DAN YANG TAK FASIH BAHASA CINTA
Meski tidak anti dengan perayaan yang satu ini, saya jarang merayakan valentine. Mungkin karena sudah terlalu banyak momentum di sepanjang tahun berjalan yang dapat dijadikan sarana mengungkapkan kasih sayang kepada orang lain. Mulai dari hari ulang tahun, perayaan-perayaan agama, hari-hari khusus untuk ayah, ibu, dan lain-ain. Tetapi meski demikian, saya punya beberapa kenangan di hari valentine yang kurang mengenakkan.
Tamu Gelap
Pertama, waktu saya masih SMA kelas dua.Layakya anak SMA, saya senang sekali berkelompok atau terlibat dalam genk (geng) pertemanan. Teman-teman satu geng saya berencana membuat acara spesial valentine a la anak SMA waktu itu. Tukar kado termasuk di dalamnya (kalau ini masih dipertahankan sampai sekarang).
Kami sepakat melaksanakan pesta di rumah teman kami, Amanda. Kebetulan, ia yang paling berada di antara kami. Selain kesepakatan bersama, ibunya juga memang mengundang kami secara khusus beracara di rumahnya. Tak terbayangkanlah sibuknya kami hari-hari menjelang pesta. Dress code-nya adalah baju pink untuk cewek dan baju biru untuk cowok. Setahu saya, acara ini eksklusif, hanya untuk teman-teman satu geng. Ada dua kelas sih, tetapi tidak semua ikut. Jumlah kami sekitar 30 orang. Bersyukurlah kami yang hidup di era itu, meski jenis acara ini pesta dan temanya kasih sayang, orangtua kami masing-masing mengizinkan. Lagipula, ada mamanya Amanda. Acaranya pun dilaksanakan hanya sampai jam 9 malam.
Tibalah mata acara pertama;sepatu cinderella. Duh, ternyata jayus banget ya kami ini:-). Kalau acara sejenis dibuat di era sekarang pasti akan jadi bahan tertawaan. Di sini, para cewek duduk manis di sofa sebelah kiri dan menunggu para cowok memasuki ruangan untuk memilih sepatu mana yang akan mereka cari pemiliknya. Kalau sudah ketemu, si pemilik sepatu itulah pasangan dia malam ini. Haha, aduh norak deh:-)
Ketika menyaksikan teman-teman cowok memilih sepatu, ada yang sangat lucu dalam pemandangan saya. Ternyata, mereka senang dengan sepatu yang mungil dan imut-imut. Cowok-cowok itu saling berebutan mendapatkan sepatu berukuran kecil. Sekali waktu Doni yang datang terlambat sudah kehabisan sepati imut.
Yang tersisa hanya sepatu vantovel besar dengan hak (heels) lumayan tinggi serta beberapa sepatu teplek model sepatu sandal. Ketika dia mengambil vantovel besar itu, spontan dilemparnya sambil menunjukkan mimik geli. Kami para cewek yang melihat hanya tertawa-tawa. Tapi tak berani bertanya 'sepatu siapa itu?'. Manatahu si pemilik sepatu sudah mangkel dalam hatinya karena merasa terhina:-).
Akhirnya, pemilihan sepatu usai. Ketika dicocokkan dengan pemiliknya, kami lebih geli lagi. Ternyata, tidak semua pemilik sepatu yang imut itu orangnya imut juga. Malah ada yang sepatunya nomor 40-an, ternyata itu milik Adenia, teman kami yang cantik, langsing dan tinggi semampai, dan fasih 3 bahasa asing. 'Pemungut' sepatunya itu Agusto, teman kami yang super phlegmatis dan sama sekali tidak populer. Dia memang santai habis dan kurang agresif mengambil sepatu imut. Waktu dia tahu sepatu besar itu punya Adenia, wajahnya merah sekali. Rasanya hanya saya yang menyaksikan Gusto memperoleh sepatu besar itu.Â
Teman-teman yang lain terbawa suasana riuh ketika masing-masing menemukan pesangannya lewat sepatu.
Sayang, di acara itu ada sedikit cacatnya. Tak lama setelah segmen 'pilih sepatu cinderella' usai dan akan masuk ke segmen tukar kado, tiba-tiba sekelompok cowok masuk ke ruangan. Ternyata mereka adalah teman-teman Amanda. Amanda kemudian memperkenalkan mereka satu persatu dan minta izin untuk ikut merayakan valentine bersama kami. Entah kenapa, para cewek langsung setuju, dan (tentu saja!) cowok-cowok sohib kami bersikap sebaliknya. Hanya selang 5 menit, satu persatu mereka keluar ruangan, duduk di teras. Jadilah yang bertukar kado hanya para cewek dan teman-temannya Amanda.
Salah satu dari kami berinisiatif memanggil Riko, dkk, yang ada di teras. Tapi mereka tidak mau. Ya sudah, kami pun melanjutkan acara. Sampai acara selesai, kami masih belum tahu kalau Riko, sangat jengkel dengan acara valentine yang tidak fair itu.
Esoknya di sekolah, saya dan teman-teman sibuk membahas acara semalam. Mulai dari sepatu-sepatu cinderella sampai dengan acara tukar kado yang kurang sempurna karena para cowok yang ngambek.
Kami protes, kenapa mereka keluar ruangan dan pulang duluan. Arman menjawab, "Gila aja kalian semua. Jelas aja kami ngabeklah. Kenapa sih acara yang udah kita siapin mateng-mateng pake diganggu sama orang lain?"
Yang dimaksud Arman dengan 'orang lain' adalah teman-temannya Amanda. Iya sih, betul juga. Kami akhirnya sadar bahwa Riko, Arman dan teman-teman cowok kami yang lain merasa tak nyaman karena ada 'rival' mereka. Tetapi karena Amanda yang mengudang acara di rumahnya, kami nggak bisa protes. Soalnya sebagian fasilitas disiapkan oleh dia dan ibunya. Yaaah, serba salah deh. Tapi buat saya pribadi, tidak ingin mengulang kesalahan yang sama; menukar persahabatan dengan fasilitas atau yang lainnya. Untunglah itu terjadi pada saat pertemanan kami sudah cukup solid dan setahun lagi kami akan berpisah karena lulus SMA.
Kado dari Batu
Bertahun-tahun kemudian, saya tidak lagi menjadikan valentine sebagai sesuatu yang sakrat-sakral amat. Apalagi momen ini sering dijadikan sebagai sarana penobatan Ratu ini Raja itu, Pangeran ini, dan Putri itu. Ketika penobatan umumnya diberikan kepada mereka yang supel, cantik, dan populer. Sangat tidak adil bagi mareka yang pada dasarnya sulit bergaul, kurang supel, dan tidak populer. Saya menyaksikan bagaimana murungnya seorang remaja putri ketika menyaksikan teman-temannya yang cantik menjadi langganan Ratu dan Pengeran Valentine di sekolanya.