Bag. Kedua
Mungkin Palupi takut ia akan meninggal di negeri orang meskipun ada keluarga kecilnya di sana. Anaknya satu, tapi sedang terpisah kota karena mengambil kuliah politik. Ia dan Sonia cukup dekat, hanya saja gadis itu amat mandiri. Suaminya melatih Sonia sejak bayi untuk menjadi individu yang tidak bergantung secara emosional dengan siapapun. Kamarnya terpisah sejak bayi. Dan apabila tamu Indonesia datang agak lama sedikit, Sonia balita akan melambaikan tangan tanda ia ingin punya privacy.
Â
Lalu tahu-tahu Sonia sudah dewasa. Palupi pernah bercerita kepadaku, kalau ia ingin berpisah dengan suaminya. Bukan tak cinta lagi, ia hanya merasa hampa. "Kamu enak ya, bisa tetap di Indonesia. Hujan emas di negeri orang, lebih enak hujan batu di negeri sendiri," katanya. Aku kira ada benarnya dia, eh maksudnya, pepatah itu. Palupi sejak tinggal berdua dengan Don, merasakan tarikan yang kuat akan romantisme tanah air.
Bagiku, itu sepenuhnya benar. Entah apa yang membuatku begitu terikat dengan negeri ini. Meskipun ada banyak kesempatan tinggal di luar Indonesia. Meskipun ada satu peristiwa singkat yang mungkin saja mengubah jalan hidupku, berlayar ke negeri orang. Tetapi Indonesia membuatku cinta mati padanya.
Dan aku tidak sendiri. Palupi juga. Dua tahun lalu, ia pulang ke Jakarta  untuk satu bulan saja. Waktu yang singkat itu kami puas-puaskan untuk hang out seminggu dua kali. Alin dan Donita di negaranya masing-masing. Yang kami obrolkan bukan lagi apa enaknya bersuamikan orang asing, melainkan di negara mana kami akan menghabiskan masa tua, haha.
Tapi aku sungguh tak menyangka bahwa kedatangan Palupi ke Indonesia 3 kali dalam kurun waktu dua tahun itu adalah untuk mempersiapkan dia "menikmati" masa tuanya. Usia kami berempat sudah 55 sekarang. Kali ketiga kedatangan Palupi, ia mengatakan tak akan kembali ke Amerika. Fixed, katanya. Lho? Lalu suaminya? Palupi tidak menjawab pertanyaanku. Yang terjadi malah, Palupi tinggal di rumah mendiang ibunya, lalu mengunjungi apartemenku setiap hari Jumat malam sampai Sabtu siang alias menginap, dan menitipkan ribuan arsip cerpen-cerpennya kepadaku.
Duh Palupi, apa-apaan ini?
Aku protes ketika Palupi menyerahkan hardisk eksternal 1 terra berisikan seluruh tulisannya. Tapi ia bergeming. "Carikan penerbit untuk cerpen-cerpenku ya? Kalau perlu, kamu yang jadi editornya. Kalau ada yang laku, 40 persen keuntungan buatmu. Sisanya baru kamu transfer ke rekening ku." Aku hanya melongo demi mendengar permintaan Palupi. Kenapa bukan dia sendiri sih yang berurusan dengan penerbit? Karya-karya Palupi sudah mendunia. Penerbit mana yang tidak kenal dia? Sutradara film mana yang tega menolak ide cerita darinya? Fiksi milik Palupi selalu menarik buat pembaca setianya. Tentu saja, sebab ia hanya menulis satu cerita panjang dalam setahun dan beberapa fiksi pendek dimana perlu. Temanya beragam, beberapa di antaranya seperti dokumentasi perjalanan hidupnya. Kalian tahu? Palupi pernah menulis beberapa cerita pendek tentang kepedihan hatinya memiliki anak perempuan yang tidak membutuhkan kehadirannya?
Setelah berdebat panjang, akhirnya aku menerima permintaannya. Baru satu penerbit yang kuhubungi, sudah meminta kontrak eksklusif. Sekarang ini perfilman Indonesia sedang bangkit. Tentu dibutuhkan cerita-cerita yang berkualitas. Waktu aku mendiskusikan masalah ini kepada Palupi, ia hanya menjawab, "Terserah kamu. Aturlah." Gila nih si Palupi.
Akhirnya aku minta bantuan Alin dan Donita beserta suami masing-masing untuk mengelola proyek ini. Mungkin kalian bertanya, mengapa tidak melibatkan suami Palupi? Pasti bertanya. Biar kujawab. Sejak awal Palupi terang-terangan bilang tidak ingin melibatkan suaminya. Dan kami menghormati privacynya.
Ketika proyek pertama sedang berjalan, Alin dan Donita minus Mark dan Arthur, ada di Jakarta. Para suami itu sedang ada pekerjaan. Di proyek kedua barulah mereka datang. Duh, senangnya kwartet burung pipit berkumpul lagi. Naskah milik Palupi dibeli oleh salah satu pemilik rumah produksi untuk pembuatan film web series. Harganya lumayan fantastis. Yah, setidaknya menurutku yang sempat jadi pengangguran kelas menengah, hihi.