Konflik sengketa tanah di Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, melibatkan masyarakat adat dengan pihak pemerintah dan dinas kehutanan. Kasus ini mencerminkan persoalan klasik dalam pengelolaan tanah adat yang sering sekali bertabrakan dengan kepentingan proyek pemerintah. Â
Kronologi Konflik
Pada 13 April 1982, masyarakat adat Besipae sebagai penggugat menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah (tergugat) untuk melaksanakan proyek percontohan intensifikasi peternakan di kawasan Besipae, dengan luas tanah 6.000 hektare selama 5 tahun masa kontrak. Setelah berakhirnya kerja sama, tanpa persetujuan masyarakat, lahan tersebut dipindah tangankan oleh pemerintah kepada Dinas Kehutanan untuk program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan (GERHAN) dengan skema HGU selama 20 tahun (1988-2008). Kawasan yang digunakan untuk program GERHAN dicatat sebagai kawasan hutan lindung dengan nomor register tanah kehutanan (NTK) nomor 29, mencakup 2.900 hektare dari total lahan 6.000 hektare,setelah program GERHAN berakhir, masyarakat adat kehilangan akses terhadap tanah yang menjadi sumber hidup mereka, masyarakat dilarang memasuki kawasan tersebut, termasuk untuk mengambil kayu bakar,pakan ternak, atau berburu. Hal ini menyebabkan kerugian materill dan immaterill yang signifikan.Â
Tahap Penyelesaian
Pada tahun 2024 Â konflik ini mencapai titik kritis dimana masyarakat adat Besipae, Timor Tengah Selatan menolak pengelolaan lahan oleh pemerintah daerah dan dinas kehutanan yang dianggap merugikan mereka . Dimulai dari bulan Januari 2024 pada tanah adat terjadi aktivitas pembabatan hutan yang menyebabkan dampak kerusakan lingkungan pada masyarakat sekitar seperti kekeringan sumur dan hilangnya sumber pakan bagi ternak. Hal ini terus berlanjut hingga bulan Maret 2024 dimana pemerintah daerah dan aparat keamanan menertibkan masyarakat adat untuk tidak lagi memasuki kawasan Besipae yang dianggap sebagai hutan lindung, penertiban ini pastinya mendapat penolakan para masyarakat setempat, mereka menganggap bahwa hak mereka sebagai pengelola tanah leluhur mereka tidak lagi terpenuhi yang kemudian berlanjut hingga ke bulan April 2024, dimana masyarakat adat mengajukan gugatan hukum terhadap pemerintah daerah dengan tuduhan bahwa pemerintah melakukan perbuatan melawan hukum dengan memindahtangankan lahan kepada pihak lain tanpa persetujuan mereka, tindak lanjut akan hal ini berlanjut pada diadakannya dialog antara pemerintah dan masyarakat adat dengan hasil berupa mediasi yang gagal antar kedua belak pihak karena masyarakat adat menolak akan adanya hasil keputusan yang menawarkan kompensasi berupa lahan alternatif, masyarakat adat mendesak agar pemerintah mengakui tanah Besipae sebagai tanah ulayat dan memberikan hak penuh sebagaimana mestinya kepada masyarakat adat. Ketegangan meningkat kembali pada Oktober 2024 dimana terjadi bentrok antara masyarakat adat dan aparat keamanan, yang menyebabkan jatuhnya beberapa korban jiwa pada insiden tersebut, menindaklanjuti hal tersebut pemerintah daerah sebagai pihak tergugat menunda proyek pengelolaan lahan dan memprioritaskan dialog damai.
Tuntutan Masyarakat Adat dan Penyelesaian
Mayarakat adat menggugat pemerintah daerah sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan pemerintah daerah yang sesuai dengan pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum, gugatan tersebut menuntut penuh pengembalian atas tanah adat yang diambil secara sepihak. Sampai pada artikel ini ditulis pengadilan  masih mempertimbangkan ulang peta batas lahan bagi masyarakat sebagai  bentuk keadilan bagi masyarakat adat sebagai bentuk penyelesaian atas laporan dari masyarakat adat. Â
Saran
Dalam hal ini kasus sengketa tanah Besipae yang terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan mencerminkan perlunya pengelolaan konflik yang mengutamakan dialog, penghormatan terhadap hak masyarakat adat, dan keberlanjutan lingkungan serta perlu adanya kolaborasi antara pemerintah dan tokoh adat untuk menciptakan solusi yang adil dan damai.***
Â