Mohon tunggu...
Rivira Yuana
Rivira Yuana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wakil Rektor Bidang Transformasi Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN), Pengembang TIK

Wedha Wiyata Wira Sakti

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Transformasi Perguruan Tinggi, Program Microcredential dan Disrupsi Ketenagakerjaan

13 Maret 2024   07:50 Diperbarui: 13 Maret 2024   07:52 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transformasi pendidikan tinggi lewat Anugerah Diktiristek 2023 (KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU)

Transformasi Perguruan Tinggi, Program Microcredential dan Disrupsi Ketenagakerjaan

 Oleh : Rivira Yuana *)

Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), menyatakan bahwa pada negara maju sedang populer istilah microcredential atau pengayaan kompetensi secara spesifik. Pengayaan ini diberikan untuk mahasiswa dengan latar belakang atau fondasi keilmuan yang cukup kuat sehingga dapat lebih sesuai dengan kebutuhan yang sangat dinamis saat ini.
Microcredential tersebut sangat dibutuhkan oleh dunia industri, terutama pada dunia industri digital saat ini yang berubah secara cepat. Kebutuhan kompetensi pada lima sampai 10 tahun ke depan akan berbeda dengan kompetensi yang ada sekarang. Hal tersebut didorong oleh kemajuan teknologi yang sangat pesat dan banyaknya disrupsi yang terjadi.

Keniscayaan, transformasi PT adalah dengan membuka Program Microcredential plus Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) untuk beberapa prodi. Agar program tersebut efektif perlu melibatkan organisasi serikat pekerja atau serikat buruh yang selama ini memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan perusahan terkait dengan peningkatan kompetensi pekerja. Terutama menghadapi era disrupsi ketenagakerjaan yang sangat cepat.

Ilustrasi sinergi PT dan Industri  (dok ISTN )
Ilustrasi sinergi PT dan Industri  (dok ISTN )

Sinergi PT dan Industri

Berbagai federasi serikat pekerja yang eksis pada saat ini bisa melakukan Kerjasama dengan perguruan tinggi terkait program microcredential terutama untuk prodi tertentu yang sangat dibutuhkan oleh dunia industri. Perguruan tinggi bisa memakai platform sendiri maupun platform yang sudah eksis seperti misalnya platform Udemy dan Coursera yang sangat terkenal di seluruh dunia. Keduanya telah menunjukkan efektivitas pengajaran dan kualitas konten perkuliahan yang baik. Coursera adalah platform yang menawarkan bermacam kursus profesional secara online, yang dibangun melalui aliansi universitas terbaik di dunia. Begitupun dengan The Udemy yang merupakan platform e-learning terbesar di dunia.

Pada awalnya portofolio Udemy adalah institusi yang ingin menyelenggarakan kursus gratis dan menawarkannya melalui platform, atau siapapun yang memiliki keahlian yang ingin berbagi pengetahuan melalui kursus gratis.

Coursera memiliki tiga pilar keunggulan, yakni, pertama, platform yang berkualitas dan terus berkembang yang mengedepankan teknologi virtual sehingga siswa bisa belajar secara efektif dan mudah beradaptasi.

Kedua, Konten terus diperbarui dan disesuaikan dengan pasar tenaga kerja. Kriteria yang digunakan Coursera untuk memilih prodi mana yang akan ditawarkan dalam platform adalah membandingkan konten terprogram kursus dengan tuntutan pasar tenaga kerja .

Ketiga, didukung asosiasi institusional yang terkemuka, Platform Coursera bermitra dengan universitas terbaik di dunia, yang bertanggung jawab untuk memproduksi semua konten pendidikan tinggi termasuk program sarjana dan pascasarjana.

Ilustrasi ekosistem Perguruan Tinggi yang menunjang kompetensi pekerja industri ( dok. ISTN )
Ilustrasi ekosistem Perguruan Tinggi yang menunjang kompetensi pekerja industri ( dok. ISTN )

Kebutuhan Pekerja

Microcredential program diploma hingga S1 terapan cocok untuk kebutuhan pekerja saat ini karena merupakan skema pendidikan jangka pendek secara daring yang dikombinasi dengan pendidikan diploma dan S1 terapan.

Beberapa paket skema pendidikan akan diakhiri dengan uji kompetensi.bagi peserta didik yang kompeten akan diberikan sertifikat kompetensi dari Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSP) yang relevan. Untuk unit kompetensi yang belum kompeten, peserta didik akan mengulang hanya untuk unit yang belum kompeten saja.Setelah peserta didik menyelesaikan seluruh paket skema pendidikan dan sertifikasi kompetensi, maka perguruan tinggi dapat melakukan proses konversi peserta didik menjadi mahasiswa program diploma atau S1 melalui mekanisme Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL).

Dunia sedang menghadapi masalah disrupsi ketenagakerjaan yang mulai menerjang kehidupan warga dunia, khususnya rakyat Indonesia. Teori disruptive innovation pertama kali diciptakan oleh Guru Besar di Harvard Business School, Profesor Clayton M. Christensen. Tertuang dalam bukunya The Innovator’s Dilemma yang terbit tahun 1997. Teori Disruptive Innovation menjelaskan fenomena dimana sebuah inovasi mengubah pasar atau sektor yang ada.

Inovasi disruptif adalah keniscayaan yang sulit dihindari tapi terbuka kemungkinan diatasi, bahkan dikalahkan dengan human spirit. Bagi kaum pekerja, langkah untuk menghadapi disrupsi yang boleh dibilang sering mengubur produk, usaha atau profesi pihak lain, yang pertama kali adalah merubah cara berpikir dan meneguhkan mental agility. Kalau perlu para pekerja mendisrupsi dirinya sendiri agar terbebas dari belenggu rutinitas. Mendisrupsi diri sendiri agar tidak miskin imajinasi, mampu meningkatkan kompetensi dan daya inovasi serta memiliki ruang kreativitas yang memadai. Namun semua itu membutuhkan peran perguruan tinggi yang bersinergi dengan organisasi pekerja dan perusahaan.

Gelombang disrupsi dan menyongsong Industri 4.0 harus diantisipasi dan dijadikan momentum untuk menata kompetensi dan meningkatkan skill bagi segenap anggota serikat pekerja. Juga bisa dijadikan momentum untuk merancang sistem remunerasi berbasis jenjang karir yang ideal. Menghadapi era tersebut bagi organisasi pekerja merupakan perjuangan yang tidak ringan. Perlu dikonkritkan kerjasama perguruan tinggi dengan serikat pekerja dan perusahaan untuk mentransformasikan kompetensi pekerja sehingga mampu adaptasi dengan era baru.

Ada jenis pekerjaan yang mulai terdirupsi dengan cepat, yakni sektor logistik. Misalnya, kendaraan logistik tanpa pengemudi yang kini mulai banyak diterapkan dalam industri. Kendaraan logistik berupa truk tanpa pengemudi telah diluncurkan lebih cepat. Teknologi robotika telah memperlihatkan trend dapat menggantikan pekerjaan pengemudi.Hal diatas terlihat pada sistem pengangkut usaha pertambangan seperti Rio Tinto sudah menggunakan truk tanpa pengemudi dengan kapasitas 240 ton untuk memindahkan bijih besi pada lokasi pertambangan di Australia.

Manajemen perusahaan mengoperasikan dan mengontrol truk raksasa itu dari pusat Kota Perth yang berjarak 1.200 kilometer. Operasional truk tersebut telah menghilangkan resiko kerja yang sangat tinggi di pertambangan dimana karyawan selalu mengalami kelelahan yang luar biasa. Setelah menghilangkan pengemudi perusahaan juga akan mengoperasikan kereta pengangkut tanpa awak dan robot pengebor dengan tujuan menggunakan mesin robot seluas mungkin di area pertambangan. Dan pada akhirnya sebagian besar rantai pemasok perusahaan ini dari tambang terbuka ke pelabuhan akan dikendalikan sepenuhnya dari kantor pusat mereka di Perth.

Meskipun tanpa pengemudi, namun operasional truk tersebut membutuhkan banyak teknisi ahli dan bagian perawatan. Teknisi peralatan navigasi, pneumatik dan hidrolik, kontrol sistem, sensor dan kalibrasi. Dengan demikian boleh dikatakan mati satu tumbuh seribu. Hilang satu profesi tetapi akan muncul puluhan jenis profesi baru di sektor pertambangan.

Kompetensi semakin kompleks, sistem kerja dan beban pekerjaan akan berubah, sistem pengupahan semakin bersifat individual yang cenderung mengedepankan prinsip outsourcing. Menurut data kasar Kemenaker, Indonesia saat ini memiliki 56 juta tenaga terampil. Namun jumlah ini juga masih diragukan validitasnya, karena belum adanya pendalaman dan pengembangan portofolio kompetensi di setiap daerah. Hingga kini pendidikan dan pengembangan karir dan kompetensi pekerja banyak yang stagnan. Sistem training dan diklat bagi pekerja belum sesuai dengan kemajuan zaman. Kondisi BLK yang ada juga masih memprihatinkan. Masih kekurangan instruktur berkualitas dan kurangnya workshop yang sesuai dengan jenis teknologi yang mendukung Industri 4.0. Keniscayaan, tantangan bagi perguruan tinggi untuk mengatasi disrupsi ketenagakerjaan dan salah satunya mengadopsi apa yang sudah menjadi trend di negara maju sehingga kesenjangan antara luaran perguruan tinggi dan dunia kerja semakin menyempit. Dibutuhkan tim transformasi yang memiliki kepemimpinan kuat dan jejaring yang luas untuk menjawab tantangan tersebut.

*) Wakil Rektor Bidang Transformasi, Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun