Mentari senja sore itu perlahan mulai menenggelamkan diri.
Dengan sigap, sang malam menggantikannya.
Kami masih asyik bersenda gurau di pesisir pantai, ditemani debur ombak yang berkejaran.
"Kau betul-betul yakin dengan keputusanmu?"
"Tentu. Kenapa?"
"Tidak apa-apa."
"Kau takut ya?"
"Jujur, sedikit."
"Apa yang kau takutkan? Jakarta itu dekat."
"Bukan, jarak itu tak ubahnya hanyalah angka, lagipula, yang aku takutkan adalah perubahan sikapmu nanti."
Aku menghela napas panjang sambil merebahkan tubuhku di pasir.
Seolah memberikan sambutan terakhir padaku, bintang-bintang malam ini bersepakat untuk tak bersembunyi dibalik gelapnya malam. Indah sekali.
"Kau ingat langit malam kemarin?" tanyaku.
"Ya."
"Kemarin tak ada bintang satupun. Tapi, lihat malam ini."
"Lantas?"
"Kau tahu? Tak selalu perubahan itu buruk. Memang banyak, tapi tak semua."
"Entahlah. Aku hanya takut."
"Aku tak bisa memaksamu untuk percaya. Aku hanya minta titip hatimu padaku."
"Kau berjanji?"
Seketika, aku meraih kelingking tangannya.
"Janji jari kelingking."
Oleh : Riyandi Joshua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H