Mohon tunggu...
rangga rivelno
rangga rivelno Mohon Tunggu... -

Find me on twitter @rivelno.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Belas Purnama Dan Hantu

29 Juli 2012   08:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:29 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

1)
Kau adalah dua belas purnama, sedangkan aku adalah orang asing. Aku ini orang asing di duniamu (akulah yang paling asing, datang dari negeri yang tak dikenal), yang kau percaya bahwa aku adalah malaikat yang sengaja Tuhan turunkan untukmu. Lambat laun hati kita berbisik-bisik kecil, seolah mereka menemukan pasangannya. Asal mula bisikan itu mengaku bernama cinta.
Dimensi pikiran sebagian orang-orang tentang cinta adalah sebuah kotoran, debu-debu halus yang melekat pada ingatan. Aku selalu berharap, jika cahaya pagi datang, aku ingin terbangun dari tidur panjang. Lalu tersesat jauh ke dalam hatimu, selamanya. Orang-orang mengabadikannya sebagai cinta, dan bunga-bunga mensabdakannya sebagai rindu.
2)

Aku selalu merekam segala percakapan sederhana, tawa-tawa kecil kita, kenangan yang tak mampu terlukiskan, dan juga senyum indahmu. Dari kedua bola matamu yang bening, seperti mengisyaratkan aku untuk berkata “Aku mencintaimu, lalu kata-kata ini akan ku ulangi setiap pagi.” Setiap pagi, setiap kau membuka mata lalu mencariku.

Aku selalu jatuh cinta ketika kau tersenyum dari bibir mungilmu ataupun ketika kau mengikat rambutmu yang panjang terurai. Seperti biasa, dengan alasan tidak nyaman atau teriknya matahari sedang tidak bersahabat. Kedua momen itu adalah salah satu hal terbaik dalam sepanjang hidupku.

3)

Aku selalu merekam pelukan hangatmu, bibir kita yang saling beradu, belai mesra dari tanganmu yang halus. Seakan-akan kau jatuh cinta kepada pemiliknya. Aku juga selalu mengingat tempat pertama kali kita bertemu, taman itu, sudut-sudut kota, ataupun rumahmu yang nyaman dan sederhana.

Kita duduk di depan teras rumahmu, berbincang sejenak sembari mencicipi secangkir kopi buatanmu. Walaupun kopi buatanku sendiri masih terasa lebih nikmat dibandingkan buatanmu, tetapi aku mencintainya. Lalu malam telah melebur dirinya menjadi kertas-kertas, dan detik terasa memajukan langkahnya sendiri. Waktu paling sempurna untuk merebahkan kepada tubuh yang lelah. Namun kau seolah tak rela dan harus menghadapi dinginnya malam seorang diri.

4)

Kau seperti stasiun kereta, aku merelakan selembar karcis menjadi dua bagian untuk mengantarkan kau kemana saja. Hatimu adalah ruang tunggu, yang datang kemudian pergi, yang pergi dan atau tak kembali. Aku pernah singgah disana hanya untuk sekali dan untuk terakhir kali. Aku selalu memeluk tubuhmu, sebanyak aku mengunjunginya.

Kereta rangkaian listrik, sebuah benda berbentuk balok panjang terbuat dari baja, dengan kecepatan seratus kuda. Segalanya terbuat dari besi baja padat, alat untuk memindahkan tubuh mereka ke sekolah, ke kantor, sebuah tempat rahasia, atau kemana saja. Diatasnya ku ajak kau melihat keangkuhan ibukota negeri ini. Jalanan adalah tempat memamerkan seluruh kekayaan mereka dan juga keangkuhannya. Disini aku membuat seluruh dunia cemburu kepada kita, kita bergandengan tangan sepanjang jalan (yang kau sebut ini bahagia itu sederhana).

5)

Suatu hari, disebuah kedai kopi. Sebuah tempat kita menikmati senja akan beranjak pergi tugas menuju bagian bumi yang lain. Tempat dimana seluruh orang mengabiskan hari liburnya bersama keluarga, bersama kekasihnya atau bukan kekasihnya. Tempat dimana seluruh rahasia dan kebohongan disatukan. Juga tempat dimana aku duduk berhadapan denganmu, melahap roti dan secangkir kopi hangat, habis tanpa sisa. Disini aku mencatat senyummu sebagai kebahagiaan.

Kepalamu yang sibuk memikirkan hari-hari esok; lalu kau berkata bahwa semua hari-hari yang terlewat, sekarang dan belum terjadi adalah sebuah ujian. Akulah pendengar setiamu, tempat dimana kau bisa berbagi kisah dan lelah. Mulutku juga tanpa henti sibuk memasukkan dan memasakkan asap dari dapur dadaku.

6)

Jika saja aku terlahir sebagai penyair, akan ku ubah kau sebagai buku harian yang tak tertuliskan. Aku tidak hanya ingin menua dikepalamu, aku ingin menua dihidupmu. Kau serupa peti kemas, tempat bajak laut menemukan harta karun yang berisi emas yang tak akan habis dilahap oleh semesta. Aku juga ingin menjadi kelinci yang bersembunyi dibalik topimu, yang kau taruh di atas kepala dan kau selalu berusaha mencari cara rahasia mengeluarkan aku dari dalam sana.

Kau tak pernah percaya bahwa rindu itu hanyalah angin sejuk. Sia-sia tenagamu berusaha untuk menangkap dan menjaring rindu, ia tetap angin sejuk. Rindu itu yang menarik diafragmaku sampai ujung napas, kemudian turun dengan sesak. Mencari kamu sosok yang tertinggal. Rindu itu adalah dirimu.

7)

Tubuhku kini serupa pelabuhan, tempat dimana segala kapal dan perahu pernah berlabuh. Kaulah perahu itu yang singgah itu, sedangkan aku hanya dermaga yang melihat layarmu menjauh. Hingga ditelan ombak mati, tak pernah kembali.

Sebelum dua belas purnama, aku pernah mengatakan “Jika kelak kita berpisah, aku hanya ingin menjadi orang asing kembali, dan bertemu sekali lagi.” Namun sayangnya, hatiku telah lelah membiru, egomu lebih keras melebihi daripada batu. Lalu kau berkata, “Aku mencintaimu semampunya saja, sisanya biarkan Tuhan yang rawat kesedihanmu.”

8)

Aku tak pernah menyangka jika petermuan di kedai kopi itu adalah episode terakhir dari cerita kita. Siapa yang mengira, mimpi-mimpi yang telah kita bangun pondasinya, telah hancur dalam sekejap mata. Tepat dua belas purnama, aku mencatatmu sebagai hantu.

Aku tertawa mengingat kita pernah menangis bersama dan aku menangis mengingat kita pernah tertawa bersama. Dan kau masih percaya, apabila sesaat senja tiba kau mencari-cari yang tak lagi di sisi dan merindu tuan hatimu lagi. Terima kasih cinta, kau datang membawa rindu dan pergi meninggalkan luka. “Aku mencintaimu, sampai akhir sajakku,” Kataku.

Aku tak pernah berniat menguburmu dalam masalalu, namun kini kau telah menjadi hantu—di ingatanku.

Bekasi, 2012.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun