Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kita Tidak Pernah Kehilangan Romantika di Sini

5 Januari 2018   00:46 Diperbarui: 5 Januari 2018   14:49 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dan kalau engkau kembali bertanya, 'apakah ini merupakan antitesa dari segala macam prinsip yang engkau genggam kuat-kuat tentang seperti apa suami yang engkau cari? Sebab, selama ini tidak ada gambaran sama sekali tentang lelaki perokok duda beranak tiga yang bekerja di pasar induk sambil mengojek sebagai suamimu'; aku akan berkata hal yang sama, aku sulit menjelaskannya ...

Nanda, betul katamu, romantika tidak selalu ditentukan oleh suasana. Ia pun bisa hadir ketika bersama orang yang dekat di hati. Tentu kau pernah mendengar ceritaku yang berulang-ulang itu, kisah rayuan Pedro yang mengatakan bahwa sepanjang hidupnya ia hanya mau menyenangkan istrinya. Tentu saja yang ia maksud saat itu adalah aku. 

Aku yang sedang ragu, apakah jalinan kasih kami akan berlanjut atau buntu. Engkau juga sudah sering mendengar kelanjutannya; Pedro menyakinkanku dengan mantap bahwa asal aku mau menunggu setahun saja, kami akan segera memulai hidup baru. Sumpah Nanda, aku tidak akan pernah melupakan yang dijanjikan Pedro padaku, "Tina, sabarlah. Tunggu setahun saja." Ya, aku mau menungu dia. Anggaplah setahun itu satu malam, aku mencoba menghibur diri sendiri. Dan engkau bilang bahwa inilah mantra paling gombal yang pernah engkau dengar.

Di tepi sungai di jalan Angsa, Pedro mengatakan dengan lembut kalau ia akan sesering mungkin memeluk diriku kelak setelah kami menikah. Duh, siapakah yang tak berdebar-debar mendengarnya? Terserahlah kalau Pedro mengutip kalimat itu dari postingan-postingan gombal di media sosial. Lalu kami pulang. Ia mengingatkan bahwa jam 9 malam bis ke arah rumahku mungkin sudah mulai jarang. Jadi, aku harus segera pulang. Pedro mewanti-wanti agar aku jangan naik taksi. Mahal, katanya. Lihatlah, dia sudah mulai mengajariku hidup hemat. Bahagia sekali malam itu aku, Nanda.

Namun hanya selang 6 bulan, aku tidak lagi mendapatkan romantika yang selalu aku nantikan dari dia. Ia semakin sulit kuhubungi. Ia memang sempat sesekali membalas pesanku atau menjawab panggilan teleponku. Tapi dengan nada biasa saja, seolah kami baru kenal dua hari. Ada apa dengan Pedro, keluhku padamu waktu itu. Dan engkau cuma bisa menghiburku, 'mungkin dia sibuk.' Tapi aku tak percaya. Masa sih sibuk sudah berbulan-bulan? Maafkan aku Nanda kalau aku jengkel sehingga tidak meresponi dengan baik nasihatmu malam itu. 

Aku masih terbawa emosi. Jingga tanpa tedeng aling-aling mengatakan kalau Pedro sedang sibuk mempersiapkan acara lamaran untuk calon istrinya. Sebalnya, Jingga tidak menyebutkan kalau calon istrinya itu aku. Dia menduga, calon istrinya adalah Nova, perempuan cantik yang dijodohkan ibunya untuk dia. Mana bisa aku tenang dan tetap sabar, Nanda? 

Maka, atas inisiatifmu sendiri engkau mencari tahu dengan seksama keadaan Pedro. Engkau tidak sayang dengan 2,5 juta rupiah yang harus kau keluarkan untuk tiket dan penginapan selama engkau pergi ke kampung halaman Pedro. Aku memang akan mengganti uang perjalanan itu Nanda, yang sampai kini belum bisa juga kurealisasikan. Aku sungguh berhutang padamu. Bukan hanya uang perjalanan, juga kesabaran dan simpatimu.

Pulang menengok Pedro, engkau memberi kabar mengejutkan; dugaan Jingga itu benar adanya. Aku lunglai saat itu dan engkau kepayahan menahan tubuhku yang nyaris jatuh. Aku tak sanggup menangis. Tubuhkulah yang meratap didera kesedihan. Air mata hanya sekali jatuh ketika di suatu malam Pedro mengiba meminta maaf. 

Tapi ia sudah tahu, aku tidak akan pernah sanggup membalas sakit hatiku. Aku belajar melupakan Pedro, tapi tidak dengan kenangan dan romantika yang ia ciptakan di tepi sungai malam itu. Duduk berdua, membiarkan ribuan kata saling bertukar rasa seraya menikmati riak air di tengah keriuhan suara manusia ibukota yang selalu terjaga. Lalu lambaian tangannya saat mengantarku ke perhentian bis menuju rumahku. Benakku terus melekat pada romantika itu, Nanda.

Lalu engkau tampaknya mulai bosan ketika aku terus berdalih. Bahwa apapun yang diungkapkan dari hati paling dalam tidak akan lekang oleh waktu. Katamu, "Kamu berlebihan, Tina. Orang seperti Pedro yang tidak bisa dipercaya kamu jadikan patron untuk masalah romantika percintaan." Ada rasa perih di ulu hati ketika engkau mengatakan hal itu. Ya, Pedro mungkin memang tidak bisa dipercaya. Aku mencoba menerima 'kebenaran' itu karena bertahun-tahun setelah itu aku terpuruk dalam kenangan tanpa arah, lebih lama dari usia percintaan kami sendiri.

***

Tetapi Nanda, tahukah engkau mengapa sekarang aku menyuratimu? Setelah empat  tahun menghilang dan tidak memberi setitik pun kabar kepadamu kecuali undangan (yang hilang) itu. Bukan karena engkau telah menemukan tambatan hati. Aku ikut bahagia engkau mendapatkan Mayesti. Aku menghilang supaya bayang-bayang Pedro tak lagi berkelebat dalam ingatanku. Engkau bukan, yang memperkenalkan Pedro kepadaku? Engkau juga yang menjadi kambing congek atau ... apa itu istilahnya? Obat nyamuk ya, haha ... kalau aku dan Pedro sedang ingin jalan-jalan. Dan engkau pula, hai sahabat sejatiku, yang memberi telinga dan empati terdalam ketika Pedro pergi dariku.

Engkau lelaki yang sangat baik hati. Tetapi bertemu terus denganmu seperti membawaku pada sosok Pedro tanpa henti. Nanda, kehadiranmu akan terus mengingatkan aku tentang Pedro. Jadi, aku menyingkir dulu darimu sampai aku siap kembali bertemu.

Sekarang aku sudah siap menjumpaimu dan ingin becerita tentang Roman, suamiku. Engkau mungkin sudah tahu dari Jingga dan Bram kalau setahun lalu aku menikah dengan duda beranak tiga itu. Ah, kamu pasti tertawa mendengarnya. Sejak kapan aku menyukai duda. Dia juga bukan lelaki yang romantis seperti Pedro. Ehm, aku tidak bermaksud membandingkan mereka. Kau tahu apa pekerjaan dia Nanda? Pasti engkau terkejut. Dia sehari-hari mengojek di sekitar rumah kami di Cijantung sampai ke Pasar Induk. Selain mengojek, Roman juga menyewa satu lapak di pasar induk untuk menjual berbagai jenis sayuran. Lapaknya bersebelahan dengan lapak milik kakaknya. Hanya saja, jenis barang dagangan mereka berbeda.

Kalau suamiku sedang mengojek dari pagi sampai siang, ia akan mengupah seorang karyawan untuk menjaga dagangannya. Uang hasil penjualan dipegang kakaknya. Menjelang sore, ketika lapak akan tutup, Roman menerima hasil penjualan hari itu. Ia menggabung uang jualan dengan hasil mengojek untuk diserahkan kepadaku. Aku bangga karena hasil pekerjaan dia cukup untuk menghidupi seorang istri dan 3 anak serta menyantuni komunitas anak jalanan yang ia rintis sejak 5 tahun lalu. Sementara di rumah, aku mengelola toko kelontong yang baru aku buka sejak kami menikah.

Engkau pasti bingung, bagaimana bisa perempuan karir sepertiku, mau berjualan barang-barang kelontong dan bersuamikan tukang ojek. Ditambah satu lagi, Roman itu merokok. Aku kan anti lelaki perokok? Ya, Roman memang perokok berat. Dulunya. Sekarang ia sedang menjalani terapi berhenti merokok, setelah kami rutin mengunjungi klinik berhenti merokok. Aku bukan hanya menemaninya ke klinik. Aku juga setiap pagi berlutut, berdoa agar Tuhan mematikan keinginan suamiku untuk merokok.

 Kalau di dalam pikiran suamiku tersimpan sebongkah keinginan untuk menghisap 400 zat beracun itu, aku berharap setiap pagi lapisan bongkahan itu terkikis satu-persatu sampai hilang tak berbekas. Aku tetap percaya kekuatan doa, Nanda. Aku tak bisa mengontrol suamiku, terutama di luar rumah, sudah berapa batang atau bungkus rokok yang ia habiskan. Kepada Tuhanlah aku berharap agar pikiran suamiku terkendali soal rokok. Tapi di rumah, apalagi di depan anak-anak, aku tidak menoleransi sedikitpun ia merokok.

Kalau engkau bertanya, 'bagaimana bisa jalan hidupmu seperti ini, Tina sahabatku?'; aku sulit menjelaskan. Kalau engkau bertanya lagi, 'apakah karena hatimu terlalu sakit ditinggalkan Pedro?'; aku juga tetap sulit menjelaskan. Dan kalau engkau kembali bertanya, 'apakah ini antitesa dari segala macam prinsip yang engkau genggam kuat-kuat tentang seperti apa suami yang engkau cari? Sebab, selama ini tidak ada gambaran sama sekali tentang lelaki perokok duda beranak tiga yang bekerja di pasar induk sambil mengojek sebagai suamimu'; aku akan berkata hal yang sama, aku sulit menjelaskannya, Nanda.

Tapi baiklah. Aku ceritakan kisah pertemuan kami. Roman itu sejatinya seorang penyair. Ia sudah menulis banyak puisi yang dikoleksi dalam beberapa buku. Nah, aku bertemu Roman ketika Posma, tetanggaku mengajaku ke acara temu sastra di Taman Ismail Marzuki. Banyak terpajang buku karya para sastrawan dan penulis yang terlibat di acara tersebut. Karena tertarik beberapa judul, aku membelinya, termasuk buku-buku kumpulan puisi milik dia. 

Rupanya Roman tahu kalau aku memborong buku-bukunya. Lalu ia menawarkan diri menandatangani buku-bukunya yang aku beli. Kemudian ia memberiku kartu nama. Tetapi aku sendiri tidak memberinya nomor telepon. Aku belum tahu kegunaannya. Inilah awal pertemuan kami. Bagiku, peristiwa itu tidak romantis sama sekali. Aku sudah sering mengunjungi acara temu ini dan itu, dan berkenalan dengan tokoh atau narasumber yang terlibat dalam acara itu.

Selang dua hari ia meneleponku. Ia mengajak bertemu di suatu tempat. Hmmm, dari mana ia tahu nomor teleponku? Ternyata dari Posma. Karena itu aku mengajak Posma ikut dengan kami. Tapi lama-lama Posma bosan dan mengatakan kalau aku tidak suka dengan Roman, jangan diterima lagi ajakannya.

Aku menerima saran Posma. Kami pun menghentikan pertemuan-pertemuan kami. Sebagai gantinya, kami bercakap-cakap di media sosial. Tak dinyana, media sosial justru mempererat pertemanan kami. Atau lebih tepatnya, mendekatkan ikatan emosional kami.

Hubungan kami tidak penuh dengan rencana-rencana. Biasa saja. Tapi ia membuatku terkejut dengan kunjungannya ke rumah orangtuaku sambil membawa ketiga anaknya. Aku tidak tahu ia ke sana. Sepupuku yang memberitahu kalau minggu lalu ada "teman kak Tina" datang berkenalan dengan keluargaku. Sambutan Mama Papaku sangat baik dan kata mereka, kalau bisa segera saja ditentukan tanggalnya.

Ingin rasanya aku mengacak-acak rambutnya, Nanda. Pasti langsung kribo. Ia tanpa izinku, langsung menemui orangtuaku. Dan karena Roman pandai mengambil hati, keluarga kami menerima tanpa ragu. Pikirku tadinya, aku bakal membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mempertimbangkan 'lamaran' Roman. Ternyata tidak, aku hanya butuh 3 minggu saja untuk menerima dia. Maka persiapan pernikahanpun segera dilaksanakan. Aku rasa, inilah pengalaman paling gila yang pernah ada. Roman tidak pernah menyatakan cinta, bahkan menanyakan apakah aku keberatan menikah dengan dudapun tidak. Ia sok yakin betul untuk bisa menikah denganku.

Tiga bulan kemudian, tepat dua minggu setelah Pedro kehilangan istrinya, aku dan Roman mengikat janji pernikahan. Katamu, Pedro ada di kota ini ya? Sungguh, aku tidak tahu dan bukan salahku kalau aku tidak mengundangnya. Untukmu, aku sempat menitipkan undangan via Gloria waktu dia akan berangkat ke Amerika. Aku mengerti,   kalian tidak mungkin datang ke pesta kami. Tetapi baru kudengar kalau undanganku tidak pernah sampai ke tanganmu. Entah apa sebabnya, aku belum tahu sampai hari ini.

Well Nanda, kami menjalani kehidupan pernikahan mengalir saja. Setiap pagi aku selalu berdoa untuknya dan anak-anak kami. Aku tidak berusaha mengubah apapun. Tetapi aku merasakan romantika di dalam hubungan kami. Roman tidak sepuitis puisi-puisinya. Dia biasa saja kalau berbicara denganku. Tetapi kami menikmati saat-saat ia mengantar Judika dan Angel ke sekolah, sementara si bungsu di rumah bersamaku. Romansa yang sama aku rasakan ketika sorenya aku ke pasar induk untuk membantu pekerjaan suamiku membereskan lapaknya. 

Atau ketika bercengkerama dengan saudara ipar yang sama-sama menjaga lapak di pasar. Aku merasakan romantika yang jauh lebih dalam ketika memeluk pinggangnya erat-erat saat berboncengan dari dan menuju rumah kami. Tak peduli dengan bau keringat. Di rumah, anak-anak sudah mandi dan rapi, karena kami melatih Judika untuk membantu kedua adiknya. Lalu aku memasak dan tepat pukul 18.30 kami sudah duduk di meja makan, menikmati makan malam kami. Judika dan Angel lebih senang belajar sendiri. Aku berduaan dengan Roman  di beranda, asyik mengobrol apa saja.

Menjelang tengah malam aku akan pamit tidur dan ia pamit begadang untuk menulis puisi-puisinya. Pagi aku bangun duluan sambil mempersiapkan Kitab Suci untuk 'sarapan pagi'nya. Tidak ada kata-kata romantis dan rayuan gombal yang keluar dari bibirnya. Juga tidak ada aliran air sungai di hadapan kami. Kami hanya berbincang biasa, berbincang apa saja. Tapi kami tidak pernah merasa kehilangan romantika di sini. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun