Mohon tunggu...
Slamet Riyadi
Slamet Riyadi Mohon Tunggu... -

JKW-JK, 2 orang baik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fadli Zon "Ciut" Sebut Kompasiana

22 April 2014   09:18 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:21 4120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam puisi terbarunya di sini, Fadli Zon hanya menyebutkan twiter dan facebook sebagai media serangan terhadap kubunya.

Suatu permainan yang indah (licik) dari waketum Gerindra untuk menggiring opini publik agar memberi belas kasihan kepada Prabowo sekaligus memberikan opini yang jelek kepada pendukung Jokowi yang disebutnya tega membunuh karakter "tuan" nya demi imbalan nasi bungkus.

Dan di sinilah kelihaian (culas)nya Fadli Zon yang tidak mau menyebut Kompasiana. Kenapa?

Sebagai pendatang baru di Kompasiana (baru bergabung setelah pileg 2014 usai), saya menemukan banyak opini yang tidak pernah saya dapatkan di media lainnya. Opini yang ditampilkan di media umumnya berdasarkan ungkapan dari pakar politik yang sengaja direkrut pemilik media tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan citra "jagoan"nya atau menyerang " lawan"nya. Tentu kita masih ingat betapa efektifnya persepsi tersebut membentuk opini masyarakat terkait "Jokowi YES, PDIP NO", "Efek Jokowi yang tidak ngefek" dan puisi Fadli Zon yang menyerang personaliti Jokowi secara "vulgar".

Bagaimana saya katakan bahwa pakar politik telah "efektif" membentuk persepsi masyarakat?

Hal ini dikarenakan masyarakat dari awal telah dibuat terkesima dengan gelar "pakar" yang disandang, sehingga lumrah menjadikan kata-kata mereka sebagai tempat rujukan awal. Apalagi tujuan dibentuknya media tersebut adalah untuk memberikan komunikasi "satu arah" maka berbagai ganjalan yang mengemuka antara opini pakar politik dengan logika yang berkembang di alam pemikiran mereka menjadi terabaikan. Dan seiring dengan opini pakar yang secara intens terus memborbardir media massa, ganjalan tersebut berangsur hilang dan berubah menjelma menjadi persepsi yang mendukung opini para pakar tersebut.

Apakah pakar politik tersebut tidak dibayar? Terlalu naif untuk mengatakan tidak. Atau katakanlah mereka tidak dibayar, paling tidak mereka dapat memperoleh imbalan berupa pencitraan diri alias menaikkan nilai jual mereka di hadapan para pembaca yang sirkulaisnya tersebar di mana-mana. Bahasa kerennya numpang "ngetop".

Bagaimana dengan kompasiana? Jangankan pencitraan, malah tanggapan yang didapatkan terkadang membuat hati "panas" hehe...

Komunikasi yang dirancang "dua arah" oleh admin Kompasiana memungkinkan kita untuk menanggapi opini yang dinilai "sesat" sehingga pada akhirnya akan memberikan pilihan pada kita untuk mendukung atau menentang opini tersebut. Atau dengan modal pas-pasan akhirnya kita memberanikan diri untuk melawan opini "sesat" tersebut dengan artikel yang merepresentasikan pikiran kita. Tentu saja, setelah itu kita musti merelakan diri untuk dihujani kecaman dan makian atas opini yang kita kemukakan tersebut. Di sinilah proses demokrasi sejatinya yang sedang kita bangun di Kompasiana.

Termasuk tulisan saya kali ini, sah-sah saja sebentar lagi banyak orang yang mengkritik. Tentu saja hanya kritikan yang didasarkan pada suatu argumentasi atau fakta yang akan saya layani. Hal ini sebagai sarana pematangan konsep diri saya sendiri, karena saya yakin bahwa mereka juga tidak bermaksud untuk menyerang saya secara pribadi (wong gambar patung berkuda begitu, apa yang mau dimaki...hehe)

Dalam puisi tersebut, Fadli Zon juga menyerang saya (gee...eeerr)  dengan mengatakan "Kami pasukan nasi bungkus, Punya sejuta akun siluman". Prinsip saya adalah lebih baik untuk memperhatikan APA yang diomongkan seseorang daripada melihat SIAPA yang ngomong. Hal ini penting untuk menjamin proses pembelajaran seseorang dalam menulis atau mengeluarkan opini dapat berkembang secara alami. Terkecuali bagi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun