Mohon tunggu...
Rivira Yuana
Rivira Yuana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN). Inovator dan Pengembang TIK

Wedha Wiyata Wira Sakti

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Program Multidisiplin Mendukung Ketangguhan Mitigasi Bencana Pemerintah Daerah

24 Desember 2024   10:07 Diperbarui: 24 Desember 2024   10:57 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Evakuasi korban bencana erupsi gunung berapi (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

Peran SDM untuk mitigasi dan penanggulangan bencana alam semakin dibutuhkan Indonesia terutama untuk pemerintah daerah. Pihak pemda mesti membentuk sistem mitigasi di daerahnya yang tangguh sesuai dengan ketentuan dan undang-undang. Pihak perguruan tinggi perlu mempersiapkan program multidisiplin baik S2 maupun S3 terkait dengan kebencanaan yang dihadapi oleh pemerintah pusat dan daerah.

Program multidisiplin kebencanaan bisa menjadi solusi terkait dengan pelatihan taruna siaga bencana (Tagana) dan punya peran untuk sosialisasi mitigasi bencana untuk masyarakat.

Peran strategis SDM lulusan program multidisiplin kebencanaan adalah menurunkan indeks risiko bencana dan menaikkan kinerja pemerintah daerah terkait bencana.

Hal tersebut sesuai dengan esensi UU Nomor 24 Tahun 2017 tentang usaha mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan pemerintah daerah dan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Keniscayaan, multidisiplin kebencanaan bisa memperbanyak inovasi untuk membantu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang telah menyusun rencana strategis dengan sasaran menurunnya indeks risiko bencana secara signifikan pada pusat-pusat pertumbuhan yang beresiko tinggi. Terutama di 136 Kabupaten/Kota yang telah diidentifikasi.

Salah satu kebijakan pembangunan nasional adalah mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat dalam menghadapi bencana. Dengan strategi internalisasi pengurangan risiko bencana dalam rangka pembangunan berkelanjutan, penurunan tingkat kerentanan terhadap bencana dan peningkatan kapasitas dalam penanggulangan bencana.

Tentunya dibutuhkan SDM yang mampu melakukan analisis risiko yang dilengkapi dengan informasi tentang kerentanan dan kapasitas dari masyarakat, serta indikasi potensi kerugian. Pentingnya memutakhirkan pengkajian-pengkajian risiko dan menyesuaikan dengan metodologi pengkajian risiko yang lebih baik.

Secara teoritis target penurunan indeks risiko bencana sangat dipengaruhi oleh komponen penyusunnya yaitu komponen bahaya, kerentanan dan kapasitas. Dari ketiga komponen penyusun indeks risiko, komponen bahaya merupakan komponen yang sangat kecil kemungkinan untuk diturunkan, maka indeks risiko bencana dapat diturunkan dengan cara peningkatan kapasitas atau komponen kapasitas. Peningkatan kapasitas dapat dilakukan pada setiap tataran pemerintahan dan masyarakat.

Peningkatan kapasitas mengandung target antara lain mengurangi angka kematian bencana,  mengurangi jumlah orang yang terdampak, mengurangi kerugian ekonomi secara langsung akibat bencana dalam kaitannya dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Setiap tahun resiko bencana semakin meningkat. BNPB melaporkan setidaknya selama periode 1 Januari -- 15 Desember 2024 ada sebanyak 1.942 kali peristiwa bencana alam yang melanda hampir ke seluruh penjuru negeri. Dengan kondisi inilah pentingnya peran program multidisiplin.

Program Studi (Prodi) Magister Multidisiplin Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) dan Prodi Kebencanaan saling terkait. Keduanya berorientasi pada perencanaan pembangunan pembangunan kota untuk kesejahteraan seluruh masyarakat berbasis kota cerdas, dan pembangunan berkelanjutan. Keduanya menekankan pada interdisiplin pengembangan standar perencanaan tata kota yang tangguh dalam mitigasi bencana, ramah lingkungan, kota sehat, dan berbudaya.

Pelatihan Tagana di Lombok Barat, NTB (dok Humas Lombok Barat via Kompas.id)
Pelatihan Tagana di Lombok Barat, NTB (dok Humas Lombok Barat via Kompas.id)

Program multidisiplin juga bisa melakukan diklat bagi tagana. Sebagai gambaran, untuk mitigasi bencana tanah longsor membutuhkan personel khusus yang berasal dari  Taruna Siaga Bencana (Tagana), petugas konservasi alam dan LSM yang bergiat untuk lingkungan. Mestinya ada program untuk meningkatkan kompetensi dan keterampilan bagi personel diatas agar lebih tangguh menghadapi bencana sekaligus mampu melakukan mitigasi bencana di lapangan seperti pengamatan perbukitan yang berpotensi terjadi longsor.

Untuk mengatasi lemahnya mitigasi tersebut dibutuhkan SDM yang bisa terjun langsung mengamati secara teliti terhadap lereng atau perbukitan yang rawan longsor. Perlu pemberian pengetahuan praktis tentang ilmu geologi secara praktis seperti masalah kestabilan lereng dengan menggunakan parameter-parameter seperti kekuatan tanah dan batuan, sudut lereng, iklim, dan vegetasi.

Selain itu juga perlu ditambahkan pengetahuan kepada para personel agar bisa melakukan monitoring secara cermat melalui pemasangan alat-alat pemantau tinggi permukaan air tanah atau piezometer, kecepatan gerakan tanah atau extensometer dan arah gerakan tanah atau inclinometer.  Juga pemahaman ilmu tentang kestabilan lereng, pemahaman proses-proses yang mengakibatkan runtuhnya dinding, penganalisaan sudut lereng yang aman, penirisan air pada lereng pit, pemantauan kondisi lereng secara visual maupun dengan peralatan geologi.

Perguruan tinggi bisa menjadi solusi untuk mengelola data spasial yang sudah dibangun oleh pemerintah daerah. Yakni Infrastruktur Data Spasial Daerah (IDSD). Pada prinsipnya data spasial merupakan data yang memiliki referensi keruangan atau geografi. Setiap bagian dari data tersebut selain memberikan gambaran tentang suatu fenomena, juga dapat memberikan informasi mengenai lokasi dan juga persebaran dari fenomena tersebut dalam suatu ruang atau wilayah. Apabila dikaitkan dengan cara penyajian data, maka peta merupakan bentuk atau cara penyajian data spasial yang paling ideal. Data spasial juga bisa diintegrasikan dengan sistem kependudukan. Jika terjadi bencana, maka identifikasi korban bisa dilakukan secara baik.

SDM multidisiplin kebencanaan bisa memberikan kemudahan kepada publik untuk mengakses peta dasar maupun peta tematik yang terbaru dan bersifat GIS ready atau dengan format Geographic Information System yang bisa diunduh dengan mudah lewat internet. Sehingga data-data dengan skala yang ideal itu bisa diolah oleh semua pihak hingga memiliki nilai tambah, mendorong inovasi dan bisa menjadi problem solving di daerah.

Ada empat elemen yang perlu diperhatikan dalam membangun IDSD, yakni  kerangka institusi, kelompok data dasar, standar teknis dan jaringan akses data. Juga diperlukan faktor skala peta yang sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan. Contohnya pada tingkat skala wilayah Provinsi, skala 1:10.000 untuk data spasial  dasar, dan skala 1:25.000 untuk data spasial tematik. Seringnya bencana alam gempa bumi, banjir, kekeringan dan tanah longsor akhir-akhir ini sangat membutuhkan peta tematik dengan prioritas tema kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah dan tata guna lahan. Hal itu untuk memperkuat usaha mitigasi bencana geologi agar risiko korban jiwa dan harta benda bisa diminimalkan.

Banyak negara yang wilayahnya rawan bencana yang saat ini terus menerus memperbaiki manajemen penanganan bencana. Perlu metode atau inovasi yang mampu bisa mereduksi durasi penanganan bencana alam. Durasi atau waktu pengerjaan bukan berarti memperbanyak jumlah orang yang bekerja secara keroyokan. Durasi lebih mengedepankan kerangka waktu dan biaya yang digunakan untuk memilih aktivitas mana yang utama. Usaha untuk mempersingkat durasi penanganan bencana sangat tergantung kepada  organisasi dan tata kelola lembaga penanganan bencana. Mandat penanggulangan bencana sesuai dengan UU No 24/2007 yang diberikan kepada BNPB. 

Eksistensi perguruan tinggi perlu ditingkatkan kapabilitasnya, baik secara teknis (peralatan), jumlah SDM ahli kebencanaan, kecanggihan sistem TIK ( teknologi informasi dan komunikasi ) maupun materi pelatihan.Kompetensi Taruna Siaga Bencana (Tagana) bentukan Kementerian Sosial yang telah eksis di setiap daerah tingkat dua perlu ditingkatkan dengan berlatih di perguruan tinggi. Termasuk penggunaan alat-alat berat dan pengetahuan praktis tentang konstruksi bangunan sipil, pengairan hingga permesinan. Baik latihan dengan alat simulator maupun praktik langsung.

Pengalaman penanganan bencana gempa bumi selama ini menunjukkan kurangnya alat berat dan personel yang bisa mengoperasikan. Seperti alat pelubang beton dan pile-driving. Juga alat-alat berat  seperti buldozer,  hydraulic  excavator,  wheel loader,  dump  truck, forklift  dan  jenis  alat  berat  lainnya.  Untuk mengoptimalkan penggunaan alat tersebut dibutuhkan koordinasi dan sistem informasi. Juga pengetahuan yang menyangkut cara kerja dan penentuan spesifikasi alat berat yang dibutuhkan.

Profesi  operator  alat  berat  merupakan  profesi  yang  memerlukan  keahlian khusus  untuk mengoperasikan  berbagai  jenis  peralatan.  Seseorang yang punya keahlian mengoperasikan  unit tertentu  tidak  otomatis  dapat  mengoperasikan  jenis  unit  yang  lain. Melihat  begitu komplek bidang pekerjaan operator alat berat perlu menyusun materi latihan khusus dengan berbagai model/simulasi dan skenario jika terjadi bencana serta memperhitungkan populasi penggunaan peralatan alat berat.

Segmen lain yang relevan terkait dengan durasi penanganan bencana adalah perlu sistem teknologi tepat guna yang bisa diterapkan secara cepat dan massal. Seperti pembuatan infrastruktur jalan, jembatan, bangunan air, kelistrikan dan perumahan korban bencana. Masalah tahapan rekonstruksi dan rehabilitasi korban bencana juga memerlukan solusi teknis yang optimal. Masalah durasi penanganan bencana alam juga mesti disesuaikan dengan standar dan directive dari International Strategy for Disaster Reduction  (ISDR ) Perserikatan Bangsa Bangsa. Yang secara sistematis telah merumuskan siklus penanganan bencana. Terbagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap tanggap darurat (response phase), tahap rekonstruksi dan rehabilitasi, tahap preventif dan mitigasi, dan tahap kesiapsiagaan (preparedness). (Rivira Yuana)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun