Persaingan bisnis transportasi darat konvensional dan berbasis aplikasi mencapai puncaknya dengan aksi demo supir taksi konvensional (plat kuning) yang berakhir anarkis. Akar dari persoalan ini sebenarnya murni persoalan model bisnis. Tapi karena menyangkut kepentingan bisnis yang terancam, organisasi perusahaan angkutan darat (ORGANDA) yang menggunakan model bisnis konvensional ingin membawanya menjadi persoalan hukum. Demikian pula Kementerian Perhubungan sepertinya telah tergesa-gesa menafsirkan hal yang sama.
Seperti telah saya jelaskan di tulisan sebelumnya, persoalan bisnis ini telah ditarik menjadi persoalan hukum dengan menggunakan UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai dasarnya. Padahal ada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jika menyangkut persoalan bisnis atau usaha sewa-menyewa, termasuk jasa sewa-menyewa kendaraan pribadi.
Jika yang dipersoalkan masalah legalitas jasa transportasi berbasis aplikasi, silahkan disimak baik-baik Pasal 7 ayat 1 UU No 22/2009 : “Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat.” Pasal ini dengan gamblang menjelaskan bahwa penyelenggaraan angkutan orang dapat dilakukan oleh masyarakat tanpa harus berbadan hukum. Pemaksaan penyelenggara angkutan berbasis aplikasi menjadi berbadan hukum jelas menyalahi Undang-Undang ini.
Di dalam Undang-Undang No 22/2009 Pasal 47 ayat 3 juga disebutkan dengan jelas bahwa kendaraan bermotor berdasarkan fungsinya terbagi menjadi 1) Kendaraan Bermotor Umum (plat kuning) dan 2) Kendaraan Bermotor Perseorangan (plat hitam). Lantas, apakah Kendaraan Bermotor Perseorangan (plat hitam) yang difungsikan sebagai angkutan orang akan berubah menjadi Kendaraan Bermotor Umum (plat kuning)? Jelas tidak. Kalau yang dimaksudkan hanya fungsinya, maka Kendaraan Bermotor Perseorangan (plat hitam) pun berfungsi sebagai angkutan orang sama seperti Kendaraan Bermotor Umum (plat kuning). Lalu apa arti kata “fungsi” di dalam pasal tersebut?
Oleh karena kata “fungsi” di pasal tersebut mempunyai arti yang sama untuk Kendaraan Bermotor Umum (plat kuning) dan Kendaraan Bermotor Perseorangan (plat hitam), maka jelas kata “fungsi” yang dimaksud di sini bukan ditujukan bagi Kendaraan Bermotor Perseorangan (plat hitam). Yang dimaksudkan “fungsi” di sini adalah kendaraan bermotor yang diubah bentuk atau desainnya untuk dijadikan angkutan orang. Biasanya bentuk dan desain kendaraan bukan standar dari Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) kendaraan. ATPM hanya menjual kendaraan dalam bentuk sasis (mesin dan kerangka). Bis, mini bis (Metromini, Kopaja), angkutan perkotaan (angkot), dan bajaj termasuk ke dalam kategori ini.
Lantas bagaimana dengan taksi? Apakah termasuk yang diubah desain dan bentuknya? Secara desain dan bentuk tidak ada perubahan, tapi secara spesifikasi ada yang diubah atau dikurangi untuk mendapatkan harga ekonomis pembelian kendaraan. Perubahan spesifikasi tersebut misalnya saja ketiadaan power window, airbags, ABS atau pengunaan fitur-fitur yang ekonomis. Namun ini tidak berlaku bagi taksi premium yang memakai kendaraan full specification dari ATPM. Itu sebabnya Kementerian Perhubungan sangat berkepentingan untuk menguji kualitasnya karena telah diubah menjadi bukan standar ATPM. Dengan demikian Pasal 47 ayat 3 sebenarnya menjelaskan bahwa kata “fungsi’ yang dimaksud di sini adalah mengubah fungsi kendaraan bermotor menjadi bukan standar pabrikan atau ATPM.
Dengan demikian jelas bahwa Kendaraan Bermotor Perseorangan (plat hitam) tidak dapat dikategorikan sebagai Kendaraan Bermotor Umum (plat kuning). Kendaraan Bermotor Perseorangan (plat hitam) didesain dan dibuat sesuai standar pabrikan atau ATPM yang telah melakukan uji kelayakan semua aspek mulai dari keselamatan sampai kenyamanan.
Oleh karena itu upaya Kementerian Perhubungan untuk mengarahkan Kendaraan Bermotor Perseorangan (plat hitam) berbasis aplikasi menjadi Kendaraan Bermotor Umum (plat kuning) adalah upaya yang berlebihan. Selain mencampuri urusan kepemilikan kendaraan pribadi, upaya ini juga bisa membuka peluang terjadinya praktek pungli dan korupsi sehingga membuat biaya ekonomi tinggi seperti yang terjadi pada jasa usaha transportasi konvensional.
Lalu apakah Pasal 1 Butir 10 UU No 22/2009 dapat dijadikan rujukan untuk mengategorikan Kendaraan Bermotor Perseorangan (plat hitam) menjadi Kendaraan Bermotor Umum (plat kuning) karena telah memungut bayaran ke pengunanya? Memungut bayaran dengan menggunakan Kendaraan Bermotor Perseorangan (plat hitam) tidak serta merta mengubah statusnya menjadi Kendaraan Bermotor Umum (plat kuning).
Urusan sewa-menyewa kendaraan pribadi juga mengharuskan adanya pembayaran sesuai kesepakatan kedua pihak, yaitu penyewa dan yang menyewakan, seperti yang diatur Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kesepakatan itu bisa berupa jarak tempuh, lamanya waktu pemakaian, atau jenis kendaraan yang disewakan.
Jadi sekali lagi perlu diingat bahwa UU NO 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak mengatur pengunaan Kendaraan Bermotor Perseorangan (plat hitam) karena kendaraan ini masuk kategori private property atau hak milik pribadi. Negara dan UU tidak dapat mengatur penggunaan atau pemakaian hak milik pribadi seseorang. Negara dan Undang-Undang hanya mengatur segala sesuatu yang menyangkut kepentingan publik atau umum, dan bukan kepentingan pribadi. Segala sesuatu yang menyangkut penggunaan dan pemakaian hak milik pribadi dasar hukumnya adalah Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).