"Tok, tok, tok," detak sang rintik mengetuk permukaan jendela.
Bulirnya menelisik masuk lewat isak para tuna-asmara.
Mereka merasa tenang tatkala hujan mulai menggenang.
Meskipun masih harus mengenang kenang yang berlinang.
Bagi mereka, hujan selalu punya dimensi bagi orang-orang yang tengah depresi.
Membuka ruang imaji bagi para patah hati.
Menjadi ruang hampa tempat membuang nestapa.
Adalah hujan, yang mampu menjebak kita dalam sebuah perbincangan.
Derasnya kala itu, mempertemukan mata kita dalam satu garis lurus.
Udara dingin yang merangkulmu cemburu dengan hangatnya obrolan kita.
Jujur saja, Aku harap saat itu hujan terus merintik selamanya.
Pun aku harap dinginnya malam dapat membekukan waktu.
Telingaku ingin lebih banyak dilalui oleh padatnya lalu lintas ceritamu.
Memoriku ingin lebih banyak menyimpan keluh kesahmu.
Juga mataku, ingin berlama-lama bertamu di matamu.
Tatkala rinai hujan telah usai, kita berpisah dengan sebuah lambai dan hati yang mengandai-andai.
Tidak.
Bukan kita.
Hanya aku saja.
Semoga kita punya perasaan yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H