Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tidak, Bukan Wanita Idaman Lain #2

26 Juli 2023   09:53 Diperbarui: 26 Juli 2023   10:03 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tetapi, apa aku sanggup kalau digunjingkan lagi? Ufffffhhhhh, beratnya.

***

Hari Minggu ini aku pergi ke gereja yang jadwalnya pagi. Biasanya sih aku mengambil jadwal gereja sore, jadwal yang juga dipilih oleh Iwan. Nah, lebih aman bagiku untuk berangkat pagi saja, bukan? 

Sudah dua minggu ini aku berdoa pada Tuhan agar diberikan hikmat mengatasi persoalanku. Aku sempat mengakui rasa bersalahku karena membiarkan hatiku menerima perhatian Iwan melebihi batasnya. Batasnya sampai dimana, sulit kujelaskan. Ketika aku merasa ada sesuatu yang aneh dalam hatiku saat Iwan melimpahkan perhatiannya, sepertinya di situlah batasnya. Aku tahu yang 'aneh-aneh' itu kerap muncul. Tapi aku tidak ingin kehilangan hal itu. Sampai kemudian ada orang lain yang melihatnya.

Kenapa aku kerap melewati batas itu, karena di sisi lain hatiku berkata, 'bukankah cinta itu bisa datang kapan saja, tidak kenal waktu, tidak kenal usia, dan tidak kenal tempat? Tetapi secepat itu pula sisi hati yang lain akan mengatakan bahwa cinta yang aman adalah cinta yang diberikan kepada orang yang tepat. 

Manakah yang harus kupilih? Kalau menggunakan rasioku tentu saja aku memilih 'sisi hatiku' yang kedua. Apalagi sudah ada pengalaman sebelumnya. Dan harus kuakui, mencintai orang yang salah lebih banyak ruginya ketimbang manfaatnya. Kata-kata kasar teman perempuanku masih kuingat dengan jelas, "Sudah tahu cowok itu sudah punya pasangan, eeehh si Melda malah jauh cinta pula."

Aku masih belum berhenti. Mencoba merasionalisasikan situasi itu dengan pembelaan bahwa cukuplah mencintai dalam hati saja. Tidak harus sampai ada relasi konkret. 

Eiittt, tidak! Tidak akan, sanggahku. Lalu untuk apa gunanya berdoa dan minta maaf pada Tuhan kalau merencanakan dalam hati untuk mempertahankan perasaan tersebut? Argumen lainya muncul lagi, bahwa perasaan itu sesuatu yang sulit dikendalikan, jadi biarkan mengalir sajalah. Nikmati sajalah kedekatan itu.

Really?

O no! Aku menolak kembali. Justru karena aku tidak bisa mengendalikan perasaanku makanya aku berdoa pada Tuhan. Kiranya Ia berbelas kasih melepaskan aku dari ikatan itu. Aku teringat kisah seorang anak muda di perantauan bernama Yusuf. Ia pernah mengalami situasi ini. Tinggal sebagai asisten rumah tangga dan setiap hari bertemu nyonya rumah yang kerap menggodanya. Aku yakin bahwa pemuda ini pasti merasakan desakan yang kuat dalam dirinya untuk menikmati tawaran sang nyonya. Tapi ia memutuskan lari ketimbang 'menjatuhkan diri'. 

Haruskah aku begitu? Lari? Pindah rumah (lagi)? Aduh, bagaimana kalau aku ditertawakan teman-temanku lagi dan ditanya macam-macam oleh para tetangga yang sudah aku kenal baik?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun