Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tidak, Bukan Wanita Idaman Lain #1

29 Juni 2023   09:50 Diperbarui: 26 Juli 2023   10:04 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak itu, hampir setiap malam aku berdoa, "Ya Tuhan, bagaimana melepaskan lekatan emosiku pada Iwan?" Iwan mungkin tak tahu aku mengalami dilema ini. Dia sangat easy going, khas orang marketing. Tapi dia berhasil membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Konsentrasiku pada pekerjaan sering buyar gara-gara dia.

Sanggupkah aku bersikap biasa kembali seperti sedia kala? Dan, adakah orang yang rela mendengarkan keluh-kesahku soal ini? Duh, rasanya tidak ada. Aku tidak siap melihat reaksi teman-temanku yang masih sangat muda. Sosok Kak Imelda di mata mereka adalah gambaran seorang guru yang harus diteladani. Seorang guru yang bisa menjaga sikapnya. Seorang guru yang tidak main-main dalam menjalin hubungan terlarang. Teman-temanku itu, mungkin saja belum bisa membedakan kondisi seseorang yang sudah commited (berpacaran) dengan pria beristri atau yang masih dalam batas menginginkan commitment itu. Sungguh, aku tidak siap jika mereka beranggapan aku sudah selingkuh padahal tidak.

Kalau di Jakarta, aku bisa curhat setidaknya pada dua sahabatku. Maka aku hanya bisa berteriak, "Tuhan, tolong saya!"

***

Liburan Natal dan Tahun Baru 2007-2008 ini aku sendirian di rumah. Zus Jerita dan suami serta anak mereka Jordan, pulang kampung. Iwan juga pulang ke Jakarta, natalan bersama keluarganya. Karena kasihan melihatku sendirian, Iwan memberikan kunci kamarnya. "Nih kunci kamar gue, siapa tahu elo kepingin nonton TV,"kata Iwan. Aku menerimanya dengan senang hati. Siapa sih yang mau di rumah bersepi-sepi ria? Menonton televisi adalah solusi yang tepat.Tetapi di malam tahun baru nanti, aku dan teman-teman akan mengadakan acara Kebaktian Tutup Tahun. Zus Jerita sudah mengizinkan. 

Suasana malam itu sungguh ramai dan menghangatkan hati kami. Dalam ibadah malam itu masing-masing dari kami membagikan pengalaman hidup selama tahun 2007; apa yang paling berkesan dan kehidupan seperti apa yang ingin diwujudkan di tahun 2008. Rasanya, setiap pergantian tahun menjadi momen penting dan penuh haru bagi kami. Aku memaknainya sebagai masa 'jeda' dari waktu yang terus berjalan. Saking berkesannya, momen pergantian tahun jadi lebih istimewa dibandingkan momen ulangtahun.

***

Pagi hari di awal 2008, langit di kotaku mendung meski tidak hujan. Suasana kota pun sepi. Hatiku merasa ikut mendung. Padahal sore nanti aku harus siaran dengan tema "Tahun Baru dan Harapan Baru". Aku menguat-nguatkan hatiku supaya tetap bersemangat pada saat siaran. 

Rumah kembali sepi. Teman-teman yang menginap tadi malam sudah pulang jam 7 tadi pagi. Hari ini aku tidak ke gereja, karena sudah pergi tadi malam. Pagi hingga siang hari ini aku pakai untuk mematangkan persiapan siaran. 

Ngomong-ngomong soal banyaknya kebaktian natal di gereja-gereja di Indonesia, aku teringat ucapan temanku yang sedang mengambil Ph.D di Amerika. Ia bilang bahwa di sana, jadwal ibadah atau perayaan Natal hanya satu atau dua kali saja, untuk memberi kesempatan pada jemaat lebih banyak berkumpul bersama keluarga. 

Sejak itu, aku tidak perlu lagi merasa bersalah kalau tidak mengikuti semua jadwal ibadah Natal. Bukan karena aku fanatik pada tradisi Barat, tapi aku pikir ada baiknya mengikuti prinsip itu. Pernah saking seringnya aku datang ke ibadah Natal, pikiranku rasanya penuh dan tidak bisa lagi mencerna apa yang disampaikan pendeta di mimbar. Namun demikian, aku tidak menyalahkan gereja-gereja di Indonesia kalau mereka menyusun banyak sekali ibadah Natal. Akulah yang menyeleksi mana yang akan kuhadiri, mana yang tidak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun