Mohon tunggu...
Riyan Fernandes
Riyan Fernandes Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik

Seorang pendidik yang bercita-cita sangat sederhana, bagaimana diri yang kecil bisa bermanfaat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Geliat Kebhinekaan dari "Pecinan" Payakumbuh dan Sumatera Barat

2 Maret 2023   21:20 Diperbarui: 2 Maret 2023   21:57 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Malam baru saja merayap. Senja yang tadi begitu memerah berganti menjadi gulita yang diterangi oleh temaram lampu pijar nan merona putih. Saya yang dari tadi sibuk membaca buku, tiba-tiba dipanggil oleh ayah dan ibu menuju ke ruang tamu.

            ”Yan, kamarilah”.

            Dengan sedikit malas saya menggerakkan otot-otot kaki, melangkahkan-nya menuju ruang tamu, yang jarak sebenarnya hanya beberapa meter saja. Kemalasan saya tentu bukan karena panggilan orang tua, namun lebih kepada terpotongnya kegiatan saya yang paling menyenangkan, membaca Buku petualangan karya Enid Blyton, apalagi kalau bukan cerita Lima Sekawan.

            Retina saya segera menangkap bayangan beberapa orang di ruang tamu. Saya fokuskan lagi pandangan, benar, ada beberapa orang yang sudah sangat saya kenal berada disana. Dua orang yang sudah sangat jelas, karena merupakan orang tua saya, dan tiga orang lagi adalah sekeluarga Tionghoa yang merupakan sahabat orang tua saya.

            Keluarga itu adalah keluarga Setiawan. Keluarga keturunan yang sudah menetap sangat lama di Kota Payakumbuh. Orang tua saya dan keluarga Setiawan ini sering saling mengunjungi, terutama ketika ada momen-momen tertentu. Termasuk saya juga pernah juga pernah beberapa kali mengunjungi rumah keluarga ini ketika dibawa oleh orang tua. Dan dirumah keluarga inilah di waktu kecil saya melihat dengan langsung Hio yang ternyata memiliki arti dalam setiap penggunaannya.

Malam ini keluarga Setiawan membawa serta anaknya yang baru saja menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar dan akan masuk ke Sekolah Menengah Pertama.

            ”Eh ada Pak, Buk Un dan Wawan”.  Saya menyapa sekaligus menyalami keluarga tersebut.

            Pertemuan tersebut kemudian berlanjut dengan saling berbagi cerita. Usut-punya usut ternyata Bapak dan Ibuk Un ingin berdikusi terkait kelanjutan perkembangan sekolah anaknya yang biasa dipanggil Wawan.

            “Rencanya Wawan mau lanjut dimana?” Saya mulai membuka pembicaraan.

“Rencananya Wawan mau masuk SMP Negeri saja” begitu jawaban langsung dari Ibuknya Wawan

            “Serius mau masuk sekolah negeri saja?” saya langsung menimpali dengan nada sedikit terkejut. Bukan apa-apa, biasanya teman-teman saya yang cukup berpunya dan anak-anak Tionghoa akan memilih Sekolah Swasta Favorit di Kota Payakumbuh”

            ”Iya. Kami sangat ingin Wawan masuk sekolah SMP Negeri dan juga SMA Negeri yang ada di Kota Payakumbuh ini”. Orang tua Wawan menjawab dengan sangat mantap.

            “Wawan ini sangat berminat dalam bidang Matematika dan Komputer”. “Jadi Ambo berdua sangat berharap Wawan bisa menggeluti bidang tersebut”. Orang tuanya kemudian melanjutkan dengan menggunakan kata ganti Ambo.

            Penggunaan Bahasa Minang yang kental juga sering dipakai oleh keluarga Setiawan ini. Tidak ada kedengaran nada yang aneh ketika mereka menggunakan Bahasa Minang dalam kehidupan sehari-hari.

Diskusi kemudian berlanjut dalam suasana yang begitu hangat. Interaksi sosial yang telah terjalin puluhan tahun diantara kedua keluarga membuat satu sama lain saling terlibat dalam diskusi.

            Oh ya, Ayah saya adalah seorang pedagang harian atau pedagang kelontong di daerah Parit Rantang, Kota Payakumbuh. Kedai ayah saya menjual beragam kebutuhan dan perlengkapan harian. Sebagai pedagang kelontong, beliau hampir setiap hari beliau berbelanja kebutuhan kelontongnya di ”Pecinan” Kota Payakumbuh.

”Pecinan” Payakumbuh adalah sebuah daerah yang ditempati oleh keluarga keturunan Tionghoa yang sudah menetap lama di Kota Payakumbuh. ”Pecinan” sendiri berlokasi di pusat Kota Payakumbuh atau berada di daerah Lundang.

Salah satu toko grosir yang paling sering menjadi langganan Ayah saya adalah Toko Setiawan yang dikelola langsung oleh pasangan suami istri Pak Wan dan Buk Un ini. Saya ingat sekali, betapa di waktu saya berada di Kota Payakumbuh, yaitu dari usia Sekolah Dasar sampai dengan usia Sekolah Menengah Atas, sangat sering berbelanja ke kawasan ini.

Kenangan pertama sekali berbelanja pun saya masih membekas sampai saat ini. Sore itu ayah saya sedang mempunyai urusan yang mendesak, namun barang di toko kelontong harus ada yang segera dibeli. Jadilah dengan menggunakan sepeda, saya menuju ke toko beliau. Awalnya beliau sedikit terkejut, ada anak usia sekolah dasar yang berbelanja dengan jumlah yang cukup besar.

“Buk, beli barang-barang dalam catatan ini ya” kata saya sambil menyerahkan selembar kertas yang sudah dicatatkan oleh orang tua.

“Baik, sebentar ya diambilkan” ujar beliau sambal segera mengemas barang seperti pesanan dalam catatan.

  Selanjutnya beliau segera menghitung dan menyebutkan sejumlah angka sebagai total belanjaan saya.

“Iko pitihnyo buk” ujar saya sembari mengeluarkan uang yang sudah terlipat-lipat.

“Baik” Ujar beliau sambal menghitung uang yang saya berikan.

“Uangnya sudah cukup dan ini barangnya”. Beliau menyerahkan barang belanjaan kepada saya.

”Eh adik dari mana?” Beliau bertanya ketika saya menerima barang belanjaan.

“Saya dari Parit Rantang Buk” Sambil menerima barang pesanan.

“Parit Rantang?” beliau seperti tidak yakin.

“Iya Buk, dari Polam Parit Rantang” Saya meyakinkan.

”Anaknya Pak Ujang??” Beliau Kembali bertanya.

“Iya Buk”… saya tersenyum sambil mulai menaiki sepeda.

”Ooo.... Kemana Bapak” beliau kembali bertanya.

“Bapak sedang ada acara buk” Saya sudah berada diatas sepeda.

“Oh Baiklah, hati-hati ya pulangnya”

“Terima kasih buk, saya pulang dulu”.

Kegiatan belanja pertama itu kemudian seperti menjadi kebiasaan bagi saya, dimana orang tua sering meminta saya untuk belanja ke daerah ”Pecinan” Payakumbuh. Salah satu kelebihan berbelanja dikawasan ini adalah adanya sinergitas diantara para pedagang.

”Oh yo barang ko habis, bali se di kadai situ yow”. Begitulah pernyataan yang saya dapatkan pada beragam kesempatan ketika barang yang saya cari tidak tersedia di salah satu toko. Para pemilik toko tidak akan segan-segan menunjuk toko lain yang memiliki barang yang dicari, walaupun toko tersebut sebenarnya merupakan toko yang menjual barang yang hampir sama dengan tokonya atau saingan.

Pertumbuhan usia dan pengalaman hidup yang terus berjalan kemudian juga membuat saya melihat bahwa ”Pecinan” Payakumbuh dan Pecina-pecinan lainnya di Sumatera Barat adalah potret indahnya toleransi dan Kebhinekaan di Negara Indonesia tercinta.

Hal ini saya saksikan semenjak kecil, bagaimana dulu di Kota Payakumbuh, ketika ada perayaan seperti Pawai kemerdekaan setiap 17 Agustus, pertunjukkan Barongsai selalu menjadi pertunjukkan yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat, bahkan pemain barongsainya sendiri ada yang asli penduduk lokal. Semua bersorak ketika melihat atraksi Barongsai, siapapun itu, tanpa pernah memandang Suku, ras dan Agama.

Begitu juga dengan juga ketika ada kemalangan atau duka. Budaya Duka dalam kebiasaan masyarakat Tionghoa masih nampak terlihat jelas. Budaya duka itu kemudian juga diikuti dengan adanya perkuburan khusus teman-teman dari Keturuan Tionghoa Minang. Dimana hal tersebut dapat kita temukan di beberapa tempat di daerah Sumatera Barat.

”Kampung-Kampung” Pecinan juga dapat ditemukan di tiga Kota besar utama yang berada di Sumatera Barat. Tiga Kota besar tersebut, yaitu : Kota Padang, Kota Bukittinggi dan Kota Payakumbuh.

Daerah Pecinan di setiap kota di Sumatera Barat tersebut selalu berdiri berdampingan dengan masyarakat lingkungan sekitar. Khusus untuk Kota Padang, daerah Pecinan yang berada di daerah Pondok menunjukkan begitu Bhinekanya Indonesia, karena ditempati oleh beragam Suku, agama dan Ras, namun selalu terjaga keharmonisannya.

Oleh karenanya, tidak berlebihan kita menyebut bahwa ”Kampung-kampung Pecinan” yang ada pada beragam daerah di Sumatera Barat, dengan  perputaran ekonomi, interaksi Kebudayaan dan interaksi sosial yang begitu tinggi di dalamnya, adalah cermin bahwa kebudayaan Tionghoa keturunan adalah bagian dari Kebhinekaan dan toleransi dari perjalanan panjang Republik bernama Bangsa Indonesia.

”Kami permisi pulang ya!” tanpa terasa obrolan keluarga saya dan keluarga setiawan sudah berlangsung lama. 

”Silahkan dihabiskan dulu minumnya” Orang tua saya menyahut.’

Setelah itu keluarga tersebut langsung berdiri dan mulai menaiki motor mereka yang sangat sederhana. Walau sebenarnya saya sangat tahu orang tua Wawan memiliki kendaraan lain yang sangat bagus di garasi rumahnya

“Kami pamit ya!” Ujar keluarga tersebut sambil motornya bergerak pelan.

“Hati-hati” Balas kami sekeluarga.

Tidak berapa lama motor keluarga tersebut sudah hilang di tikungan.

*****

Kenangan akan keluarga tersebut membuat saya hari ini, ketika menuliskan tulisan ini, menelepon ayah di kampung dan menanyakan kabar keluarga sahabatnya ini.

”Oh Ya Wawan sudah lulus kuliah di bidang Komputer dan saat ini sudah bekerja di Jakarta pada perusahaan hebat serta membawa kedua orang tuanya!”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun