Mohon tunggu...
Rivira Yuana
Rivira Yuana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wakil Rektor Bidang Transformasi Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN), Pengembang TIK

Wedha Wiyata Wira Sakti

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Terobosan Pendanaan Pendidikan Tinggi dan Transformasi BOPT

14 November 2024   07:49 Diperbarui: 16 November 2024   14:02 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILustrasi bantuan untuk mahasiswa ( sumber : Kompas.id ) 

Banyak pengelola perguruan tinggi atau universitas di tanah air dihimpit masalah pembiayaan. Searah dengan hal tersebut juga terjadi keberatan publik terkait pembiayaan kuliah mahasiswa. 

Kabinet Merah Putih yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto perlu membuat terobosan terkait pendanaan pendidikan tinggi. Utamanya bantuan kepada perguruan tinggi swasta (PTS) yang selama ini sangat minim.

Bantuan negara untuk PTS perlu ditambah secara signifikan terutama kepada PTS yang menyelenggarakan prodi STEM. Karena operasionalnya sangat tinggi dan sangat sulit jika semata-mata dipenuhi dari uang kuliah mahasiswa.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 Bab V disebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab atas sumber dana pendidikan. 

Pemerintah pusat menyediakan dana pendidikan tinggi yang dialokasikan dalam APBN. Pemerintah daerah dapat memberikan dukungan dana pendidikan tinggi yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Tidak hanya pemerintah, dana pendidikan juga menjadi tanggung jawab masyarakat. Dana dari masyarakat dapat diberikan dalam bentuk hibah, wakaf, zakat, persembahan kasih, kolekte, dana punia, sumbangan individu dan/atau perusahaan, dana abadi pendidikan tinggi dan/atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perguruan tinggi juga dapat berperan serta dalam pendanaan pendidikan tinggi melalui kerja sama pelaksanaan tridharma perguruan tinggi. Pendanaan PT dapat juga bersumber dari biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.

Masalah pendanaan pendidikan tinggi sebenarnya tidak hanya terjadi di tanah air. Bahkan di Amerika Serikat (AS) juga terjadi, tetapi kebijakan di sana sangat antisipatif dan inovatif. Sehingga kebangkrutan PT bisa diatasi.

Sebenarnya kebangkrutan universitas telah diprediksi oleh pakar disrupsi inovasi Prof Clayton Christensen dari Harvard Business School. Ada sekitar 4 ribu Perguruan Tinggi di Amerika Serikat (AS) menurut Christensen setengah dari jumlah itu akan bangkrut dalam waktu yang tidak terlalu lama jika tidak ada terobosan yang signifikan oleh negara.

Christensen terkenal dengan teorinya disruptive innovation lewat buku "The Innovator's Dilemma" yang dirilis 1997. Sejak saat itu dia menerapkan teorinya pada berbagai industri termasuk pendidikan. Dalam salah satu buku karyanya, "The Innovative University," Christensen menganalisis masa depan universitas-universitas tradisional.

Antisipasi dan solusi kebangkrutan universitas juga telah dinyatakan oleh Departemen Pendidikan AS dan Moody's Investors Service yang pernah memproyeksikan dalam beberapa tahun tingkat penutupan kampus dan universitas kecil akan naik tiga kali lipat dan langkah merger akan meningkat dua kali lipat.

Untuk lepas dari kebangkrutan dibutuhkan faktor agilitas dari universitas. Istilah agilitas dalam terminologi perusahaan berarti tangkas atau gesit. Agilitas itu sebagian besar diciptakan karena peran individu dosen  atau sekumpulan dosen yang memiliki daya kreatif dan inovatif.

Krisis kampus yang terjadi di Amerika pada prinsipnya sama dengan kondisi di tanah air. Sama-sama mengalami krisis pembiayaan dan berkurangnya peminat prodi tertentu. Krisis pembiayaan perguruan tinggi sebenarnya bisa diatasi dengan merombak prodi PT kearah vokasi dan kebutuhan khusus pemerintah daerah dan dunia industri.

Ilustrasi transformasi BOPT ( Shutterstock via Kompas.com ) 
Ilustrasi transformasi BOPT ( Shutterstock via Kompas.com ) 

Transformasi BOPT

Masalah mahasiswa yang kurang berdaya membayar uang kuliah terjadi di seluruh perguruan tinggi (PT) perlu diatasi dengan bantuan yang lebih proporsional dan adil terhadap perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri.

Selama ini Biaya Operasional Perguruan Tinggi (BOPT) dihitung berdasarkan aktivitas pendidikan sesuai dengan kurikulum, jumlah mahasiswa per aktivitas, dan aktivitas pendukung pendidikan untuk setiap program studi yang diselenggarakan. Selanjutnya, BOPT keseluruhan dari perhitungan BL dan BTL dibagi dengan lama masa studi untuk memperoleh BOPT per tahun, yang kemudian dijadikan sebagai Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SBOPT).

Dalam hal ini SBOPT menjadi standar biaya operasional pendidikan yang dibutuhkan oleh program studi dalam satuan mahasiswa per tahun. Untuk menyederhanakan perhitungan BL, program studi dikelompokkan berdasarkan keragaman struktur biaya operasional penyelenggaraan program studi, mulai dari program studi yang penyelenggaraannya didominasi kegiatan perkuliahan di kelas, hingga program studi yang memerlukan kegiatan praktikum dengan bahan dan peralatan yang membutuhkan biaya tinggi.

Kelompok A: Sosial -- Humaniora

Program studi yang cukup memerlukan ruang kelas dan beberapa kegiatan yang dilakukan dalam praktik di studio atau kegiatan laboratorium yang kurang memerlukan bahan habis pakai selain ATK. Contoh kegiatan studio misalnya kegiatan dalam laboratorium bahasa, seni, micro teaching, travel, survey, observasi, alat komunikasi dasar, dan lain-lain.

Kelompok B: Sains

Program studi yang memerlukan ruang kelas, studio, dan laboratorium yang memerlukan bahan habis pakai laboratorium selain ATK. Contoh kegiatan laboratorium yang memerlukan bahan habis misalnya bahan-bahan kimia, dan lain-lain.

Kelompok C: Rekayasa

Program studi yang memerlukan ruang kelas, studio, laboratorium dan bengkel untuk praktik dengan benda atau barang-barang sesungguhnya.

Kelompok D: Kedokteran/Kesehatan

Program studi yang memerlukan ruang kelas, studio, laboratorium, bengkel dan klinik layanan masyarakat sekaligus sebagai lahan praktik. Contoh kegiatan klinik layanan misalnya praktik layanan sebagai dokter, dokter gigi, bidan, perawat, dan lain-lain.

Perlu transformasi pendanaan PT yang juga menekankan agar partisipasi pemerintah dalam membantu PTS lebih berkeadilan. Dalam hal ini pihak DPR khususnya Komisi X beberapa kali meminta pemerintah pusat untuk memberikan Bantuan Operasional untuk Perguruan Tinggi Swasta (BOPTS) dengan jumlah yang memadai. 

Menurut DPR selama ini pemerintah memberikan perhatian yang masih rendah kepada Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dibandingkan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sedangkan tuntutan yang diberikan kepada PTS sama dengan PTN.

Menurut DPR, PTN sudah banyak diberikan fasilitas, kesempatan bantuan dana, dan lain-lain. Sementara, PTS yang jumlahnya lebih banyak daripada jumlah PTN, dibebankan hal yang terlalu banyak tanpa bantuan (operasional). 

Misalnya harus merger, harus bikin Lampus Merdeka, harus link and match dengan dunia kerja. Itu semua adalah cost dilain pihak bantuan dari pemerintah pusat tidak ada.  Rekomendasi DPR lewat Komisi X sudah jelas, terkait prosedur BOPTS perlu adanya klasifikasi atau kriteria tertentu yang bersifat umum pada PTS. Misalnya, kriteria bantuan untuk PTS yang sudah berkembang dan memiliki prestasi atau kriteria bantuan untuk PTS yang kompetitif dengan dunia riset.

ILustrasi bantuan untuk mahasiswa ( sumber : Kompas.id ) 
ILustrasi bantuan untuk mahasiswa ( sumber : Kompas.id ) 

Rasio Pembagian Bantuan untuk Mahasiswa

Liberalisasi perguruan tinggi memang sulit dihindari. Hal ini akibat pemerintah melakukan ratifikasi atau kesediaan dalam menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS), yaitu perjanjian mengenai perdagangan dan jasa bagi anggota World Trade Organization (WTO).

Setelah Indonesia melakukan ratifikasi WTO, otomatis juga mengesahkan liberalisasi pendidikan tinggi. Hal itu terlihat melalui undang undang dan peraturan pemerintah lainnya, yakni melalui UU nomor 20 tahun 2003, peraturan pemerintah (PP) nomor 61 tahun 1999,dan UU nomor 12 tahun 2012. Undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut juga mencakup tentang pendanaan pendidikan tinggi, keikutsertaan masyarakat, pengawasan dari pemerintah dan kontrol, dan pendirian pendidikan tinggi oleh asing.

Khusus untuk penyediaan pendidikan tinggi oleh asing, WTO memiliki mekanisme atau metode tertentu bagi anggotanya. Ada empat metode penyediaan pendidikan oleh asing ke negara penerima yaitu melalui : (i) pengadaan lintas batas , (ii) konsumsi luar negeri, (iii) kehadiran komersial , (iv) kehadiran orang alami.

Keniscayaan pemerintah agar  membuat terobosan yang bersifat inovatif, kreatif dan transformatif dalam hal mencetak generasi emas menuju bangsa yang maju.Indonesia butuh inovasi seperti lembaga perguruan tinggi di luar negeri yang menerbitkan obligasi dan bekerja sama dengan lembaga keuangan. Tak bisa dimungkiri, metode pendanaan pendidikan di berbagai belahan dunia saat ini telah sampai pada tahap agilitas.

Beberapa perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat telah menerbitkan obligasi untuk menambah anggaran yang diberikan oleh pemerintah maupun donatur tetap. Sebagai contoh sejak 2010 Harvard University yang merupakan universitas terkaya di AS berhasil mengumpulkan dana 1,5 miliar dollar US dari hasil penjualan obligasi. Universitas memilih menjual obligasi karena lebih mudah dan murah ketimbang kredit bank.

 

Untuk solusi pembiayaan PT perlu mencontoh kebijakan yang dijalankan oleh Bank Sentral Amerika Serikat yang selama ini mengalokasikan dana hingga 300 miliar US dolar kepada pemegang surat berharga yang ditopang dengan berbagai jenis pinjaman, termasuk untuk kredit mahasiswa tanpa bunga atau dengan bunga yang sangat ringan. 

Kebijakan bank sentral tersebut telah membantu para mahasiswa, sehingga mereka bisa menyelesaikan kuliah dengan baik lalu menjadi pengusaha yang tangguh. Bank Indonesia dan perbankan nasional bisa meniru Amerika Serikat dalam memberikan kredit mahasiswa dan para dosen yang melanjutkan studi di dalam dan luar negeri.

Mestinya dana abadi pendidikan yang kini jumlahnya mencapai ratusan triliun rupiah yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) bisa berperan banyak untuk mengatasi masalah biaya kuliah mahasiswa di dalam negeri. Mestinya LPDP mampu mencegah rentenir masuk kampus.

 Krisis ekonomi yang melemahkan daya beli masyarakat termasuk kemampuan untuk membiayai pendidikan anak-anaknya menimbulkan problema yang sangat serius. Cara paling gampang untuk mengatasi masalah biaya pendidikan adalah lewat rentenir, khususnya rentenir dunia maya atau umum disebut Pinjol.

Memang ada program Dirjen Dikti Kemendikbud terkait dengan bantuan dana mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) namun jumlahnya masih belum memadai. Idealnya rasio pembagian bantuan sepertiga diberikan untuk mahasiswa PTN dan dua-pertiga diberikan untuk mahasiswa PTS. 

Jumlah PTS di Indonesia 3.800 buah. Di Jawa Barat saja ada 278 PTS yang tersebar di 27 kabupaten/kota, sedangkan PTN di seluruh Indonesia tidak melebihi 300 PTN. Demikian pula dengan jumlah mahasiswa di Indonesia kini sekitar 8 juta mahasiswa, maka  sepertiganya berada di PTN dan dua pertiganya ada di PTS.

Perlu skema kredit mahasiswa yang tidak memberatkan dan tidak berisiko terjadinya kredit macet di kemudian hari. Kredit mahasiswa bisa mendongkrak angka partisipasi kasar (APK) mahasiswa di Indonesia yang masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain. 

Jumlah Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia sudah banyak namun tidak berbanding lurus dengan minat APK masyarakat. APK domestik merupakan jumlah penduduk rentang usia 19-23 tahun yang belajar di PT dibagi dengan rentang usia tersebut yang seharusnya belajar di PT.

Kini APK Indonesia ke PT sebesar 29 persen. Sebagai perbandingan APK di Korea Selatan mencapai 80 persen, Malaysia 40 persen, Thailand 54 persen, Singapura 78 persen. Saat ini terdapat 4.550 Perguruan Tinggi di Indonesia baik negeri maupun swasta. 

Belum lagi kehadiran universitas asing, semakin menambah jumlah PT di negeri ini. Jumlah PT banyak tetapi APK-nya kecil. Hal itu disebabkan 70 persen PT daya tampungnya sedikit. Sebagai perbandingan PT di negara-negara Uni Eropa hanya ada sekitar dua ribu perguruan tinggi. Dibandingkan dengan Tiongkok, jumlah PT di Indonesia ternyata lebih banyak. Jumlah PT di Tiongkok sekitar 2.824, padahal penduduknya jauh lebih banyak dibanding Indonesia. (Rivira Yuana) *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun