Mohon tunggu...
Rivaldy Pandie
Rivaldy Pandie Mohon Tunggu... -

remaja galau yang "otw" menuju kedewasaan salam kenal dari Kupang, NTT :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tradisi Sifon, Rantai Harga Diri Wanita Timor

27 April 2018   11:24 Diperbarui: 27 April 2018   13:04 1283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tradisi sunat di berbagai tempat sejatinya masih terikat dengan nilai-nilai budaya, agama, sejarah yang masih dijalankan secara turun temurun. Di Indonesia sendiri, mayoritas penduduk Indonesia, terutama laki -- laki melakukan sunat berdasarkan perintah agama maupun alasan kesehatan. 

Selain agama dan kesehatan, sunat juga dilakukan dengan latar belakang budaya Salah satu tradisi sunat  yang dilakukan sebagai bagian dari adat adalah Sifon yang berasal dari daerah Timor Tengah Selatan (TTS), provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sunat ini biasanya dimulai saat musim panen jagung dan diwajibkan agar si pria harus berumur 18 tahun.

Sifon tergolong tidak biasa jika dibandingkan dengan sunat di tempat lain. Pada puncaknya, prosesi dari ritual ini adalah si pria diwajibkan untuk melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita yang telah disiapkan secara adat ataupun yang bersedia untuk hal tersebut. Wanita yang dipilih untuk menjalani ritual sifon bukanlah wanita sembarangan, melainkan seorang janda atau wanita yang sudah pernah menikah sebelumnya. Jika wanita yang dipilih adalah istrinya, maka hal ini dianggap akan mendatangkan kesialan bagi keluarga tersebut.

Dalam melakukan Sifon, terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu. Pertama, pembayaran mahar kepada Ahelet (sang dukun). Kemudian sang pria tersebut dibawa ke sungai untuk menjalani prosesi Nain Fatu, yakni sang pria disuruh untuk mengambil batu dalam sungai sesuai dengan jumlah wanita yang pernah disetubuhinya. Dibutuhkan kejujuran dalam prosesi ini. Jika berbohong, maka proses penyembuhannya akan memakan waktu yang lebih lama.

Pemotongan dalam sunat ini tidaklah menggunakan alat-alat medis, melainkan bambu yang sudah dipertajam. Ujung kulit penis kemudian dijepit dengan  bambu lalu dipotong. Untuk mengurangi pendarahan, biasanya luka ditutupi dengan daun mahang damar (Macaranga triloba) atau bidara (Ziziphus mauritiana). Selain mengurangi pendaharan, daun bidara dapat untuk pengawetan mayat, terutama di daerah Sumba

Minimal 3 hari atau lebih setelah sunat ketika luka belum sepenuhnya kering, sang pria tersebut diwajibkan untuk melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita tidak bersuami yang bukan istrinya, atau wanita yang sudah disiapkan sendiri oleh sang pria. Proses inilah yang disebut dengan sifon. Jika semuanya telah berjalan dengan baik tanpa ada pantangan yang dilanggar, maka  sang pria dianggap menjadi lebih 'jantan' dan lebih sehat dari sebelumnya.

Terlepas dari prosesinya yang panjang dan menyakitkan, rasa sakit yang dialami oleh sang wanita mungkin lebih sakit dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sembuh dibandingkan dengan sang pria. Wanita digunakan dalam ritual ini dengan maksud sebagai medium dalam penyaluran penyakit dan dosa dari sang pria kepada wanita.

Jika sang wanita disiapkan oleh Ahelet, maka biasanya sang wanita tidak mempunyai pilihan untuk menolak karena akan dianggap melawan perintah adat. Selain itu, sang wanita didoktrin akan menjadi awet muda dan mendapat berkat dari leluhur karena sudah bersedia menjadi penerima dosa dan kesialan dari orang lain. Dokrin ini juga mungkin berlaku sama bagi wanita yang disiapkan sendiri oleh sang pasient. Sederhananya, konsep sifon didasarkan pada menyucikan diri sendiri dengan mencermarkan orang lain.

Seiring dengan perkembangan zaman, tradisi sifon sudah banyak ditinggalkan oleh banyak orang karena tidak sesuai dengan nilai -nilai agama dan dilarang oleh pemerintah. Walaupun demikian, tradisi ini masih dilakukan, terutama di daerah pedesaan dan juga segelintir orang di perkotaan. Jika beberapa masyarakat di NTT mau membuka sedikit matanya, maka mungkin mereka sadar bahwa efek nyata yang dapat ditimbulkan dari sunat ini adalah penyakit kelamin yang berujung kematian, terutama bagi sang wanita.

Pasalnya, ketika selesai menjalani ritual sifon, sang pria dilarang untuk tidak pernah melalukan hubungan tersebut karena dianggap akan mendapat kembali segala bentuk kesialan yang sudah diberikan kepada sang wanita. Sebaliknya, sang wanita akan terus berperan sebagai "tempat sampah kesialan" bagi pria lain yang akan melakukan sifon. Ritual semacam ini tentu dapat berkontribusi terhadap tingginya penyakit menular seksual di samping penggunaan jarum suntik dan seks bebas. Faktanya, kasus penyakit menular seksual di Provinsi NTT terus mengalami peningkatan secara signifikan

Efek yang lebih menyakitkan yang mungkin dialami oleh wanita korban sifon adalah hukuman psikis yang diterima oleh masyarakat sekitar. Wanita korban sifon biasanya akan dijauhi karena dalam pergaulan karena dianggap akan membawa sial bagi siapapun yang dekat dengannya. Tidak bisa bersuami, diasingkan, dan bahkan dapat menderita stress atau gangguan jiwa. Maleuk, salah satu korban dari ritual sifon, kini tinggal sendiri di gubuk kecilnya saat dia berusia 74 tahun. Semasa muda, dia seorang yang cantik dan periang, namun semuanya berubah saat dia dipaksa untuk melayani pasien sifon sepanjang hidupnya.

Sampai hari tuanya, hanya kesendirian yang menemani, dengan sedikit keyakinan tentang berkat yang akan diterimanya dari leluhur karena sudah bersedia menjadi penanggung dosa orang lain. Setelah menjadi korban sifon, dirinya ditelantarkan di hutan lontar yang dingin. Tidak ada yang datang menjenguk setelahnya, hanya seorang ahelet yang memaksanya untuk menjadi budak sifon bertahun tahun lalu. Dalam menjalani sisa sisa hidupnya, sebelum menutup mata, dia hanya berharap bahwa biarlah dia yang mati bersama ritual tersebut, karena dia yakin, ritual ini masih berlangsung sampai sekarang.

Kisah hidup Maleuk merupakan gambaran nyata tentang beberapa wanita di NTT yang kebebasannya untuk menjadi  menjadi manusia masih perlu diperjuangkan. 

Disini, objektifikasi keberadaan  perempuan  sebagai makhluk kelas dua dan budak  kebudayaan  menunjukan ketidakdewasaan pola pikir masyarakat dalam era modern yang masih terkungkung dalam tahayul dan adat istiadat yang salah. 

Sebagai putra daerah yang lahir dan besar di pulau Timor, melihat sifon sebagai suatu pembatasan terhadap esensi mereka sebagai perempuan dan juga rantai terhadap harga dirinya, maka sudah sepantasnya kebiasaan ini harus dihentikan agar tidak terus bertumbuh subur dalam masyarakat. Wanita sudah sepantasnya diperlakukan sebagai objek kasih, bukan subjek penelitian atau ajang untuk coba-coba.

Pada akhirnya, jika pemerintah merasa bahwa membuat peraturan daerah untuk menghukum pelaku sifon dianggap terlalu sulit, atau pihak kesehatan dan rumah sakit berpikir bahwa memberikan sosialisasi kepada para pelajar di universitas atau sekolah tentang bahaya sifon terlalu menyita waktu, maka mungkin masyarakat yang membuat solusinya. Dan langkah paling sederhana namun berdampak besar adalah dengan tidak melakukan atau mengikuti ritual tersebut.

 Sumber: 12 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun