"Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata"
"Dan kubenamkan topi baret di kepala."
"Malu aku jadi orang Indonesia... ".
Tanpa teriakan, hanya nada yang dalam.
Apa yang saya lihat tidak seperti yang saya bayangkan. Tak ada ekspresi seram, suara melolong, dan tangan yang belingsatan. Secara tak terduga, beliau membawakan puisi seperti orang berbicara biasa. Seperti orang yang sedang bercerita. Sederhana, namun menghanyutkan. Wajahnya tenang, tidak meraung-raung seperti yang saat itu saya kira. Pembawaan beliau khidmat membawakan puisinya. Dan puisinya pun terdengar syahdu memancarkan perasaan yang dalam.
Beliau adalah Bapak Taufiq Ismail, seorang penyair senior yang baru pertama kali saya lihat di layar kaca. Belakangan saya ketahui beliau sebagai pencipta lagu-lagu Bimbo, dan hanya menulis sepenuh hati apa yang merupakan nilai kebajikan, bertambahlah kekaguman saya. Entah bagaimana, saya sangat terpengaruh apa yang saya lihat saat itu.
Beberapa waktu berlalu hingga suatu hari pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, kelas kami mendapatkan tugas yang menarik. Kami tengah sampai pada bab deklamasi puisi, dan bisa ditebak, akhirnyakami wajib mepraktekkannya. Tidak langsung, tetapi direkam pada sebuah kaset. Untuk kemudian di minggu depannya, rekaman tersebut akan diperdengarkan ke seluruh kelas.
Dari semua puisi yang tersedia untuk dipilih, saya memilih puisi Taufiq Ismail "Beri Daku Sumba". Singkat cerita, sampailah pada waktu pemutaran kaset kami. Satu per satu kaset diperdengarkan dan mengundang reaksi yang beragam. Melihat itu saya jelas cemas sekaligus penasaran bagaimana jadinya nanti?
Dan tiba juga saatnya untuk puisi saya. Seisi kelas disuruh untuk diam. Ibu Guru menekan tombol 'play'. Kaset berputar perlahan dengan jeda yang hening beberapa saat. Kemudian mulai terdengar suara remaja tanggung itu membacakan puisi.
"Beri Daku Sumba karya Taufiq Ismail...". Sejauh ini cukup baik.
Saya pun mulai membacakannya, "Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu." Petaka dimulai.