Jantung Sang Nenek cepat berdebar, dan ia pun mulai menggeram.
“Tak apa, aku jadi dapat… aku jadi dapat …,” ia tak menemukan alasan yang tepat.
Ia melolong panjang, lalu melompat dan menerjang. Matanya yang awas tak memberikan kesempatan bagi Sang Cucu untuk melarikan diri. Hidungnya yang peka dapat mencium aroma lezat tubuh cucunya sendiri. Lalu giginya yang tajam mengoyak-ngoyak tubuh Sang Cucu, dari kepala hingga kaki.
Sang Cucu menggapai-gapai, sementara air mata berderai, dan sisa darah menggenang di lantai. Sobekan kerudung merah menjadi basah, basah oleh darah.
Malam pun berakhir, bulan telah tersingkir. Sang Nenek kembali ke wujudnya semula, ia menangisi perbuatannya. Sudah tiga kali hal ini terjadi. Ia tiduran, berharap dan berjanji. Bulan depan, di saat bulan purnama muncul kembali, ia akan berusaha agar tak memangsa cucu-cucunya lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H