Mohon tunggu...
Rivai Muhamad
Rivai Muhamad Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Gemar menulis fiksi, menggambar, melukis, dan membaca. Mahasiswa jurusan seni rupa di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Serigala Tak Pernah Menelan Nenek

7 Desember 2010   06:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:56 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jantung Sang Nenek cepat berdebar, dan ia pun mulai menggeram.

“Tak apa, aku jadi dapat… aku jadi dapat …,” ia tak menemukan alasan yang tepat.

Ia melolong panjang, lalu melompat dan menerjang. Matanya yang awas tak memberikan kesempatan bagi Sang Cucu untuk melarikan diri. Hidungnya yang peka dapat mencium aroma lezat tubuh cucunya sendiri. Lalu giginya yang tajam mengoyak-ngoyak tubuh Sang Cucu, dari kepala hingga kaki.

Sang Cucu menggapai-gapai, sementara air mata berderai, dan sisa darah menggenang di lantai. Sobekan kerudung merah menjadi basah, basah oleh darah.

Malam pun berakhir, bulan telah tersingkir. Sang Nenek kembali ke wujudnya semula, ia menangisi perbuatannya. Sudah tiga kali hal ini terjadi. Ia tiduran, berharap dan berjanji. Bulan depan, di saat bulan purnama muncul kembali, ia akan berusaha agar tak memangsa cucu-cucunya lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun