"Dalam kehidupan sehari-hari kita lebih banyak bertindak sebagai penonton dengan tidak memikirkan lebih mendalam mengenai segala sesuatu yang berada di sekitar kita."
Prof. Dr. Gorys Keraf - Pakar Linguistik Indonesia
Saya baru saja selesai membaca sebuah buku terjemahan berjudul "The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains", karya Nicholas Carr, yang menjadi finalis Pulitzer Award 2011. Buku ini menyajikan "pemikiran yang sangat provokatif tentang konsekuensi fisik dan budaya dari internet" demikian menurut Komite Pulitzer Award. Ia berkisar pada pertanyaan apakah internet mendangkalkan cara berpikir kita? Tergolong mudah dibaca mengingat sifatnya yang tergolong tulisan ilmiah. Saya tidak bermaksud untuk mengulas argumentasi Carr tentang hal tersebut di sini, karena ada satu bahasan yang menarik di dalamnya tentang hal lain mengenai dampak internet. Yaitu tentang dampaknya terhadap cara kita membaca, faktor penting dalam kemampuan kita berbahasa.
Berbicara soal internet, saya masih ingat awal menggunakan internet sekitar sembilan tahun lalu. Tidak seperti sekarang, koneksi internet saat itu masih sangat lambat. Untuk membuka sebuah website, loading-nya paling cepat sekitar 10 detik. Paling cepat. Saya pandangi lekat-lekat kotak penanda loading yang merambat seperti siput. Dan setelah berlama-lama browsing mencari data, hanya sedikit yang bisa tersimpan. Saat itu masih umum penggunaan disket, alat penyimpan data berbentuk persegi dengan kapasitas tak lebih dari satu setengah megabytes.
Kini, kemajuan internet telah melesat jauh melebihi gerak siput browser sembilan tahun lalu itu. Fitur-fitur baru terus bermunculan. Twitter, Facebook, MySpace, Google, Youtube, dan masih banyak fitur-fitur online semakin akrab di telinga. Koneksi internet semakin cepat. Menggunakan internet kini lebih nyaman, seiring waktu ia menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup generasi masa kini. Generasi Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Bagi generasi ini, -generasi kita-, informasi dan koneksi adalah dua komoditi yang senantiasa dinanti. Internet memungkinkan keduanya secara real time, senantiasa diperbaharui serta terkini. Bisa jadi, informasi yang tercetak di koran esok pagi adalah apa yang telah kita baca melalui media online sehari sebelumnya. Kecepatan internet mengalahkan kecepatan informasi cetak. Waktu pencarian informasi dan aktivitas media sosial telah bertambah porsinya.
Sebagaimana dikutip dari buku Nicholas Carr, sebuah penelitian telah dilakukan untuk mengetahui porsi ini, dengan indikator rata-rata penggunaan internet selama seminggu di Amerika Utara dan Eropa. Pada tahun 2009, orang dewasa di Amerika Utara menghabiskan rata-rata dua belas jam online seminggu, dua kali dari rata-rata pada 2005. Tipikal orang dewasa Eropa menghabiskan delapan jam seminggu pada tahun 2009, meningkat sekitar 30% jika dibandingkan pada tahun 2005. Sementara sebuah survey internasional pada 2008 terhadap 27.500 orang dewasa berusia antara 18 - 55 tahun mendapati bahwa orang menghabiskan tiga puluh persen waktu santainya secara online, dengan Cina sebagai para pengguna internet intensif, menghabiskan empat puluh empat persen dari jam luar kerjanya di internet.
Semakin meningkatnya waktu yang digunakan untuk online telah membawa perubahan pada cara kita membaca. Pada tahun 2003, Ziming Liu, seorang dosen ilmu perpustakaan San Jose University, melakukan survei terhadap 113 terpelajar -para insinyur, ilmuwan, akuntan, guru, manajer usaha, dan mahasiswa pascasarjana, terutama yang berusia antara tiga puluh dan tiga puluh lima tahun -untuk mengukur bagaimana kebiasaan membaca mereka dan telah berubah dalam sepuluh tahun sebelumnya. Hampir delapan puluh lima persen orang dilaporkan bahwa mereka lebih banyak waktu membaca dokumen-dokumen elektronik.
Ketika diminta menyebut ciri praktik membaca mereka yang telah berubah, delapan puluh satu persen mengatakan bahwa mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk "menjelajah dan melihat-lihat", dan delapan puluh dua persen mengatakan bahwa mereka lebih banyak melakukan kegiatan "membaca nonlinier". Hanya dua puluh tujuh persen bahwa waktu yang mereka pergunakan untuk "membaca mendalam" lebih tinggi, sementara empat puluh persen mengatakan bahwa waktunya berkurang. Hanya enam belas persen yang mengatakan bahwa mereka memberikan lebih banyak "perhatian berkesinambungan" terhadap membaca; lima puluh persen mengatakan bahwa mereka memberikan "perhatian berkesinambungan" yang lebih sedikit.
Seorang partisipan dalam penelitian tersebut mengatakan "Saya merasa kesabaran saya membaca dokumen-dokumen panjang berkurang. Saya ingin meloncat ke bagian akhir artikel-artikel panjang. Seorang partisipan lain mengatakan, "Saya lebih banyak membaca sekilas [ketika membaca] halaman-halaman html ketika membaca materi cetak". Liu menyimpulkan sedang "tumbuh perilaku membaca berbasis layar," tulisnya, yang ditandai dengan "browsing (penjelajahan) dan scanning (penyapuan), pencarian kata kunci, membaca satu kali, [dan] membaca nonlinier". Di lain pihak, waktu "yang dihabiskan untuk pembacaan mendalam dan terpusat" menurun dengan stabil.
Studi-studi tersebut di atas mengarah kepada kesimpulan kecenderungan terjadinya perubahan cara membaca kita dari yang semula linier, -runut dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah- , menjadi sebuah proses 'sapu jagad' yang dilakukan dengan sangat cepat. Melompat-lompat mengabaikan suatu baris di sini, kepada baris di sana. Perhatian (attention) adalah elemen penting untuk mengintegrasikan pemahaman dengan memori jangka panjang di otak kita.Dan hal itulah yang memudar bersama cara kita memperoleh pemahaman di internet, yang terbawa pada cara membaca sehari-hari. Mengakibatkan pemahaman 'sepotong-sepotong' sebagai hasilnya.
Lantas, apa artinya semua ini? Apa hubungannya dengan kita? Jika Anda seperti saya dan orang kebanyakan orang, cara kita menjelajah internet juga telah mengalami perubahan dari masa sembilan tahun lalu. Sudah umum jika kita membuka jendela browser dengan empat atau lima tab di dalamnya. Kita membuka akun Facebook sambil menyetel video Youtube, dan googling di saat yang bersamaan. Kebiasaan untuk menjadi 'otak multikerja' beserta membaca dengan cepat telah terbawa sampai keseharian kita.
Bisa jadi di antara sekian banyak pembaca, sebagian besar adalah pembaca cepat tersebut yang terlanjur berpindah ke halaman lain sebelum menyelesaikan ini. Untuk Anda yang masih bersama saya, selamat. Anda tergolong kelompok yang sedikit dari orang-orang yang masih memiliki kemampuan membaca linier. Bukan hal yang remeh.
Aktivitas membaca adalah bagian penting dari transfer ilmu pengetahuan. Kita menjalani proses memahami suatu hal, menyerupai cara kita melakukan perenungan, atau membaca sebuah novel. Kita mengikuti secara naratif sudut pandang seorang penulis yang perlahan membangun argumennya seperti plot dalam novel membentuk ceritanya. Kita mengikuti dengan penuh khidmat dan perhatian, dimana kita masuk ke dalam alam ceritanya. Sampai pada satu titik terdapat konflik dimana kita tidak sepenuhnya setuju dengan pikiran penulis. Dan kita tetap melanjutkan perlahan dengan sabar. Hingga akhirnya muncul resolusi yang sedikit banyak membuat kita memahami sudut pandang penulis, untuk kemudian membuat kesimpulan sebagai akhir cerita.
Demikian pula dengan perenungan yang menjadi bagian dari proses kreatif. Proses kreatif membutuhkan saat berpikir mendalam dimana tidak ada gangguan yang memecah perhatian kita. Bukannya perasaan tergesa-gesa ingin mengetahui lebih banyak hal, yang berlanjut kepada ketergesaan mengetahui dan melakukan lebih banyak lagi. Hal yang lazim kita temui dari berselancar di dunia maya. Nicholas Carr sendiri mengakui "dulu, saya adalah penyelam kata-kata. Kini, saya bergerak cepat di permukaannya seperti orang yang mengendarai jet ski". Kemampuan untuk memusatkan perhatian, untuk fokus, tidak tergesa-gesa dengan kesimpulan menjadi elemen penting dari berpikir mendalam yang membawa kepada kreativitas.
Tentu Anda tidak sepenuhnya setuju karena internet memang bukan ditujukan untuk membaca secara mendalam seperti membaca novel, kita menggunakan internet hanya untuk keperluan rekreatif dan pencarian data secara cepat. Tidak ada yang salah dengan itu. Yang kurang tepat adalah saat Anda menjadi tidak peduli dengan akibat yang ditimbulkan internet sebagai kebiasaan baru yang terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari. Sekedar menikmati tanpa melakukan yang diberikannya terhadap sesuatu yang diambilnya: cara kita berpikir dan membaca secara mendalam.
Membaca adalah bagian vital dari khazanah bahasa. Perubahan dalam cara membaca juga berpengaruh ke dalam cara kita memahaminya. Kini saatnya Anda mulai menimbang cara untuk menemukan keseimbangan. Perubahan memang tak terhindarkan. Kita tak bisa sepenuhnya lepas dari internet yang penting bagi kehidupan kita. Ada kalanya kita perlu melakukan teknik scanning, ada kalanya kita memiliki kebutuhan menemukan informasi secara cepat. Tapi kita juga memerlukan kemampuan membaca secara kontemplatif dan mendalam untuk mendapat pemahaman yang utuh. Hal inilah yang amat sulit diperoleh dari internet yang menampilkan begitu banyak gangguan, tautan ke halaman lain, dan berbagai macam atribut yang justru memenuhi kita dengan hal yang mendesak namun tidak penting. Keseimbangan adalah kuncinya.
Jika Anda tidak ingin kemampuan Anda dalam berpikir mendalam tergerus sepenuhnya oleh sistem sapu bersih ala teknik membaca internet, kini saatnya untuk Anda mulai mempertimbangkan membaca penuh kesabaran karya-karya sastra hebat. Anda perlu melatih kembali 'otot-otot' membaca Anda, meraih kembali kemampuan kontemplatif Anda demi menghasilkan kreativitas.
Yang terbaik yang bisa saya rekomendasikan, mulai sekarang masukkan ke dalam 'menu harus dibaca' Anda puisi-puisi Taufik Ismail atau karya Ahmad Fuadi 'Negeri 5 Menara',mungkin? Pilihan asyik jika ingin pengalaman membaca yang penuh pendalaman.
Selamat menikmati. Raih kembali keseimbangan dalam cara membaca,
Anda pasti bisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H