Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tidak, Bukan Wanita Idaman Lain #1

29 Juni 2023   09:50 Diperbarui: 26 Juli 2023   10:04 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasangan artis favoritku, Shannaz Haque dan Gilang Ramadhan salah satu contohnya. Gilang itu lembut dan Shannaz malah 'perkasa'. Aku tertawa keras ketika ada yang mengubah panggilan mereka menjadi Kang Shannaz dan Neng Gilang.

Ada-ada saja cara yang dilakukan Iwan agar ia bisa mampir ke dapur dan meminta bantuanku menyiapkan makanan. Kalau aku bisa, aku lakukan. Kalau tidak bisa, aku tidak lakukan. Selama di dapur itu, aku dan Iwan juga sering ngobrol. Kebetulan banyak topik yang kami bahas itu nyambung, yang sayangnya malah sering tidak dimengerti oleh Zus Jer. Barangkali, situasi itu menimbulkan ketidaknyamanan bagi dirinya. Pikirku, biar sajalah. Sesekali aku ingin punya privacy. Kami bertiga; aku, Iwan, dan Mama Jordan orang-orang yang tengah memasuki usia 40 tahunan. Masa-masa dimana fokus kami sudah bukan lagi tengah mencari jatidiri, tetapi lebih mengejar kualitas relasional. Apalagi Iwan cukup mengerti pekerjaan yang kugeluti. Dan dia menawarkan bantuan apapun yang aku perlukan. 

Tetapi lama-kelamaan aku merasa bahwa kedekatanku dengan Iwan menjadi sesuatu yang urgent. Aku tidak tahu kapan perasaan itu mulai muncul. 

Aku sekarang hafal rutinitasnya. Iwan berangkat ke kantor setiap pukul 7 pagi. Sebelum itu, dia akan mampir ke dapur jam setengah tujuh dan berteriak dari jauh, "Mel, titip telur mata sapi ya? Telurnya ambil aja di kulkas di kamar." Iwan lebih suka memanggilku Melda ketimbang Imelda. Kalau masih banyak waktu, Iwan akan berada di dapur lebih lama dan sesekali bertanya soal keluargaku di kota S. Atau menyampaikan pengamatannya bahwa katanya aku jauh dari feminin. "Cara berdirimu itu Mel, kok kayak cowok sih?" katanya tanpa nada canda sedikitpun.

"Hanya cara berdiri aja kan? Jenis kelaminku tetap perempuan lho. Aku menstruasi setiap bulan," jawabku taktis.

"Alaaaa ... kalo itu gue tahu. Tapi maksud gue, elo itu maskulin Mel," katanya lagi.

"Biar aja Wan ..." jawabku. Aku urung menambahkan kalimat 'memangnya kenapa? Kan banyak juga kaum adam yang feminin'. Takut dia ilfil gara-gara tidak suka dengan selera humorku. Aku pernah ikut sebuah diskusi yang membahas fenomena ini. Dimana banyak lelaki yang berperangai lembut dan 'keibuan' dan perempuan yang tomboy atau cenderung maskulin. Itu normal-normal saja dan tak perlu dianggap sebagai kelainan. Pasangan artis favoritku, Shannaz Haque dan Gilang Ramadhan salah satu contohnya. Gilang itu lembut dan Shannaz malah 'perkasa'. Aku tertawa keras ketika ada yang mengubah panggilan mereka menjadi Kang Shannaz dan Neng Gilang. Tapi lelaki di depanku ini, si Iwan, sepertinya tidak suka dengan 'anomali' seperti itu. Jadi aku mencoba 'bermain aman' saja. Diam atau mengalihkan perhatian.

Kadang-kadang, aku menumpang mobilnya saat dia ngantor lalu turun di pasar. Iwan sih dengan senang hati memberikan tumpangan. Namun berbeda dengan sikap Iwan, sikap Mama Jordan tampaknya tak suka. Aku sama sekali tidak memperkirakan gosip atau obrolan apa yang dibahas oleh dia di rumah bersama sepupunya setelah kami pergi. Kenapa saat itu aku tidak berpikir bahwa Zus Jerita mungkin saja cemburu atas kedekatanku dengan Iwan. Kesadaran ini baru muncul lama setelah peristiwa itu berlalu. Betul juga apa yang dikatakan orang. Kalau sedang jatuh cinta, orang suka tidak aware lagi.

Ufff, jatuh cintakah aku pada Iwan? Cintakah namanya kalau setiap hari aku harus memastikan jam berapa Iwan pulang dan jam berapa dia pergi? Cintakah namanya kalau setiap bangun pagi yang lebih dulu berkelebat di kepalaku adalah si Iwan ketimbang berdoa, atau setidaknya mau masak apa hari ini? Oh, kalau masak sih selalu terpikir, tetapi kali ini terkait dengan 'pesanan' Iwan. Pada saat-saat merasakan semua itu, apakah aku juga memikirkan Mathilda, istrinya? Ya, aku memikirkan dia tentu saja. Tetapi baru aku rasakan, seseorang yang tengah jatuh cinta bisa memilah sedemikian rupa pikirannya. Kalau hati diibaratkan rumah, maka di rumah itu ada banyak kamar. Aku seperti itu. Di 'rumah'ku ini ada 'kamar' untuk anak-anak didikku, 'kamar' untuk Iwan sebagai personal, dan 'kamar' khusus untuk menghormati Iwan dan keluarganya.

Well, tidakkah cara berpikir demikian sungguh mengerikan? aku bertanya pada diriku. Konsep tentang hati sebagai 'rumah dengan banyak kamar' aku dapat dari Ibu Mooryati Soedibyo, bussiness woman yang terkenal itu. Tapi aku yakin, konsep tentang pria/wanita idaman lain tidak termasuk di dalamnya. Dalam artikel yang aku baca mengenai hal ini, Ibu Mooryati hendak mengatakan bahwa kita tidak perlu disetir oleh masalah. Tarulahlah masalah itu di kamarnya masing-masing di hati kita.

Ahhhh, tidak! Aku tidak mau mencomot konsep itu untuk masalah ini. Cukup satu kali saja aku pernah mengalami 'cinta bertepuk sebelah tangan' karena mencintai orang yang salah. Aku belum lupa dengan sindiran teman-temanku tentang 'keledai saja tidak mau jatuh di lubang yang sama dua kali'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun