Konsep tentang hati sebagai 'rumah dengan banyak kamar' aku dapat dari Ibu Mooryati Soedibyo, bussiness woman yang terkenal itu. Tapi aku yakin, konsep tentang pria/wanita idaman lain tidak termasuk di dalamnya.
Agustus 2007
Inilah dia!
Rumah baruku. Paviliun kecil dengan halaman luas yang asri. Tanganku tidak terlalu 'dingin' untuk mengubah benih menjadi tanaman. Makanya di rumah yang lama gersang sekali. Tetapi di sini, pohon apa saja ada. Pemilik rumah yang menanamnya. Sepetak tanah di samping teras ada tanaman jahe merah berjejer rapi. Sebelah kanannya pohon-pohon kemangi. Lalu di sudut sana ada belasan pohon tomat dan cabe rawit. Mengitari seluruh rumah ini berbaris pohon pisang dari segala jenis. Belum lagi tanaman hias yang disusun rapi di pot-pot raksasa.
Kalau anak-anak kos mau memasak, tinggal memetik sayuran yang setiap minggu pasti panen. Akupun begitu. Apa sih yang tidak ada di rumah ini? Kalau belanja, hanya membeli ikan dan bumbu dasar saja.
Pagi hari, yang aku bilang sebagai Prime time-nya bekerja, aku gunakan untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Setiap pagi antara jam 7-8 aku pasti berada di dapur ditemani Zus Jerita, induk semang alias ibu kos kami. Karena ia punya anak yang namanya Jordan, kami kerap memanggil Zus Jerita dengan sebutan "Mama Jordan". Ia jarang memasak karena sudah ada adik sepupunya yang mengerjakan tugas itu. Ia di dapur hanya untuk mengobrol denganku. Rasanya asyik sekali punya teman sebaya. Ngobrol apapun nyambung. Satu-satunya yang aku tidak tahan adalah, Zus Jerita suka sekali bergosip. Siapa saja selalu dibahas dari sudut pandang negatif.
Aku belum sadar saat itu bahwa kalau ia begitu lancar memperbincangkan orang lain kepadaku, apakah tidak demikian nantinya ia memperbicangkan diriku kepada orang lain? Aku masih euforia dan merasa nothing to loose.
Zus Jerita atau Mama Jordan rajin memberitahuku bawah ada penghuni kos sebaya kami yang harus aku kenal. Namanya Iwan Hutahuruk, ia bekerja di salah satu bank swasta di kota ini. Tanpa aku minta ia memfasilitasi pertemanan kami. Aku agak jengah sebetulnya. Tapi demi sopan santun aku hargai juga usaha ibu satu ini. Ia kerap mengatakan, 'Biasanya sesama orang Batak akrab dimanapun berada." Betul sih, tapi aku belum berniat berdekat-dekatan dengan lawan jenis, apalagi Iwan punya istri dan anak yang tinggal di Jakarta.Â
Kebetulan aku dan Iwan satu gereja. Setelah dikenalkan oleh Mama Jordan, Iwan menawariku sesekali pergi gereja sama-sama. Aku nebeng mobilnya. Untuk mencegah orang berpikir macam-macam karena kami pergi satu mobil, Iwan akan langsung memberitahu siapa saja bahwa kami satu rumah (kos). Ada yang maklum, ada juga yang tidak suka. Sekali waktu aku nebeng mobil Iwan lagi. Di halaman muka, aku berpapasan dengan Windy yang menatap kami dengan penuh curiga.Â
Cukup sudah, pikirku. Minggu depan dan minggu-minggu berikutnya aku harus berangkat sendiri saja. Tatapan aneh dari orang-orang sudah cukup memaksaku berhenti. Kalau di kota besar, aku mungkin tidak peduli dengan situasi seperti ini. Tetapi jadi berbeda kalau berada di kota kecil dimana gosip bisa cepat menjalar kemana-mana. Aku kini bukan lagi orang bebas yang tak perlu memikirkan perasaan orang lain.Â
Namun, keakraban di rumah tetap berlangsung. Pikirku, kalau teman-teman kosku bertanya-tanya kenapa aku akrab dengan Iwan, lebih mudah menjelaskannya. Aku dan mereka sering bertemu dan pada akhirnya bisa melihat bahwa orang-orang satu suku yang tinggal di perantauan umumnya lebih akrab.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!