suka semena-mena Gubernur membela karena memang kasihan juga rakyat. Gubernur masih megang prinsip-prinsipnya. Luhur tindak-tanduknya.Teguh pendiriannya. Kokoh langkah kakinya. Nah sekarang
Gubernur itu sudah sedikit lupa dan malah cuma buat acara yang menjadi Pencitraan saja. Pendiriannya kadang goyah. Langkah kakinya kadang sempoyongan.” Terang RT Dikun.
Djani hanya melongo.
“Perkarae Gubernur yo akeh, banyak. Opo meneh mau pilihan lagi.” Sambung RT Dikun.
“Maksute piye Kun?“.
“Sampeyan Pak. Bego dipelihara. Makane belajar Pak, biar otaknya ndak sepi. Gini, Gubernur kan juga mau nyalon meneh. Lek ngurusi orang kaya sampeyan terus, sopo sing bakal ngelihat. Ngga ada. Sampeyan ngga keren. Ndak ada media meliput. Tampang kayak sampeyan iku ga menjual. Gak menarik. Ora bakal kepilih lagi nanti dia jadi Gubernur. Ngerti?”
“Lah saiki lak kamu yang bego Kun.” Sela Djani.
“Kok Aku?”.
“Ya kamu. Sing nanti milih kan Aku juga. Kita-kita juga. Sibuk ini itu kan aku yo milih. Kalo bener omonganmu. Berarti kamu sama Gubernur juga bodoh. Mau mimpin kok cari perhatian. Rakyat kecil nih butuh perhatian.” Urai Djani Kesal.
Djani pun ngeloyor pergi. RT Dikun hanya terhenyak. Suasana hening. Ia pun berlalu dan masuk ke dalam rumah.
Dasar Djani sialan, umpatnya kesal.
Semoga pemilihan Gubernur nanti berjalan lancar. Tidak saling hina dan membawa hal-hal yang berbaru SARA. Hiruk-pikuk PILKADA seharusnya tidak menjadikan kita kerdil dalam berpendapat, melainkan menjadikan kita dewasa dalam menentukan sikap politik dan menyampaikan pandangan.
Dalam Demokrasi dari RT Dikun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI