Mohon tunggu...
Moh rivaldi abdul
Moh rivaldi abdul Mohon Tunggu... Mahasiswa IAIN Gorontalo -

Mahasiswa IAIN Gorontalo Fb. Moh. Rivaldi Abdul Rivaldiabdulputrisuleman.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tiga Corak Kehidupan

6 Desember 2018   15:03 Diperbarui: 6 Desember 2018   15:08 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tiga Corak Kehidupan

Oleh : Moh. Rivaldi Abdul

Akal haruslah bisa melampaui Tuhan. Prinsip-prinsip akal budi dan hukum-hukum rasional haruslah bisa melampaui Tuhan, agar akal budi bisa memahami atau mengetahui Tuhan. Namun, mengingat Tuhan adalah Pencipta alam semesta dan Dialah yang menentukan segala hukum yang ada, termasuk prinsip-prinsip akal budi, maka Tuhan selalu melampaui akal budi manusia. Oleh karena itu, Tuhan tidak pernah diketahui atau dipahami oleh akal budi manusia. Dengan kata lain manusia sebenarnya tidak tau banyak tentang Tuhan. (Sobur, Filsafat Komunikasi: 180).

Demikianlah pernyataan Soren Kierkegaard, yang dikutip oleh Alex Sobur dalam bukunya Filsafat Komunikasi. Bahwa akal haruslah melampaui Tuhan jika manusia ingin mengenal Tuhan. Namun nyatanya akal manusia tidak pernah melampaui Tuhan, karenanya manusia sebenarnya tidak tau banyak tentang siapa itu Tuhan. 

Semata akal saja tidak cukup untuk mengenal Tuhan. Agar akal bisa mengenal Tuhan ia harus mendapatkan bantuan wahyu, tidak bisa hanya berjalan sendiri. Sebab jika akal terlampau sombong berjalan sendiri. Maka ia bisa tersesat dan berakhir dengan kesimpulan yang terlampau sombong pula bahwa Tuhan tidak pernah ada. 

Posisi akal dan wahyu ibarat antara mata dan cahaya. Akal adalah mata, dan wahyu adalah cahaya. Untuk bisa melihat dengan baik saat berjalan manusia butuh keduanya. Yaitu mata yang sehat dan cahaya yang menyinari jalan. Hanya ada mata tapi tidak ada cahaya maka sekitar akan sangat gelap dan kitapun tidak bisa melihat jalan dengan baik. Begitupun dalam hidup, akal harus dibantu wahyu agar bisa berjalan pada jalan yang benar. Sebab  demikianlah Tuhan menurunkan wahyu untuk membantu akal dalam kehidupan.

"Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan didalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa". (Al-Baqarah, 2 : 2).

Namun, penulis bukan akan membahas tentang Tuhan, wahyu dan akal. Tapi membahas tentang anugrah yang diberikan Tuhan pada manusia. Yaitu "kehidupan".

Manusia, lahir, hidup dan mati. Tak masalah kita lahir dalam keluarga kaya atau miskin, baik atau tidak. Yang terpenting kita menjalani hidup dengan sebaik mungkin dan mati dalam kaedaan baik. Dengan demikian semoga hadirnya kita di muka bumi ini bukanlah suatu kesia-siaan.

Kehidupan adalah anugrah yang diberikan Tuhan. Ada sangat banyak manusia di bumi ini. Demikianpun setiap manusia menjalani kehidupannya masing-masing. Kierkegaard mengatakan bahwa ada tiga tahap corak kehidupan manusia, yaitu estetika, etika dan religius.

Manusia yang hidup dengan corak estetika adalah manusia yang orientasi hidupnya sepenuhnya diarahkan untuk mendapatkan kesenangan. Pada tahap ini manusia dikuasai oleh naluri-naluri seksual, oleh prinsip-prinsip kesenangan yang hedonistik dan biasanya bertindak menurut suasana hati. (Zainal, Filsafat Manusia : 148). Kiekergaard memposisikan corak hidup estetis sebagai tahapan hidup yang terendah.

 Pada tahap estetika ini ukuran perbuatan manusia hanyalah diukur pada, apakah itu menyenangkan atau membosankan. Jika menyenangkan maka akan langsung dikerjakan dan jika membosankan maka akan ditinggalkan. Kehidupannya hanya untuk saat ini dan hanya untuk dirinya. Tidak perduli bila yang dikerjakannya itu merusak dirinya dikemudian hari atau merugikan orang lain. Asalkan itu menyenangkan maka akan dilakukan.

Fenomena maraknya minuman keras dan narkoba. Merupakan tanda bahwa banyak orang yang berada pada tahap kehidupan ini. Tidak perduli minuman keras dan narkoba bisa merusak dikemudian hari, yang terpenting itu menyenangkan hari ini maka akan dilakukan.

Ketika hidup orang estetis sudah kacau dan rusak maka penyesalanpun datang menyapa dan menawarkan obat pertaubatan. Pada momen ini manusia estetis dihadapkan pada pilihan, mau bertahan pada hidup yang berlandaskan pada kesenangan semata walaupun hidup rusak dan kacau. Atau memilih jalan pertaubatan, corak kehidupan yang berbeda yaitu tahap hidup etika.

Memilih hidup dalam tahap etika berarti mengubah corak hidup yang semula estetis menjadi etis. Manusia pun mulai menerima kebajikan-kebajikan moral dan memilih untuk mengikatkan diri kepadanya. Prinsip kesenangan (hedonisme) dibuang jauh-jauh dan sekarang ia mulai menerima dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan. (Zainal, Filsafat Manusia, 149). Tahap etika adalah hidup dengan kesungguhan dan kemantapan dalam bertindak menyangkut pilihan-pilihan moral. (Sobur, Filsafat Komunikasi, : 182).

Ukuran hidup pada tahap ini bukan apakah menyenangkan atau membosankan. Namun, apakah itu baik atau buruk, bermanfaat atau tidak bermanfaat. Tidak semua yang baik atau bermanfaat itu menyenangkan. Dan sebaliknya tidak semua yang menyenangkan itu baik atau bermanfaat. 

Misalnya, ketika belajar, terkadang rasa bosan datang menyapa. Maka rasa ingin bersenang-senangpun datang. Disaat demikian teringatlah perkataan Imam Syafi'i bahwa jika tidak tahan pada lelahnya belajar di waktu muda. Maka kamu akan merasakan pahitnya kebodohan di waktu tua.

Walaupun belajar terasa membosankan, namun itu adalah hal yang baik dan bermanfaat. Maka pilihan moral adalah untuk terus belajar. 

Tahap ini adalah tahap kemanusiaan. Mengutamakan pilihan moral daripada kesenangan pribadi. Inilah pilihan para pahlawan perjuangan kemerdekaan. Inilah yang membuat Tan Malaka sampai berkata, "Barangsiapa yang menghendaki kemerdekaan buat umum, maka ia harus sedia dan ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaan (baca: kesenangan) diri sendiri". (Tan Malaka, Dari Penjara Ke Penjara). 

Pilihan moral para pahlawan adalah memperjuangkan kemerdekaan untuk kebahagiaan anak dan cucu mereka. Mereka ingin Indonesia merdeka. Agar anak dan cucunya bisa merasakan kemerdekaan. Agar anak cucu bangsa bisa mendapatkan pendidikan yang baik. 

Namun, alangkah berdosanya kita pada darah para pahlawan. Sebab kemerdekaan yang mereka perjuangkan tidak kita manfaatkan dengan sebaik mungkin. Untuk belajar dan berkhidmat pada agama, bangsa dan negara.

Kiekergaard mengatakan bahwa masi ada tahap corak kehidupan yang lebih tinggi lagi dari pada hidup etis. Yaitu tahap religius. Tahap dimana tidak dibutuhkan alasan atau pertimbangan rasional dan ilmiah untuk masuk disini, yang dibutuhkan adalah keyakinan berdasarkan pada iman. (Zainal, Filsafat Manusia, : 150).

Hanya dengan keyakinan pribadi yang berlandaskan pada iman, kita berani menceburkan diri pada Tuhan, dengan rasa aman dan bahagia. Hidup manusia akan berakhir dengan kebahagiaan abadi, kalau ia sudah berada dalam tahap eksistensi yang religius. (Zainal, Filsafat Manusia, : 152). 

Namun, jika akal dibuang sepenuhnya. Bagaimana kita akan memikirkan atau mengetahui apakah hal itu benar perintah Tuhan atau tidak?

 Bagaimana kita akan dapat memahami perintah-perintah Tuhan dalam wahyu yang ia turunkan?

 Bagaimana manusia dapat mengenali petunjuk yang diberikan Tuhan padanya?

Menurut penulis tahap religius bukanlah tahap dimana akal tidak dibutuhkan. Melainkan adalah tahap tunduknya manusia pada imannya. Termasuk akalnyapun ia tundukkan pada imannya. Karenan ada beberapa hal yang harus kita percayai dengan iman semata sebab tidak terjangkau akal manusia.

Namun, akal tetap dibutuhkan dalam memikirkan tanda-tanda atau petunjuk yang diberikan Tuhan untuk manusia. Yang dengan petunjuk itu, manusia bisa mendapatkan kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat. 

Tahap ini adalah tahap dimana manusia melakukan sesuatu karena imannya kepada Tuhan. Dan dengan iman manusia akan berbuat baik karena mengharapkan pahala dari Tuhan. Dan menjauhi yang jahat karena tidak ingin mendapatkan balasan yang buruk dari Tuhan. (Hamka, Dari Hati ke Hati, : 152).

Sehingga manusia yang beriman, akan berusahah memperbagus kualitas hidupnya. Karena imannya mengatakan hidup adalah anugrah yang besar dari Tuhan. Karenanya hidup ini jangan sampai disia-siakan. Wallahu 'alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun