Mohon tunggu...
rivan adi
rivan adi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pokok Pemikiran Max Weber dan HLA Hart, serta Analisis Perkembangan Hukum di Indonesia

29 Oktober 2024   19:04 Diperbarui: 29 Oktober 2024   19:04 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Artikel Jurnal yang membahas Pokok Pemikiran Max Weber dan HLA Hart

Dalam artikel karya Philip Pettit pada tahun 2019 berjudul " Social Norms and the Internal Point of View; An Elaboration of Hart`s Genealogy of Law", pemikiran HLA Hart dijelaskan sebagai pendekatan yang membedakan antara aturan primer dan sekunder dalam struktur hukum. Hart memaparkan bahwa aturan primer adalah norma informal yang mengatur perilaku dasar dalam masyarakat, sementara aturan sekunder hadir untuk mengatur dan menguatkan aturan primer. Dengan demikian, aturan sekunder ini memberikan kerangka kerja mengenai legitimasi dan validitas hukum. Dalam pandangan Hart, hukum tidak hanya dipahami dari sudut pandang eksternal, tetapi juga dari sudut pandang internal. Individu yang terlibat dalam sistem hukum menganggap aturan tersebut sebagai komitmen pribadi yang harus ditaati, bukan sekadar ancaman eksternal. Contohnya, dalam masyarakat yang menjunjung tinggi aturan non-kekerasan, masyarakat menganggap aturan tersebut sebagai kewajiban moral yang internal, dan bukan sekadar larangan yang diberlakukan oleh pihak berwenang.

Sementara itu, dalam artikel lain karya Michael Wilkinson pada tahun 2010 berjudul "Is Law Morally Risky? Alienation, Acceptance and Hart’s Concept of Law", Hart menguraikan bahwa hukum juga memiliki risiko moral karena sifatnya yang bisa teralienasi dari masyarakat yang diatur olehnya. Dalam pandangan Hart, hanya pejabat yang diwajibkan menerima aturan pengakuan untuk menjaga otoritas hukum, sementara individu dalam masyarakat tidak selalu memiliki hubungan emosional atau moral yang sama dengan hukum yang berlaku. Wilkinson menyoroti bahwa aspek formal hukum ini berpotensi menyebabkan keterasingan, di mana hukum menjadi instrumen yang jauh dan tidak lagi mencerminkan nilai atau komitmen pribadi dari setiap individu dalam masyarakat

Pokok-Pokok Pemikiran Max Weber

  • Rasionalisasi

Max Weber berpendapat bahwa masyarakat modern cenderung mengalami proses rasionalisasi, yaitu transformasi dari cara berpikir yang didasarkan pada tradisi dan nilai-nilai lama menjadi cara berpikir yang lebih rasional, logis, dan efisien. Weber melihat bahwa rasionalisasi memengaruhi hampir semua aspek kehidupan, termasuk ekonomi, politik, agama, dan budaya. Dalam konteks hukum, proses rasionalisasi ini menyebabkan hukum menjadi lebih sistematis dan terlembaga, serta semakin jauh dari nilai-nilai moral atau tradisi yang mendasarinya. Weber menegaskan bahwa dalam masyarakat modern, hukum berkembang dengan logika rasionalitas, di mana keputusan didasarkan pada aturan yang jelas dan dapat diprediksi, bukan pada penilaian subjektif.

  • Birokrasi

Weber menganggap birokrasi sebagai bentuk organisasi yang paling efisien untuk mengelola masyarakat modern. Birokrasi memiliki karakteristik seperti hierarki yang jelas, pembagian kerja yang terperinci, aturan dan prosedur tertulis, serta hubungan yang bersifat impersonal. Dalam konsep Weber, birokrasi penting untuk memastikan pemerintahan yang rasional dan terorganisasi dengan baik. Namun, ia juga memperingatkan bahwa birokrasi yang terlalu kaku bisa mengurangi kreativitas, kebebasan individu, dan dapat menyebabkan "kebekuan" dalam struktur sosial.

  • Etika Protestan dan Kapitalisme

Dalam karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber menjelaskan bagaimana ajaran Protestan, khususnya Calvinisme, memengaruhi perkembangan kapitalisme di Eropa. Menurut Weber, etika Protestan yang menekankan kerja keras, kedisiplinan, dan hidup sederhana memotivasi masyarakat untuk mengejar kesuksesan ekonomi. Konsep ini dikenal dengan istilah "spirit of capitalism" atau semangat kapitalisme. Bagi Weber, ada keterkaitan antara nilai-nilai agama dan perubahan ekonomi, di mana ajaran Protestan secara tidak langsung mendorong rasionalitas ekonomi dan akumulasi modal.

  • Tipe Kekuasaan

Weber mengidentifikasi tiga tipe legitimasi kekuasaan, yaitu:

a. Kekuasaan Tradisional: Berasal dari keyakinan akan keabsahan tradisi dan kewenangan yang diwariskan, seperti kekuasaan raja atau kepala suku.

b. Kekuasaan Karismatik: Bergantung pada kualitas pribadi pemimpin, di mana pemimpin dianggap memiliki pesona atau kemampuan luar biasa, seperti tokoh revolusi.

c. Kekuasaan Rasional-Legal: Didukung oleh kepercayaan pada aturan hukum dan prosedur formal yang rasional. Tipe ini menjadi dasar bagi birokrasi modern dan negara hukum yang rasional.

  • Sosiologi Hukum

Weber melihat hukum sebagai fenomena sosial yang tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan. Baginya, hukum bukan hanya serangkaian aturan formal, melainkan juga hasil dari proses sosial yang melibatkan kekuasaan dan hubungan sosial. Weber menekankan pentingnya pemahaman tentang konteks sosial dan sejarah dalam menganalisis hukum.

Pokok-Pokok Pemikiran H.L.A. Hart

  • Hukum Positif

Hart dikenal sebagai tokoh utama aliran positivisme hukum modern. Ia berpendapat bahwa hukum adalah sekumpulan aturan sosial yang diterima oleh masyarakat, dan hukum tidak perlu memiliki hubungan yang erat dengan moralitas. Bagi Hart, validitas hukum tidak tergantung pada apakah aturan tersebut bermoral atau tidak, melainkan pada apakah aturan tersebut diakui dan diterima dalam sistem hukum. Hart membedakan hukum dari moral dengan mengacu pada sifat dasar hukum yang mengatur perilaku dan memberikan sanksi.

  • Rule of Recognition (Aturan Pengenalan)

Hart memperkenalkan konsep rule of recognition atau aturan pengenalan sebagai aturan dasar yang menentukan apakah suatu aturan adalah bagian dari sistem hukum atau tidak. Aturan pengenalan ini berfungsi sebagai panduan untuk mengidentifikasi aturan yang sah. Misalnya, dalam sistem hukum Indonesia, konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dapat dianggap sebagai rule of recognition yang menjadi dasar validitas hukum lainnya.

  • Aturan Primer dan Sekunder

Hart membagi aturan hukum menjadi dua jenis, yaitu:

a. Aturan Primer: Aturan yang mengatur perilaku masyarakat, misalnya larangan mencuri atau membunuh.

b. Aturan Sekunder: Aturan yang mengatur cara mengubah, menafsirkan, dan mengenali aturan primer, misalnya aturan tentang cara membuat undang-undang atau aturan tentang wewenang pengadilan.

Menurut Hart, sistem hukum modern memerlukan kombinasi dari aturan primer dan sekunder agar bisa berfungsi dengan baik. Aturan sekunder diperlukan untuk memperbaiki kekurangan dalam aturan primer, seperti kurangnya kepastian dan kekakuan dalam penerapannya.

  • Pandangan Internal dan Eksternal

Hart menekankan pentingnya membedakan antara sudut pandang internal dan eksternal terhadap aturan hukum. Sudut pandang internal adalah sudut pandang dari orang-orang yang menerima dan mematuhi aturan hukum sebagai standar yang sah. Mereka mengikuti aturan bukan hanya karena takut dihukum, tetapi karena mereka menganggap aturan tersebut layak diikuti. Sementara itu, sudut pandang eksternal adalah sudut pandang dari pengamat luar yang melihat aturan hukum sebagai serangkaian fakta sosial yang dapat dipaksakan dengan ancaman sanksi.

Relevansi Pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart dalam Masa Sekarang

1. Max Weber

Pemikiran Weber tentang rasionalisasi dan birokrasi sangat relevan dengan perkembangan masyarakat modern saat ini. Kita dapat melihat bahwa sistem pemerintahan, organisasi, dan lembaga-lembaga besar lainnya di banyak negara, termasuk Indonesia, semakin mengandalkan struktur birokrasi yang jelas. Hal ini memungkinkan kontrol yang lebih baik dan efisiensi dalam mengelola urusan publik. Namun, Weber juga mengingatkan tentang potensi masalah dalam birokrasi, seperti kekakuan dalam aturan, kurangnya kreativitas, dan jarak antara pengambil keputusan dan masyarakat yang dilayani. Dalam masa sekarang, tantangan ini bisa dilihat pada kasus-kasus birokrasi yang terlalu lambat, kaku, dan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

2.  H.L.A. Hart

Hart memberikan penekanan penting pada rule of recognition, yaitu aturan dasar yang digunakan untuk mengakui aturan lainnya sebagai hukum yang sah. Konsep ini masih sangat relevan, terutama dalam diskusi tentang supremasi konstitusi, kepastian hukum, dan legitimasi aturan yang berlaku. Pemisahan hukum dari moralitas juga menjadi poin penting dalam konteks pluralisme hukum modern. Dalam masa sekarang, ketika kita menghadapi berbagai tantangan sosial, termasuk multikulturalisme dan globalisasi, pendekatan Hart membantu menekankan pentingnya aturan hukum yang diakui secara formal tanpa tergantung pada pandangan moral atau nilai yang mungkin bervariasi di antara kelompok sosial.

Analisis Perkembangan Hukum di Indonesia Menggunakan Pemikiran Weber dan Hart

  • Analisis Menggunakan Pemikiran Weber: Birokrasi dan Legitimasi Kekuasaan
          Di Indonesia, struktur birokrasi memainkan peran penting dalam mengatur kehidupan sosial dan menjalankan fungsi pemerintahan. Berdasarkan pemikiran Weber, birokrasi di Indonesia bisa dilihat sebagai sistem yang rasional, dengan hierarki yang jelas, aturan tertulis, serta pembagian kerja yang terstruktur. Namun, Weber juga mengingatkan tentang bahaya birokrasi yang terlalu kaku dan tidak responsif, serta potensi penyalahgunaan kekuasaan jika legitimasi tidak dijaga dengan baik. Dalam konteks Indonesia, masalah birokrasi seperti lambatnya pelayanan publik, korupsi, dan nepotisme menjadi tantangan besar. Ini menunjukkan pentingnya reformasi birokrasi yang fokus pada penguatan transparansi dan profesionalisme agar birokrasi tetap relevan dan efektif.

     Selain itu, tiga tipe legitimasi kekuasaan yang diidentifikasi Weber (tradisional, karismatik, dan rasional-legal) dapat digunakan untuk melihat dinamika politik di Indonesia. Kekuasaan dalam sistem tradisional bisa terlihat pada peran tokoh adat, sementara kekuasaan karismatik tampak pada figur-figur pemimpin dengan daya tarik yang kuat. Namun, Weber menekankan bahwa dalam negara modern, legitimasi harus semakin didasarkan pada aturan rasional-legal, yaitu ketaatan pada konstitusi dan hukum yang jelas. Ini relevan dalam memperkuat supremasi hukum dan konsistensi pemerintahan yang demokratis.

  • Analisis Menggunakan Pemikiran Hart: Rule of Recognition dan Aturan Primer-Sekunder                                                                                         Dalam konteks hukum Indonesia, pemikiran Hart tentang rule of recognition relevan dalam memahami bagaimana konstitusi dan peraturan perundang-undangan menjadi dasar dari sistem hukum. Dalam sistem hukum Indonesia, konstitusi (UUD 1945) adalah rule of recognition yang utama, di mana semua peraturan perundang-undangan harus merujuk dan konsisten dengannya. Namun, tantangan muncul ketika ada ketidakpastian atau perbedaan interpretasi antara lembaga, seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), dan lembaga legislatif, dalam menentukan validitas suatu peraturan. Di sini, konsep Hart tentang aturan sekunder (yang mengatur bagaimana aturan dibuat dan diubah) menjadi penting untuk memastikan stabilitas dan konsistensi hukum.

       Pemikiran Hart juga berguna dalam melihat pentingnya sudut pandang internal dan eksternal terhadap aturan hukum. Bagi Hart, hukum bukan sekadar aturan yang dipaksakan, melainkan harus diinternalisasikan oleh masyarakat. Ini berarti hukum harus diakui dan dipatuhi karena dianggap sah, bukan semata-mata karena adanya ancaman sanksi. Di Indonesia, masalah ini muncul dalam bentuk ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum. Kasus-kasus korupsi yang tidak ditindak dengan tegas, ketidakadilan dalam perlakuan hukum, dan berbagai ketidakpastian hukum menunjukkan bahwa aturan hukum perlu diinternalisasi lebih baik oleh masyarakat dan para penegak hukum.

Kesimpulan

        Kesimpulannya, meskipun Indonesia telah memiliki struktur hukum dan birokrasi yang formal seperti apa yang tercantum dalam pokok pemikiran Max Weber, namun dalam praktiknya sering kali tidak sesuai dengan tujuan dan fungsi daripada Lembaga maupun birokrasi tersebut, berbagai tantangan seperti korupsi, ketidakadilan yang pada mulanya dimulai dari penyalahgunaan kekuasaan dan pada akhirnya membuat ketidakpercayaan Masyarakat terhadap sistem pemerintahan maupun sitem kelembagaan tersebut, dalam hal ini juga belum terwujudnya pokok-pokok pemikiran Hart yang pada praktiknya terdapat ketidakpatuhan Masyarakat terhadap hukum yang berlaku, sehingga untuk mencapai cita-cita daripada hukum itu sendiri (ius constituendum) diperlukannya konsistensi yang baik yaitu dengan pembenahan sistem pemerintahan yang dimulai dari pemimpin serta perangkat-perangkatnya dengan membentuk hukum tanpa adanya unsur yang menguntungkan bagi Sebagian pihak tertentu, sehingga jika dalam pemimpin ataupun perangkat-perangkat lainnya mematuhi aturan yang berlaku tanpa mempunyai maksud-maksud yang menguntungkan sebagian pihak, maka hal tersebut akan memberikan panutan terhadap Masyarakat dan juga generasi penerus daripada sistem pemerintahan sekaligus membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan yang berlaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun