“Tak juga Eva, Terjemahkan Senja”
Oleh : Prabu Ayunda Sora.
Jika kau terjemahkan senja,… barangkali kau berkesempatan merajai hari sebelum tibanya.
“Eva, tadi dia datang menanyamu.” Venus memberi kabar. Seolah dia tlah kuasai hari, Eva tak memberi tanggap. Ia langsung berlalu, menuju peraduannya. Venus menghela nafas, Suzanna tersenyum kecil, di ruang tengah yang berlantai keramik merah itu.
Sore itu, penghabisan hari kedua berkumpulnya mereka di rumah wasiat orang tua, sebab Ayahda tercinta tlah tutup usia dan akhir ceritanya.
Venus, si kakak tertua dari empat seadik-sekakak yang sedang dirundung duka, menghampiri Eva di peraduannya yang sedang berperang dengan waktu, menerjemahkan senja.
“Dia tanya, kapan kau ada waktu, dia sangat ingin bertemu kau, ada yang penting, katanya.”
Demikian Venus persembahkan sisa kabar yang terlunta sesaat, kepada adiknya, Eva. Namun Eva hanya menoleh sejenak kea rah kakaknya itu, untuk kemudian peperangan ia lanjutkan kembali.
“Bacchante, kapan suami tiba? Ini sudah penghabisan hari kedua, dia belum dating juga.”
Venus menanya adiknya yang sulung itu, Bacchante namanya.
“Aku butuh penjelasannya tentang luka memar di pipi dan keningmu itu.”
Kembali Venus demikian geramnya mendapatkan luka memar di wajah adik sulungnya itu. Bacchante, oh… Bacchante,…seluruh nafas tak juga dapat terjemahkan perkawinanmu. Bacchante,… oh… Bacchante, tak terperi kisah dalam naskah nafasmu,… perkawinanmu.
Bacchante tertunduk, meremas jari, tak juga bergeming, memberi isyarat kepada Venus, sang kakak, bahwa pertanyaannya tlah mendapat jawab.
Suzanna tersenyum kecil, beranjak mendekati Bacchante, dan duduk di sebelahnya, tanpa kata, tanpa sentuhan iba, hanya hangat tubuh yang terbagi.
Pagi yang basah oleh embun menemani Eva di peraduannya, tak kunjung usai peperangannya, pada hari ketiga, setelah senja. Embun yang sebentar lagi sirna oleh cahaya, bersedih atasnya, atas Eva yang berteman angina, bercumbu sepi, dalam peperagannya.
“Eva, sudah bangunkah kau,… Eva?”
Venus mengetuk pintu peraduan adiknya. Memberi kabar, dari balik pintu.
“Dia sekarang ada di depan, mencarimu, kalau kau berkenan, akan kusuruh dia masuk, bagaimana Eva?”
Dalam peperangannya, Eva tak sempat memberi jawab pada kakaknya, tak pula sempat Eva beri tanggap pada dia yang menantinya. Eva melanjutkan peperangannya, bahkan setelah ia sadar ketangguhan sang waktu, sampai rasa kantuk yang teramat sangat merobohkannya, hingga dia yang mencari, yang menanti pun pergi, seolah tak berarti.
Pada hari ketiga setelah senja, sore itu, hujan berganti waktu dengan senja. Venus, Eva, Suzanna, dan Bacchante beserta seorang anak laki-lakinya, Romen, berkumpul di ruang tengah yang berlantai keramik merah itu.
Suzanna dengan senyumnya seolah memberi kesejukan firdaus akan sekalian penghuni ruangan itu, Bacchante yang gugup menambah kabut pada mendung sore bulan penghujan itu, Venus dengan mata selidik menyapu seluruh rupa, paras, juga rasa para penghuni ruangan. Menyelidik, dijaga rasa tanggung jawab atas perjalanan hidup adik-adiknya setelah sekian tahun berpisah, karena menikah, dan atau kerja di beda kota. Eva berada pada baying-bayang peperangannya, memberi komando pada tentara batinnya, maju dalam peperangan melawan sang waktu, tapi ia selalu siap dengan alur musyawarah keluarga diruang tengah yang berlantai keramik merah itu.
“Sebelum datang hari ini, sebelum wafat Ibu, menyusul kemudia Ayah, memang sedari dulu kita sepakat untuk tidak menjual rumah ini. Lebih tepat kiranya kita jadikan rumah ini tempat berkumpulnya keluarga. Aku pahamkan perkara ini pada kita semua.”
Demikian Venus, sang kakak tertua berikan penutup perkara kesimpulan musyawarah keluarga itu.
“Bang, tolong buatkan secangkir the hangat, jangan lupa dikasih dua irisan jeruk nipis tipis-tipis ya, Bang!”
Perintah Venus kepada suaminya yang selama musyawarah itu hanya diam. Sang suami yang berprofesi sebagai polisi perwira menengah berpangkat assistant superintendent dan atau komisaris polisi itu, tanpa banyak bicara langsung berangkat ke dapur memenuhi perintah sang istri. Beberapa menit kemudian, sang suami kembali keruangan yang berlantai keramik merah itu bukan dengan secangkir lemontea hangat, melainkan dengan satu teko the panas, beberapa irisan jeruk nipis yang ditata rapi pada piring kecil yang terbuat dari keramik putih, juga beberapa cangkir yang juga terbuat dari keramik putih bermotifkan bunga-bunga terangkai.
Pertama-tama ia suguhkan lemontea hangat itu untuk Venus, istrinya, kemudian berlanjut kepada seluruh saudara iparnya di ruangan itu, tak terkecuali Romen kecil keponakannya. Bagai pramusaji professional ia suguhkan hidangan itu, membuat hangat suasana di ruang tengah yang berlantai keramik merah itu.
“Bacchante, sudah sampai mana suamimu sekarang?”
“Sebentar lagi sampai, barangkali limabelas atau paling lama duapuluh menit lagi, Kak.”
Bacchante memberi jawab.
Tiba-tiba, di tengah rintik hujan, terdengar suara pintu diketuk. Bacchante melompat, berlari menuju suara itu untuk membukakan pintu.
“Kehujanan ya, Bang?”
Demikian Bacchante seolah berbasa-basi.
“Masih Tanya, lagi. Ini bawakan barang-barangnya!”
Tanggapan yang barangkali sangat tak diingini Bacchante, tapi sudah terbiasa dengannya.
Melihat kehadiran Papanya, Romen kecil nyaris tak bereaksi. Ia malah nyaman tiduran di pangkuan tantenya, tante Suzanna yang memberinya senyum dan hangat sedari musyawarah keluarga itu dimulai, pada hujan hari ketiga, setelah senja.
“Raxxcy,…! Kemari kau, duduk di sini. Kita harus segera selesaikan ini.”
Demikian Venus memanggil Raxxcy, suami adiknya, Bacchante. Setelah baru hanya sebelah langkah kakinya memasuki ruang tengah yang berlantai keramik merah itu.
“Nanti malam saja, Mbak. Saya harus mandi, salin, dan istirahat sebentar.”
“kemari kau, duduk di sini. Aku tidak punya waktu lagi, mala mini setelah senja aku harus berangkat ke Jakarta, aku dan Bang Beni besok pagi harus bekerja. Kemari kau, duduk di sini, atau tidak untuk slamanya!”
Tanpa suara, Raxxcy, suami Bacchante, Papanya Romen kecil, yang bekerja di salah satu Bank BUMN sebagai pegawai biasa, tanpa suara, tanpa kat, langsung duduk di tengah majelis keluarga itu.
“Aku, kau, juga kita semua di sini sudah dewasa, jadi pakai akal sehat, tidak usah berbelit-belit. Aku beserta kita semua di sini membutuhkan penjelasanmu tentang luka memar di wajah istrimu itu, adikku, Bacchante. Jawablah!”
“sudahlah, Mbak. Ini bukan tempatnya untuk membahas itu.”
“Kau memang tidak waras, kau anggap apa kami ini. Kami ini keluargamu, pakai akal sehatmu!”
“Tapi ini masalah keluarga kami, saya dan Bacchante.”
Suasana mendadak hening sejenak. Suzanna menggendong Romen kecil menuju ruang depan, sambil diciumnya pipi keponakannya itu. ia tidak ingin Romen kecil, bocah tiga setengah tahun itu merekam dalam otaknya pembicaraan yang sedang berlangsung oleh majelis keluarga itu, atas perkara luka memar di wajah Bacchante, bundanya.
“Ini beda urusannya, ini kejahata. Terlebih lagi penganiayaan, kau seharusnya paham itu. sudah kubilang, pakai akal sehatmu, supaya otakmu jalan!!”
demikian Venus mencecar suami adiknya itu.
Suasana kembali hening. Menjelang di penghujung cahaya, di tengah hujan, hari ketiga setelah senja. Raxxcy hanya tertunduk, untuk sekali itu tak punya kata apa-apa.
Tiba-tiba suara pintu diketuk, Suzanna memanggil Eva. Rupa-rupanya dia datang lagi mencari Eva.
“Kak, dia ada di pintu depan, ingin bertemu dengan kak Eva, penting, katanya.”
Demikian Suzanna memberi kabar atas kedatangan dia, kepada kakaknya, Eva. Tapi Eva hanya diam tak memberi jawab. Dia pun berlalu tanpa makna, untuk sekiankalinya, setelah senja.
Venus yang berprofesi sebagai pengacara swasta itu cukup tegas menyerang Raxxcy. melihatnya tanpa daya, Venus pun bergeming.
“Untuk ini waktu, cukup sampai di sini. Tapi ingat,…!! Kalau ini terjadi lagi pada Bacchante, kau akan segera tau akibatnya. Segeralah pimpin kembali keluargamu!”
Venus berlalu, mempersiapkan keberangkatannya pada waktu yang menjelang malam itu. sambil merapikan pakaian dan barang-barangnya, sesekali ia mencubit dan bercanda dengan Romen kecil, yang sedari tadi di pangku Suzanna. Sedangkan Bacchante membantu Venus berbenah.
“Suzanna, suamimu bagaimana?”
“baik, Kak. Bang Galen tidak bisa dating Karen ada urusan pekerjaan yang benar-benar tisak bisa ditinggal, tapi dia dan saya sudah cari waktu untuk berziarah ke makam Bapak dan Ibu dalam waktu dekat.”
“Baiklah. Bagaimana kandunganmu?”
“Baik, Kak. Sekarang sudah enam bulan.”
Demikian mereka.
Di ruang tengah, yang berlantai merah, Beni dan Raxxcy berbincang.
“Kau jangan tersinggung dengan kata-kata kakakmu itu. Bagaimanapun kasar penyampaiannya, aku banyak setuju dengannya tentang masalah ini.” Demikian Beni bicara pada Raxxcy.
“Iya, Bang.” Tersudut, pilu, kelam.
“Kami tidak pernah meminta Bacchante menggugat cerai dirimu, karena kami tau dia itu lembut hatinya, dia cinta kau, dia cinta Romen. Jadi kembalilah pimpin keluargamu,…!”
“Iya, Bang.” Tak pasti, sedikit merenung.
Eva yang kembali mencumbu sepi dan menemani angin, terpanggil oleh peperangannya. Beberapa jam dihari ketiga, pada hujan, setelah senja, setelah kepulangan Venus dan Beni ke Jakarta, Bacchante dan Raxxcy, beserta Romen kecil ke Lampung. Tinggallah Eva dan Suzanna di rumah wasiat itu, malam itu, dihari ketiga setelah senja.
Eva dalam peraduannya mencoba menterjemahkan senja. Tiba-tiba Suzanna hadir dalam peraduan Eva, dengan senyum kecilnya, menarik tangan Eva, dituntunnya kakaknya menuju ruang depan rumah wasiat itu. Di sana dia sudah duduk menunggu, Tidji, yang pernah sekali waktu punya kisah dengan Eva.
“Aku mencarimu. Sekali waktu menunggumu, sekali waktu tak juga menemu, kali inipun tak tentu.”
Eva tak bergeming. Suzanna menguping dari balik daun pintu ruang tengah yang berlantai keramik merah itu. Suzanna sangat berharap Eva mau menerima ajakan berumahtangga oleh Tidji, lelaki ramah, sopan, juga dari keluarga terhormat di utara desa mereka, pada ujung selatan Yogyakarta.
Eva hanya diam. Waktu berlalu berjam-jam. Sampai rasa kantuk membawa Suzanna pada peraduan mimpinya, beristirahat. Karena besok pagi-pai sekali ia berangkat ke Bndung, pulang.
“Tak kumengerti petualangan batinmu selama kita tak jumpa. Aku hadir untuk itu mala mini, perkenankanlah aku?!”
Tidji mencari jalan untuk dapat ikut dalam peperangan Eva, melawan waktu, menerjemahkan senja. Tapi sekali waktu itu, tak juga ia menemu.
“Bilakah kita dapat memulai lagi, apa-apa yang pupus selama waktu ini. Barang kali ada jalan untuk kita?!”
Demikian Tidji mendesak Eva. Namun Eva tak juga beri tanggap, sampai saatnya tiba, naskah tentang kisah peperangannya melawan sang waktu, menerjemahkan senja, pada hari ketiga, setelah hujan, setelah senja.
“Bukan aku tak menaruh yakinku pada perkawinan.”
Demikian Eva.
“Tapi kebanyakan kita memenjara cinta pada perkawinan, perceraian, keturunan, rumah idaman, persetubuhan, kala senja perbincangan, juga di masa tua, atau setelahnya, mati!”
Demikian Eva, pada jalan pikir yang nian keras.
“Aku butuh tau perasaanmu padaku saat ini?!”
Tidji seolah memaksa, tak juga Eva bergeming, Eva tak beri jawab.
Ia tak mau memaksa Tidji untuk ikut dalam peperangannya, melawan sang waktu, menerjemahkan senja, pada hari ketiga setelah senja. Sampai kembali naskah peperangan terurai :
“Sungguhpun kerinduan bertahta pada relung batin kita, juga ketakutan akan masa depan membuat kita resah, tapi cinta dan hormat tak terbatas ruang dan waktu,…”
Demikian Eva dengan naskah, kisah peperangannya. Eva,… Tidji pun berlalu.
Yogyakarta, 2011.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H