Perayaan bukanlah candu bagi masyarakat untuk melupakan penderitaannya. Melainkan melaluinya masyarakat dapat secara otentik mengenang apa yang telah terjadi dalam hidupnya dan kemudian menghayati dengan penekanan-penekanan baru (Theo Sundermeier).
Natal di kota ini seumpama perayaan bagi semua orang. Aku takjub ketika rekan-rekanku di sekolah --yang tidak merayakan Natal---mengingatkan Ibu Agnes bahwa mereka akan datang menghabiskan kue-kue natal. Ibu Agnes mengangguk penuh semangat. "Menghabiskan kue" hanya istilah belaka. Maksud sesungguhnya adalah bersilaturahmi. Dan hati saya tergetar ketika menyaksikan gairah para ibu --yang sebagian besar bekerudung-- itu untuk berkunjung natalan.
Bagi masyarakat di sini, baik natal maupun idul fitri adalah kebahagiaan bertetangga dan bersaudara meski berbeda keyakinan. Serius, ini bukan basa-basi lho. Itu sebabnya aku senang bisa menjadi bagian dari masyarakat yang begitu komunal di sini. Tidak seperti di kota lain yang pernah kutinggali, di sini kami hidup berdampingan selaras. Setidaknya itu yang kurasakan sejak 13 tahun yang lalu.
Sebagai pendatang, aku berusaha menyesuaikan diri sebaik mungkin. Termasuk bersikap hati-hati ketika berbincang soal-soal agama. Tapi apa yang kutemui, Â justru kawan-kawan di sini yang tanpa beban berbicara tentang keyakinan masing-masing; asalkan tidak saling membenturkan satu sama lain.
Di acara-acara talk show radio, para pendengar tak sungkan janjian mau hari apa dan jam berapa berkunjung Natal. Begitu pula ketika Lebaran; kami dibuat sibuk dengan jadwal dan bersiap-siap membawa kue natal atau kue Lebaran.
Aku takjub.
Pada apa? Pada kebutuhan orang-orang untuk menikmati perayaaan, dengan kadarnya masing-masing. Sebetulnya, aku tidak asing dengan tradisi semacam ini. Ketika melewati masa kanak-kanak, keluarga kami yang Kristen tinggal di kota yang mayoritas masyarakatnya muslim. Tetapi kebiasaan atau tradisi merayakan hari raya keagaaman berjalan sangat natural. Meski belum memahami betul apa makna perayaan tersebut, hati kami hangat oleh keriuhan acara-acara itu.
Aku masih ingat ketika masih kecil, setiap kali akan merayakan Natal atau Paskah, rumah kami pasti dicat ulang. Dapur juga selalu ramai oleh orang-orang yang memasak macam-macam makanan. Kemudian para tetangga akan berdatangan. Begitu pula saat Lebaran tiba, kami sekeluarga ikut 'ramai'. Minimal menanti hantaran tibaJ dan mempersiapkan diri berkunjung ke rumah tetangga.
Menjelang Natal, satu bulan sebelumnya Mama sudah sibuk berbelanja. Dua minggu sebelum hari H, rumah dicat di semua bagiannya. Satu minggu mendekati Natal, semua kue sudah siap. Baju dan sepatu baru juga. Dan semakin mendekat harinya, di rumah dan suasana hati kami semakin semarak. Oh, senangnya. Apalagi kemudian disambung dengan persiapan menyambut Tahun Baru.
Ketika aku SMP, atas inisiatif guru bahasa Indonesia kami --Pak Budi namanya-- aku mengundang teman-teman sekolah untuk datang ke rumah pada saat Natal. Katanya, supaya teman-teman turut merasakan kesyahduan Natal dan agar kami juga memiliki kebersamaan.
Oh, betapa senangnya. Sejak tanggal 10 Desember Pak Budi mengumumkan bahwa nanti, pada tanggal 26 Desember sore, kita akan berkunjung ke rumah Emma untuk natalan. "Siapkan kue-kuenya ya?" canda Pak Budi.
Merayakan Perayaan
Mengapa aku rindu perayaan-perayaan, mungkin karena pada dasarnya kultur masyarakat Indonesia kental dengan selebrasi. Theo Sundermeier, seorang teolog asal Jerman mengatakan bahwa pesta atau perayaan bersama merupakan salah satu karakteristik dari suatu kondisi yang harmonis dari masyarakat negara berkembang seperti di Asia termasuk Indonesia.
Gambaran ini ditemukan oleh Sundermeier melalui interaksinya dengan berbagai budaya di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dalam waktu yang lama dan intensif. Kata kunci dari karakteristik tersebut adalah 'saling'; dimana terdapat hubungan yang saling menguntungkan di antara komunitas atau suatu masyarakat.
Tetapi perayaan-perayaan di sini bukanlah candu bagi masyarakat untuk melupakan penderitaannya, melainkan melaluinya masyarakat dapat secara otentik mengenang apa yang telah terjadi dalam hidupnya dan kemudian menghayati dengan penekanan-penekanan baru.
Dalam sebuah perayaan semua orang ikut terlibat dan masing-masing melakukan sesuatu sesuai dengan kompetensinya untuk mendukung perayaan itu. Perbedaan yang dimiliki setiap orang tidak menjadi persoalan yang sampai merusak tujuan perayaan bersama. Perayaan seperti ini berfungsi sebagai sebuah jalan dimana setiap orang mengambil bagian di dalamnya, menjamin tetap adanya kontinuitas di tengah-tengah diskontinuitas, tersedianya jembatan yang dapat mendekatkan mereka dan dapat memahami perbedaan-perbedaan yang ada, serta proses kreatif dan otentik yang memunculkan hal-hal baru yang mencerminkan ekspresi dan sekaligus memenuhi kebutuhan mereka. Kemudian ada kerinduan untuk mengalami perayaan itu lagi dan 'keramah-tamahan' sebagai dasar utamanya. Demikian kata Pak Theo Sundermeier.
Pak Sundermeier sih tidak menjelaskan, apakah perayaan itu berkaitan dengan keunikan dari salah satu atau beberapa budaya pada masyarakat tertentu. Di sini, aku hidup di tengah-tengah masyarakat yang menomorsatukan ikatan kekeluargaan melebihi ikatan pernikahan. Salah satu sesepuhnya pernah mengatakan kepadaku bahwa jika ikatan kekeluargaan itu bisa diibaratkan seutas tali, maka tali itu akan menyambung di masing-masing ujungnya. Sebaliknya, dalam ikatan pernikahan, tali masih bisa terputus.
Gambaran mengenai kuatnya ikatan kekeluargaan ini juga mereka samakan dengan mata hitam dan mata putih yang tidak mungkin terpisah. Begitu menyatu. Mungkin itu sebabnya, di kotaku ini, orang tidak mudah diprovokasi oleh sesuatu yang bercirikan keagamaan. Atau ringkasnya, cukup sulit bagi masyarakat di daratan provinsi ini untuk dipolitisasi atas nama agama. Apalagi kalau berniat memecah-belah. Sepertinya mustahil. Karena, dalam ikatan keluarga bisa ada dau atau lebih penganut agama yang berbeda.
Hmm ... rindu sekali bisa kembali terlibat dalam perayaan. Selamat merayakan Natal dan perayaan-perayaan berikutnya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H