Mohon tunggu...
Jhon Rivel
Jhon Rivel Mohon Tunggu... -

Aku menulis maka aku ada

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta dan Perjuangan

9 Juli 2012   14:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:08 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Selama mendayung perahu hidup, aku belum pernah melabuhkan ungkapan cinta ke istana hati perempuan. Memang aneh. Seorang pemuda berusia lebih dari seperlima abad masih asyik terbang sendiri di atas awan mimpi dan perjuangan. Meski aku tak sepakat dengan pernyataan Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa sejarah UI pada era 1960-an, yang mengatakan bahwa perempuan melemahkan pergerakan, namun sangat sulit menemukan bidadari yang mengerti makna  perjuangan.

“Bung, jangan hanya berjuang untuk ibu pertiwi, tapi berjuang jugalah mencari calon ibu anak-anakmu!!!” demikianlah seruan kawan-kawanku yang sering membuatku tertawa.

Diskusi adalah makanan intelektualku dan juga kawan-kawanku yang lain. Kami tergabung dalam kelompok diskusi goeboek rakjat yang mendiskusikan masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, hukum, dan persoalan yang berkembang. Anehnya, masalah kecil pun kami analisis dari sudut pandang yang berbeda.

Aku merasa benar-benar menjadi manusia yang seutuhnya melalui diskusi pembebasan tersebut. Manusia yang berkesadaran, mampu mengenali diri, sehingga jelas dan teranglah pemaknaan dan tujuan hidup. Inilah yang terpenting. Karena masalah terbesar dalam diri seseorang adalah apabila tidak mengenali dirinya sendiri. Bangsa yang bermasalah juga adalah bangsa yang tidak mengenali diri dan sejarahnya.

Selain aktif kuliah, kegiatanku yang lain adalah membaca, menulis, mengajari anak jalanan, dan hingga turun ke jalan berdemonstrasi menyuarakan tuntutan hati nurani. Sebenarnya orang tua tidak sepakat dengan kegiatanku. Mereka hanya ingin agar anaknya dapat nilai yang bagus, cepat tamat, dan cepat bekerja. Segala sesuatunya dinilai dengan materi.

Suatu hari aku ditanya mama, “To, untuk apa kamu mengajari anak-anak itu? Bisakah kau makan dan melunasi uang kuliahmu dari sana”. Pernyataannya membuatku kesal. Apa yang dikatakannya memang benar tapi hatiku terkoyak mengingat anak jalanan yang hidupnya terombang-ambing menatap masa depan yang tak pasti.

“Begini Ma, percayalah anakmu ini akan memberikan yang terbaik dalam studi dan masa depan. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan anak-anak itu terjebak dalam lumpur penderiataan, Ma. Setidaknya mereka masih bisa merasakan kasih sayang dan mendapat pendidikan sebagai bekal masa depannya.” ungkapku dengan harapan agar mama yakin dan menerimanya.

“Terserah kamulah, kau udah dewasa. Tapi utamakanlah studimu.”

“Iya, Ma. Anto janji.” jawabku dengan senyum.

Syukurlah akhirnya orangtuaku bisa menerima duniaku. Bahkan aku sering cerita mengenai aksi demonstrasi yang kerap kali kuikuti. Mereka tidak menghalangi. Nasehatnya hanya jangan mengikuti aksi yang ditunggangi kepentingan elite tertentu dan yang bersifat anarkis.

Di kampus, aku senang diskusi dengan teman-teman. Ada yang mengeluh dengan fasilitas kampus, dosen yang jarang masuk, dan masalah sepele hingga masalah negara seperi pelanggaran HAM, korupsi, politik uang, kenaikan BBM dan sebagainya.

“Kamu mau jadi apa nanti?” tanya temanku, yang menurutku pertanyaan bodoh.

“Emangnya kamu mau jadi apa?” tanyaku balik.

“Setelah aku tamat kuliah aku ingin menjadi PNS, biar masa depan terjamin dengan gaji hari tua.”

Sejenak aku terdiam mendengar mimpi calon sarjana ini. Kemudian dengan tegas aku katakan, “kita dididik di kampus ini bukan sebatas untuk mencari pekerjaan tetapi seharusnya untuk menjawab persoalan rakyat. Lihatlah, petani yang kehilangan tanahnya, buruh yang ditekan palu penindasan melalui PHK dan upah rendah, nelayan yang dihempas ombak kesengsaraan, dan kaum miskin kota yang tergusur dan lapar. Apakah ketika kamu menjadi PNS, siap memperjuangkan mereka?”

“Sudahlah aku malas membahas hal itu” jawabnya dengan muka memerah.

Aku kesal dengan jawabannya. Ternyata sistem pendidikan di negeri ini tidak bisa menjawab persoalan. Yang tercipta adalah generasi instan, apatis, hedonis, konsumeris, pragmatis, dan individualis. Tidak sedikit mahasiswa yang ingin cepat tamat dengan nilai yang tinggi. Namun isinya masih diragukan.

Berapa IPKmu? Kapan tamat? Itulah pertanyaan mahasiswa kepada temannya yang menyangkut studi. Jarang ada yang bertanya: apa yang kamu kerjakan selama kuliah sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat? Bagaimana tidak, kebanyakan mahasiswa lebih senang belanja di mal atau sekedar jalan-jalan dan menumbuhkan benalu pikiran daripada turun ke desa serta melihat persoalan rakyat. tertindas. Tri Dharma Perguruan Tinggi hanyalah mimpi palsu.

***

Setelah menjalani perkuliahan selama tiga tahun, aku bertemu dengan srikandi muda. Pertemuan dalam sebuah diskusi masalah sosial yaitu kemiskinan. Aku terkagum melihat keseriusan dan kegelisahannya. Sudah sangat jarang perempuan semanis itu ikut bergabung dalam diskusi-diskusi kritis. Setelah diskusi bubar, kuberanikan diri menyapanya.

“Hai, perkenalkan namaku Anto. Aku dari kelompok diskusi goeboek rakjat” kutatap matanya sambil kuulurkan tangan. Dari sinar matanya, aku menemukan seberkas cahaya ketulusan.

“Aku, Yanti, dari kelompok diskusi pencerahan. Saya senang mengenal, Bung” jawabnya dengan nada lembut. Hampir-hampir aku merasa berada di surga tapi akhirnya aku tersadar ketika dia menarik tangannya setelah agak lama bersalaman.

“Bagaimana kalau kita makan malam sama?”

Dia mengangguk tanda setuju. “Ayo, lagian aku juga sudah lapar” katanya sambil menekan perutnya. Selama kurang lebih setengah jam kami makan dan sambil cerita di bawah pohon yang rindang. Kami saling bercerita mengenai kondisi kampus masing-masing yang tidak jauh berbeda persoalannya. Itulah pertemuan kami yang perdana.

***

Pertemuan kami tidak berakhir di situ tapi sering bertemu secara tidak terencana dalam kegiatan diskusi, seminar, hingga jumpa di jalanan ketika berdemonstrasi. Kedekatan lebih erat tercipta sejak empat bulan setelah berkenalan. Kala itu dia menelpon aku dan kami berdiskusi sekitar satu jam. Selanjutnya, hampir setiap minggu pertemuan nyata tercipta dan diciptakan melalui diskusi mengenai penulisan, buku, dan permasalahan sosial, hingga menyangkut hal pribadi.

Lambat laun tanpa kusadari, ada sesuatu yang mengganggu tidurku yaitu benih-benih cinta yang merasuk jiwaku. Kucoba menahan gejolak ini tapi tidak lagi mampu kubendung. Akhirnya pada hari Minggu kubulatkan tekad, kukibarkan bendera keberanian untuk mengunggkapkannya. Kutelpon dia dan intinya aku menumpahkan rasa itu lewat handphone.

“Bolehkah aku membangun rumah yang indah di hatimu?” tanyaku dengan lembut.

“Maksudmu apa?”

“Sebenarnya…sebenarnya aku…aku…” dengan nada terputus-putus, aku mengatakannya antara sengaja dan tidak.

“Sebenarnya apa, Bung?” tanyanya dengan penuh penasaran.

Akhirnya aku terdiam sejenak dan menghirup udara sore yang sejuk dengan kuat. “Aku tidak bisa membohongi diriku, sebenarnya dari gubuk hatiku yang terdalam, aku senang mengenalmu dan aku suka kamu.”

“Ha…ha…ha…kamu becanda kan?”

Gak, aku serius kok. Apa aku pernah membohongimu?” tanyaku untuk meyakinkannya. Namun sepertinya dia ragu-ragu sehingga terus menyanyakan keseriusanku.

“Sekali lagi, kamu gak becanda kan?”

“Aku serius. Aku gak main-main”.

Pada akhirnya dia yakin dan dia sendiri pun mengakui bahwa selama ini dia juga merasakan hal yang sama. “Apa yang membuatmu menyukaiku, Bung?”

“Ketika aku melihat masa depanku, kutemukan lukisan masa depanku di bola mata ketulusanmu. Kamu orang yang sederhana, jujur, bijak, dan berintegritas.” Jawabku dengan lembut. Pembicaraan itu terputus di situ karena keterbatasan pulsa handphone, tapi pulsa harapanku tak putus.

***

Beberapa hari kemudian, pembicaraan yang tertunda kami lanjutkan di kampus. Hasilnya dia menerimaku sebagai sahabat khusus. Anehnya, kami belum berpacaran hanya bersahabat khusus. Itu kesepakatan berdua.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan, proses persahabatan kami arungi  bersama-sama. Tertawa, sedih, senang, kecewa, canda, marah, merupakan bunga-bunga yang menghiasi. Aku merasa sebagai orang yang paling berbahagia karena bisa mengenal dan merasakan keindahan kehadirannya di dalam hidupku. Tapi sering kubertanya, sampai kapan persahabatan ini? Padahal, aku menganggapnya lebih dari sahabat.

Setelah wisuda, aku berniat mengabdikan diri kepada masyarakat. Pikiranku tertuju pada masyarakat Indonesia Timur, Papua. Segala sesuatunya kusiapkan agar secepatnya berangkat, tanpa terlebih dahulu memberitahukannya kepada orang yang kucintai, yakni Yanti. Dari Medan aku transit dulu di Jakarta, setelah itu langsung ke Irian Jaya. Hanya sebait sms yang kukirim padanya. ”Yan, aku sudah di Jakarta menuju Papua. Aku ingin belajar di sana. Tetap semangat dalam perjuanganmu ya, miss u.” kemudian ku non-aktifkan handphoneku. Kutahu dia pasti kecewa dan marah padaku.

Di pedalaman Papua, kurintis sebuah sekolah untuk anak-anak. Dengan perjuangan, pengorbanan, kerja keras, dan  tantangan yang besar, setelah tiga tahun sekolah tersebut didukung oleh ketua adat dan pemerintah daerah setempat. Sekolah alternatif ini dinamakan sekolah pencerahan rakyat. Metode pengajarannya berbeda dari sekolah formal pada umumnya. Selain membaca, menulis, berhitung, dan bahasa, juga diajarkan ketrampilan khusus seperti menganyam, bercocok tanam, beternak, mematung, dan ketrampilan lainnya. Aku bermimpi suatu saat kelak, sekolah ini merupakan sekolah percontohan di Indonesia. Sekolah yang menjawab permasalahan.

Tidak terasa empat tahun sudah aku meninggalkan Medan, tempat kelahiranku. Selama itu pula tidak ada komunikasi karena di daerah ini tidak ada sinyal dan merupakan daerah terisolasi. Tapi akhir-akhir ini mimpiku selalu dihantui bayangan Yanti. Pikiranku tidak bisa tenang karenanya. Aku merasa bersalah meninggalkan orang yang kucintai tersebut.

Rasa kerinduan dan rasa bersalah memaksaku kembali ke Medan. Setidaknya aku menerima maaf darinya. Sampai di Medan, aku langsung melangkahkan kaki menuju rumahnya. Dari kejauhan ada suara memanggilku, dan dia berlari menghampiriku. Ternyata tidak salah lagi, dia adalah Yanti. Tanpa ragu kupeluk dia dengan erat. ”Maafkan aku ya, Yan.” kataku dengan nada menyesal dan memohon. Berlinang air matanya membasahi bajuku. Sinar mata dan senyum ketulusannya masih menjadi cermin masa depanku. Cermin cinta dan perjuangan.

***

Bulan berikutnya, tepatnya bulan Juli, kami memutuskan untuk membangun bahtera rumah tangga melalui pernikahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun