Â
Belakangan aku diberitahu Neni, ternyata pasar tradisional
yang murah itu milik perorangan. Gila. Apa ini namanya, Ren?
Terimakasih ya sudah mengirimiku modem dan selimut cantik buatanmu. Modem memang sangat kubutuhkan, karena di sini tidak banyak tempat yang terpasang wifi. Mungkin sudah banyak, tapi di tempat-tempat nongkrong anak muda. Sementara tempat tinggalku jauh dari tempat-tempat seperti itu. Selimut juga akan kubutuhkan suatu saat. Sekarang masih musim kemarau. Panasnya minta ampun, Ren. Aku cepat lelah jadinya. Sesuka-sukanya aku pada suhu yang hangat ketimbang dingin, tapi kalau sudah panas seperti ini .... Hufff, aku bakal jadi seperti orang pesisir tak lama lagi.
Aku melewati perjalanan yang nyaman. Aman lebih tepatnya. Hanya selang beberapa hari saja sebelum peristiwa jatuhnya pesawat dari airlane yang sama dengan yang kutumpangi. Di atas, belum banyak turbulensi.
Kau tahu nggak Ren, ketika pesawat mendarat pukul 10 pagi itu, dadaku berdesir. Merasakan sensasi aneh setelah 3 tahun meninggalkan kota ini. Mirip waktu kamu bertemu si Mas Joko setelah 2 bulan tidak bertemu. Seru bagaimanaaa, gitu haha. Tak lama lagi aku akan makan ikan, yeaaay.
Tapi sekarang malah harus kubatasi karena tensiku naik. Tapi kalau pisang, jalan terus. Bagaimana tidak? Di jakarta pisang yang imut-imut dan nggak enak itu paling murah 10 ribu harganya. Sedangkan di sini masih ada yang 5000 ukuran sedang. Aku bisa menyimpannya untuk 3 hari. Kalau mau yang lebih banyak, beli saja pisang yang sudah dipreteli. Jumlahnya banyak sekali untuk harga 10 ribu. Kalau aku tidak ingat bahaya kelebihan kalium, aku bisa makan hanya dengan pisang saja setiap hari. Kalau jeruk, bagaimana? Huh, sudah mahal. Dulu sekilo masih 3 ribu, malah ada yang 2 ribu. Sekarang sudah 8-10 ribu. Mungkin karena minuman Es Jeruk yang booming di Jawa itu menular ke sini. Di mana-mana banyak penjual es jeruk.
Eh, tapi rasanya sih sudah tak lagi perbedaan antara suasana kota di Jawa dan di luar Jawa. Hanya topografi kotanya saja yang masih berbeda. Di Jakarta, ruas jalan relatif simetris. Jalananpun rata. Kalau di sini, konturnya turun naik. Teman si Riviel yang dari Jakarta, pernah dengan pedenya mengendarai motor kebut-kebutan. Tak lama dia jatuh dan ditertawai Riviel. Kata dia kepada temannya, "Bro, ini bukan di Jakarta. Sini aku saja yang bawa motor." Memang ya, orang-orang kota itu suka sok-sokan deh. Aku juga dulu begitu waktu baru datang J.
Hari pertama aku jalan-jalan di sepanjang Teluk. Pagi dan malam. Tidak ada yang berbeda dengan ketika kutinggali 3 tahun yang lalu. Tetapi perasaanku kini berbeda. Mau aku buatan ibaratnya? Ibarat dua orang memadu kasih, lalu putus karena bosan. Kemudian bertemu kembali, dan CLBK. Mereka jatuh cinta lagi kepada orang yang sama. Ya, aku memang jatuh cinta lagi kepada kota yang sama. Hanya saja, kali ini aku tidak bisa lagi mencintai tanpa beban seperti dulu. Aku harus ingat bahwa ibuku sudah tua dan tetap menunggu kapan aku segera pulang dan jangan balik lagi ke sini.
Hari berikutnya aku bernostalgia ke pasar dekat rumah. Sama, tidak ada yang berubah. Pasar ini dibangun dengan biaya apbd, melingkupi bangunan dan pemakaian cuma-cuma untuk pedagangnya. Maka ketika pemkot memungut biaya sewa yang dianggap tinggi, para pedagang protes. Mereka mengadu ke LBH dan LBH kemudian mendampingi mereka untuk mengajukan keberatan. Aku sempat membaca spanduknya terpampang di sudut-sudut lingkungan pasar.