Mohon tunggu...
Moh rivaldi abdul
Moh rivaldi abdul Mohon Tunggu... Mahasiswa IAIN Gorontalo -

Mahasiswa IAIN Gorontalo Fb. Moh. Rivaldi Abdul Rivaldiabdulputrisuleman.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Memanusiakan Manusia

20 Juli 2018   16:12 Diperbarui: 20 Juli 2018   16:15 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memanusiakan Manusia

Oleh : Moh. Rivaldi Abdul.

Pendidikan adalah usahah untuk membantu manusia menjadi manusia. Demikianlah pandangan tujuan pendidikan secara umum, bahwa pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Manusia perlu dibantu agar dia bisa berhasil menjadi manusia. Karena manusia itu adalah sifat. Banyak manusia yang bukan manusia. Karena salah satu pertanda manusia adalah dengan dia berpikir. Sebagaima kata Rene Deskartes bahwa  "Aku berpikir, maka akupun ada".

            Dalam bukunya Quraish Shihab yang berjudul "Yang Hilang dari Kita Akhlak", beliau mengutip perkataan Socrates yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat hidup dengan wajar, kecuali jika ia dapat menerapkan secara nyata apa yang termaktub pada tempat pemujaan di pulau Delphi yang menyatakan : "ketahuilah dirimu dengan dirimu". Ya, kenalilah dirimu lewat dirimu, maksudnya coba pikirkanlah, benarkah kita ini manusia? Lalu apa buktinya sehingga kita ini disebut manusia?

            Maka ada yang berkata salah satu tanda manusia sebab mempunyai akal. Lalu apakah pertanda seseorang itu mempunyai akal? Tanda manusia mempunyai akal adalah ketika dia menggunakan akal itu (berpikir). Ketika melihat suatu hal yang terjadi maka manusia akan menggunakan akalnya dan berpikir baikkah atau burukkah.

            Kata Buya Hamka bahwa, "manusia itu sejenis hewan juga, tetapi Tuhan memberikan kelebihannya dengan akal. Orang yang berakal, luas pandangannya kepada sesuatu yang menyakiti atau menyenangkan. Pandai memilih perkara yang memberi manfaat dan menjauhi yang akan menyakiti. Dia memilih mana yang lebih kekal walaupun sulit jalannya daripada yang mudah didapat padahal rapuh. Sebab itu mereka pandang keutamaan akhirat, lebih daripada keutamaan dunia."

            Lanjut Buya Hamka bahwa, "Kemanusiaan tidak ada pada yang lain, hanyalah ada pada manusia. Maka sekedar usaha manusia memperhalus perangai itu, sekedar itu pulalah tingkatan derajat kemanusiaannya, sehingga ada yang naik tingkatnya, membumbung tinggi, hampir mencapai derajat malaikat. Jika bertemu manusia yang demikian hanya rupanya yang rupa manusia, bentuk badannya dan wajahnya; adapun hatinya, jiwanya, sanubarinya, semuanya adalah hati sanubari dan jiwa malaikat.

            Adapun pula, yang turun kebawah sekali, kederajat yang paling hina, sehingga menyerupai binatang, bahkan lebih hina daripada binatang. Hanya tubuhnya yang tubuh manusia. Hanya tanduk atau taringnya yang tidak ada, hanya kukunya yang tak panjang. Hanya kakinya yang tak berjalan empat dengan tangannya; bahkan lebih berbahaya dari binatang. Sebab cerdik manusia ada padanya, padahal tipu dayanya tertiru oleh binatang sendiri. Dan ada pula yang pertengahan. Itulah sebabnya maka dikatakan orang bahwa kemanusiaan si anu lebih daripada kemanusiaan si fulan.  Jadi teranglah ukuran perangai kemanusiaan itu ialah ukuran perangai terpuji atau tercela."

            Maka untuk menjadi manusia yang benar-benar manusia, tidak hanya tubuh saja yang merupakan tubuh manusia. Namun juga haruslah kita memiliki nilai (sifat) kemanusiaan. Dan dalam upaya menumbuhkan sifat kemanusiaan ini pendidikan memiliki peran yang amat penting. Karena tujuan pendidikan adalah untuk membantu manusia menjadi manusia.

            Oleh karenanya pendidikan tidak hanya cukup sekedar transfer pengetahuan saja. Karena kalau hanya sekedar transfer pengetahuan itu belumlah pendidikan, tapi masih sekedar pengajaran. Kata Buya Hamka, bahwa:

"Pendidikan dan pengajaran tidak sama. Banyak terdapat sekolah-sekolah yang mengajarkan agama, tetapi tidak mendidik agama. Maka keluar pulalah anak-anak muda yang alim ulama, bahasa Arabnya seperti air mengalir, tetapi budinya rendah. Sama sajalah sekolah macam ini dengan sekolah-sekolah yang tidak mengajarkan, pun tidak mendidik agama."

            Pandangan Buya Hamka di atas sudah berpuluh tahun yang lalu di tuliskan oleh Buya Hamka, namun ini perlu dicermati sebab terkadang pendidikan kita kadang kala masih lebih banyak berorientasi pada transfer pengetahuan semata namun lupa dalam membentuk akhlak manusia. Contohnya pada pelajaran agama, dimana Azyumardi Azahra, berkata bahwa "mata pelajaran agama cenderung hanya untuk sekedar diketahui dan dihapalkan saja untuk lulus ujian." Sehingga kadang kalah kita bisa melihat ada orang yang hebat ilmu agamanya, tetapi tidak hebat dalam mengamalkan ilmunya.

Ada juga orang yang hebat ilmu kepemerintahannya, ketika bicara kesejahtraan rakyat hebatnya minta ampun, namun ketika menjadi wakil rakyat ternyata malah mengkorupsi uang rakyat, bukan menjadi sebab kesejahtraan rakyat tapi malah menjadi sebab penderitaan rakyat. Koruptor seperti ini sudah banyak kita saksikan wajah mereka baik di televisi, media sosial sampai koran. Konsep mensejahtrakan rakyat mereka hanya sekedar hapalan saja tidak menjiwai menjadi tujuan hidupnya.

            Karenanya untuk kita para guru dan calon guru, pendidikan tidak hanya pada bagaimana cara guru mentransfer pelajaran, namun juga pada bagaimana cara guru membentuk karakter sifat peserta didik (pesdik). Maka keberhasilan pembelajaran Qur'an Hadits misalnya, tidak hanya sekedar di nilai dari seberapa banyak hafalan pesdik, namun juga harus di lihat seberapa jauh ia mengamalkan apa yang di hafal. 

Pembelajaran Fiqh tidak hanya sekedar seberapa lancar pesdik melantunkan bacaan-bacaan shalat misalnya, namun juga haruslah di lihat seberapa rutin pesdik mengerjakan shalat. Nabi Muhammad saw., juga pernah berpesan dalam hadits yang di riwayatkan oleh imam Ahmad, bahwa : "Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya." Ini berarti mukmin yang baik tidak hanya sekedar di lihat dari seberapa banyak ilmunya namun juga di lihat dari seberapa baik akhlaknya. Karenannya pelajaran Agama Islam juga harus memperhatikan sisi akhlak pesdik. Agar dapat mewujudkan misi Nabi untuk menyempurnakan akhlak manusia.

            Sabda Nabi Muhammad saw., Aku diutus tidak lain kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia. (Hr. Malik).

             Dan untuk para orang tua, kemajuan anak di sekolah tidak hanya di lihat dari aspek kognitif, namun juga harus di lihat dari aspek afektif dan psikomotoriknya. Karenannya untuk para orang tua, dalam melihat raport anak-anak jangan hanya sekedar melihat penilaian pada aspek kognitif saja yang berupa angka-angka. Namun juga perlu kiranya untuk memeriksa bagaimana nilai pada aspek afektif (sikap) anak-anak. Jangan-jangan nilai kognitifnya rata-rata 90, namun ternyata afektifnya malah rata-rata C. Sebagai orang tua, pastilah menginginkan anaknya tidak hanya pandai dalam mata pelajaran, lebih dari itu pastilah ingin anaknya memiliki sikap yang baik juga.

            Dalam dunia pendidikan ada tiga lembaga pendidikan yang dikenal. Yaitu pendidikan formal di Sekolah, pendidikan informal dalam keluarga dan pendidikan nonformal dalam masyarakat. Maka kiranya para orang tua harus sadar bahwa tugas mendidik anak tidak hanya dibebankan di sekolah yang di lakukan oleh para guru. Keluarga juga memiliki peran yang sangat besar dan penting dalam menciptakan suasana pendidikan bagi anak-anak. Juga pemerintah dan masyarakat haruslah menciptakan suasana pendidikan yang baik di lingkungan masyarakat. 

            Ahmad Tafsir dalam bukunya "Filsafat Pendidikan Islami", mengingatkan bahwa, "Sering kali yang dididik adalah tangan manusia, mata manusia, atau otak manusia. Manusianya sendiri tidak tersentuh. Karena itu lulusan akan ahli tangannya -- misalnya ahli membuat mesin atau ahli melukis atau ahli memainkan alat musik -- tetapi ia belum tentu manusia. Padahal pendidikan itu adalah pendidikan untuk memanusiakan manusia."

            Ketika pendidikan hanya sekedar berorientasi pada bagaimana cara menghasilkan manusia yang siap kerja, namun lupa dalam memanusiakan manusia. Maka lembaga pendidikan seakan hanya sekedar menjadi pabrik yang menghasilkan mesin yang siap kerja. Dan pendidikan sendiri hanya sebagai alat untuk menciptakan mesin kerja. Padahal pendidikan tidak hanya sekedar untuk menghasilkan manusia yang siap kerja. Namun lebih dari itu pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia. Wallahu'alam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun