Mohon tunggu...
Riva Julianto
Riva Julianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus FIB dan FH UI, Praktisi Periklanan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menggugat Permen No 32/2016 tentang Angkutan Berbasis "Online"

21 April 2016   12:23 Diperbarui: 21 April 2016   16:27 3473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Pengemudi mobil Uber hanya bermodal sebuah iPhone yang digunakan untuk memantau pesanan dan melakukan semua hal yang berkaitan dengan platform transportasi tersebut. (oik yusuf/ kompas.com)"][/caption]Seperti diberitakan kompas.com , secara diam-diam Menteri Perhubungan telah mengeluarkan Peraturan Menteri No 32/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Peraturan ini ditujukan untuk mengatur penyelenggaraan angkutan orang berbasis online yang sedang booming dan digandrungi masyarakat. Terlihat jelas sekali tendensi dan keberpihakan Peraturan Menteri Perhubungan ini terhadap bisnis perusahaan angkutan konvensional yang sedang dirundung penurunan omset akibat kalah bersaing dengan taksi berbasis online. Namun, pokok permasalahan ini sebenarnya bukan terletak pada aplikasinya, tapi pada status kendaraan yang digunakan untuk angkutan tersebut.

Kementerian Perhubungan a.k.a. Menteri Perhubungan tampak sekali memaksakan kehendaknya untuk menggolongkan semua kendaraan yang digunakan sebagai angkutan menjadi kendaraan umum. Padahal sudah terang dan jelas di dalam Pasal 7 ayat 1 UU No 22/2009 bahwa “Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat.” 

Sengaja saya menulis tebal kata "dan/atau masyarakat" karena hal ini berarti masyarakat, termasuk individu, dapat juga berpartisipasi langsung dalam penyelenggaraan angkutan jalan tanpa harus memiliki badan hukum. Pemaksaan penyelenggara angkutan berbasis aplikasi menjadi berbadan hukum jelas-jelas menyalahi undang-undang ini. Undang-Undang No 22/2009 Pasal 47 ayat 3 juga menjelaskan lebih jauh bahwa "Kendaraan bermotor berdasarkan fungsinya terbagi menjadi 1) Kendaraan Bermotor Umum (plat kuning) dan 2) Kendaraan Bermotor Perseorangan (plat hitam)."

Merujuk Pasal 47 ayat 3 butir 2 UU No 22/2009 tersebut di atas, jika status kendaraan yang digunakan adalah kendaraan bermotor perseorangan, maka UU No 22/2009 ini tidak berlaku karena UU ini tidak mengatur penggunaan kendaraan bermotor perseorangan. Lantas peraturan dan UU apa yang berlaku untuk mengatur kendaraan bermotor perseorangan? Karena statusnya hak milik pribadi (private property) dan hubungan usaha adalah antarpribadi (private to private), yang berlaku untuk kendaraan bermotor ini adalah UU Hukum Perdata dan UU Hukum Pidana.

Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan, pun mengakui hal ini saat ditanya oleh anggota DPR mengenai status hukum ojek online. Kalau status hukum private to private ini diakui untuk ojek online, lalu kenapa tidak berlaku untuk angkutan roda empat yang juga berbasis online karena status hukum kendaraan dan bisnisnya juga private to private. Yang menggelikan ternyata kebijakan ini justru datang dari Presiden Jokowi, yang menurut hemat penulis ternyata lebih memahami persoalan ini ketimbang menterinya. Terlihat sekali betapa tidak siap dan tidak konsistennya penerapan peraturan untuk transportasi berbasis online ini oleh Kementerian Perhubungan sehingga tidak dapat membedakan mana wilayah publik dan mana wilayah pribadi (private). 

Dalih Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Pudji Hartanto Iskandar, bahwa dasar hukumnya adalah Pasal 139 ayat 4 UU No 22/2009 "Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" merupakan pembodohan publik. Mengapa? Karena membaca dan mamahami undang-undang tidak dapat setengah-setengah, tapi harus secara menyeluruh karena pasal-pasal yang ada di dalamnya saling terkait. Jelas sekali Peraturan Menteri No 32/2016 dikeluarkan hanya berlandaskan Pasal 139 ayat 4 UU No 22/2009. Padahal, ada pasal-pasal lain di UU No 22/ 2009 ini yang diabaikan dan tidak diindahkan, misalnya:

1) Pasal 7 ayat 1: "“Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat"

2) Pasal 138 ayat 3 : "Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum"

3) Pasal 47 ayat 3 : "Berdasarkan fungsinya terbagi menjadi 1) Kendaraan Bermotor Umum (plat kuning) dan 2) Kendaraan Bermotor Perseorangan (plat hitam)"

Jika menilik Pasal-Pasal UU No 22/2009 tersebut, jelas Peraturan Menteri Perhubungan No 32/2016 dapat menjadi indikasi kalau Kementerian Perhubungan sedang memaksakan kehendaknya untuk mengatur kepemilikan pribadi atau kendaraan bermotor perseorangan (pelat hitam). Entah apa yang melatari keluarnya Peraturan Menteri ini. Jikalau hanya persoalan keamanan, kenyamanan dan perpajakan, semuanya telah diatur oleh peraturan dan undang-undang lain seperti Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Hukum Pidana, dan Undang-Undang Perpajakan. Janganlah Kementerian Perhubungan menjadi kontraproduktif di saat Presiden Jokowi sedang giat-giatnya melakukan deregulasi di bidang perekonomian, Kementerian Perhubungan malah melakukan regulasi yang menyulitkan dan mematikan ekonomi kreatif masyarakat. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun