Merayakan Perayaan
Mengapa aku rindu perayaan-perayaan, mungkin karena pada dasarnya kultur masyarakat Indonesia kental dengan selebrasi. Theo Sundermeier, seorang teolog asal Jerman mengatakan bahwa pesta atau perayaan bersama merupakan salah satu karakteristik dari suatu kondisi yang harmonis dari masyarakat negara berkembang seperti di Asia termasuk Indonesia.
Gambaran ini ditemukan oleh Sundermeier melalui interaksinya dengan berbagai budaya di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dalam waktu yang lama dan intensif. Kata kunci dari karakteristik tersebut adalah 'saling'; dimana terdapat hubungan yang saling menguntungkan di antara komunitas atau suatu masyarakat.
Tetapi perayaan-perayaan di sini bukanlah candu bagi masyarakat untuk melupakan penderitaannya, melainkan melaluinya masyarakat dapat secara otentik mengenang apa yang telah terjadi dalam hidupnya dan kemudian menghayati dengan penekanan-penekanan baru.
Dalam sebuah perayaan semua orang ikut terlibat dan masing-masing melakukan sesuatu sesuai dengan kompetensinya untuk mendukung perayaan itu. Perbedaan yang dimiliki setiap orang tidak menjadi persoalan yang sampai merusak tujuan perayaan bersama. Perayaan seperti ini berfungsi sebagai sebuah jalan dimana setiap orang mengambil bagian di dalamnya, menjamin tetap adanya kontinuitas di tengah-tengah diskontinuitas, tersedianya jembatan yang dapat mendekatkan mereka dan dapat memahami perbedaan-perbedaan yang ada, serta proses kreatif dan otentik yang memunculkan hal-hal baru yang mencerminkan ekspresi dan sekaligus memenuhi kebutuhan mereka. Kemudian ada kerinduan untuk mengalami perayaan itu lagi dan 'keramah-tamahan' sebagai dasar utamanya. Demikian kata Pak Theo Sundermeier.
Pak Sundermeier sih tidak menjelaskan, apakah perayaan itu berkaitan dengan keunikan dari salah satu atau beberapa budaya pada masyarakat tertentu. Di sini, aku hidup di tengah-tengah masyarakat yang menomorsatukan ikatan kekeluargaan melebihi ikatan pernikahan. Salah satu sesepuhnya pernah mengatakan kepadaku bahwa jika ikatan kekeluargaan itu bisa diibaratkan seutas tali, maka tali itu akan menyambung di masing-masing ujungnya. Sebaliknya, dalam ikatan pernikahan, tali masih bisa terputus.
Gambaran mengenai kuatnya ikatan kekeluargaan ini juga mereka samakan dengan mata hitam dan mata putih yang tidak mungkin terpisah. Begitu menyatu. Mungkin itu sebabnya, di kotaku ini, orang tidak mudah diprovokasi oleh sesuatu yang bercirikan keagamaan. Atau ringkasnya, cukup sulit bagi masyarakat di daratan provinsi ini untuk dipolitisasi atas nama agama. Apalagi kalau berniat memecah-belah. Sepertinya mustahil. Karena, dalam ikatan keluarga bisa ada dau atau lebih penganut agama yang berbeda.
Hmm ... rindu sekali bisa kembali terlibat dalam perayaan. Selamat merayakan Natal dan perayaan-perayaan berikutnya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H