Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Curhatan Dietrich di Malam Minggu

23 September 2014   03:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:53 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Malam minggu begini enaknya jalan jalan kemana, gitu. Tapi sebelum niat itu terlaksana, Dietrich menelepon saya. Tumben nih anak. “Ada apa Dit?” tanya saya to the point.

“Apa kabarmu Deb?” eh dia malah berbasa-basi.

“Yah, so far baiklah’ kata saya.

“Nggak malem mingguan?”

“Ini baru mikir mau jalan kemana, eh keburu dirimu nelpon hehe. Mau ngajak jalan nih?”

“Hehe. Hhmmm … aku pengen malem mingguan di telepon aja deh.“

“Hah di telepon? Sama gue?”

“Iya, sama kamu. Keberatan, bu?”

“Alaaa … pake nanya segala. Emang kalo gue keberatan terus elo ganti tempat? Traktir gue maksudnya?”

“Hehe … besok deh aku traktir kamu Deb, malem ini lagi kepengen dating sama kamu di telepon.”

“Ada-ada aja, hihi. Iya deh, buat sobat gue yang paling deket, tapi yang paling perasa, haha.”

“Aduh Deb, janganlah begitu. Kamu juga sahabatku paling baik. Yang paling jujur nilai aku walau kadang sakit hati dengernya.”

“Aih, sorilah Om. Gue janji, perhatiin lagi kata-kata gue. Maklumlah Dit, semua temen-temen gue orangnya blak-blakan.”

“Iya, tapi tetep berempati dong sama jenis orang seperti aku ini, ” pinta Dietrich.

“Hahaha … memangnya elo jenis apa Dit?” pancing saya.

“Jenis pria sensitif, Deb.”

“Hahahaha... jujur banget sih. Ngomongin sensitif segala. Habis tes kehamilan ya si Dinda? Saya mencoba mengorek perkembangan mereka. Usia pernikahan mereka sudah setahun lebih deh kayaknya. Saya ingin tahu apakah Dinda sudah ada tanda-tanda hamil.

“Belum Deb,” singkat saja Dietrich menjawab.

“O ya sudah, sabarlah,” kata saya berbasa-basi.

“Deb …” kata Dietrich lagi.

“Ya?” timpal saya.

“Gimana kabar June?”

Aiiih, akhirnya keluar juga nama satu itu dari mulut Dietrich. Dua orang ini, June dan Dietrich rajin betul saling menanyakan kabar ex-nya.

“Baik-baik saja. Emang ada apa?”

“Oh syukurlah.”

“Hmmm, kangen sama sama dia?” tanya saya konyol.

“Iya Deb, kok kamu tahu?” jawab Dietrich cepat.

“Tahulah. Elo, gitu. Cinta mati sama dia,“ goda saya.

“Wahhh … jangan gitulah. Cinta tidak harus memiliki ‘kan?” jelas Dietrich.

Ih, sok berputitis nih si Dietrich. Jujur saja, saya sudah agak malas mendengarkan curhatan si Dit model begini. Bukankah dia sudah menentukan pilihannya? Kenapa disesali? Saya bukannya satu dua kali menyaksikan Dietrich masih suka memperhatikan June.

Kini saya bingung harus menanggapi apa. Meladeni perasaan kangennya pada June? Atau memperingatkan bahwa dia sudah menikah? Ah, nanti dia marah dan nggak mau curhat lagi. Saya paham, seseorang kadang perlu sebuah tempat untuk mengeluarkan uneg-unegnya. Mungkin ada yang belum selesai dari persoalan mereka kala Dietrich akan menikah dengan Dinda.

June pernah mengeluh itu pada saya. Dia menangis waktu Diertrich menolak bertemu untuk menyelesaikan masalah mereka. Padahal dadanya sudah sesak. Dietrich hanya berbicara di telepon, sementara waktu itu June sedang tinggal di rumah yang sama sekali tak nyaman untuk menerima telepon dengan topik yang sangat personal dan emosional pula. Hape? Wah masih mahal harganya waktu itu, baik handset maupun pulsanya. June minta mereka bertemu langsung, dan ditolak mentah-mentah oleh Dietrich.

Sampai akhirnya June mengatasi sendiri rasa sakitnya. Kami cukup berempati kepada June dan menghiburnya semampu kami. Tapi yang mencela juga banyak. Tindakan yang mereka ambil memang berisiko. Menjalin hubungan dengan orang yang masih punya ikatan. Saya termasuk yang mendukung June. Menurut saya mereka sangat cocok dan saling melengkapi. Tetapi saya juga memperlihatkan kepada mereka risiko apa saja yang bakal terjadi kalau mereka memutuskan menikah. Namun ketika akhirnya June yang ditinggalkan saya tetap siap untuk mendengarkan keluh-kesahnya. June bahkan merasa bahwa saya mulai bosan dengan tangisannya ketika dalam setahun itu June tak bosan-bosannya menyebut nama Dietrich.

Eh, kenapa ya saya bisa tahan mendengarkan June? Padahal, tidak kepada semua teman saya bisa dan mau bersikap solider seperti ini.

Saya juga tidak tahu.

Tapi logikanya adalah, ketika seseorang mengalami keterhilangan, dia sebetulnya sedang menimbun energi yang amat besar. Apakah itu kemarahan atau kesedihan. Kayaknya lebih aman kalau energi itu dilepaskan secara bertahap saja deh, jangan ditunggu sampai meledak.

June dalam seminggu bisa tiap hari menelepon saya. Saya memang kadang bosan dan suka ikut benci sama Dietrich. Menurut saya Dietrich itu penakut. Ah, tapi itu dulu. Sebelum saya tahu masalah yang sesungguhnya.

Lama kelamaan curhatan June jadi seminggu sekali, sebulan sekali, sesekali saja, lalu tidak sama sekali. Sekarang, kalau disinggung nama Dietrich dia hanya tertawa kecil saja.

June juga akhirnya tahu bagaimana Dinda sangat mencintai suaminya. Dan sangat berharap menikah hanya satu kali seumur hidup. Tentunya dengan Dietrich. Bukan dengan yang lain. Dietrich pernah bilang pada June, andai Dinda bertemu lelaki lain lalu tertarik dan mereka menikah. Sehingga dia bisa memilih June dan akhirnya menikah juga. Ending yang bahagia, begitulah.

Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, kok jadi kayak sinetron sih?

Tentu saja Dinda tidak ingin menikah dengan lelaki lain. Masa pacaran mereka cukup lama dan melewati proses putus-sambung beberapa kali. Dinda itu anak tunggal dan papanya sangat dekat dengan Dietrich.

Lalu, terhadap semua pengetahuan itu masih pantaskah June terus-menerus mengingat si Dietrich? Uh, tak usah ya.... kata June suatu ketika. Saya terbahak-bahak demi melihat mimik June yang begitu rupa menunjukkan rasa sebalnya pada Dietrich.

Cuma ya itu, mereka berdua selalu berada di lingkaran habitat yang sama untuk urusan pekerjaan. Dietrich sudah 4 tahun aktif di salah satu ormas yang berafiliasi dengan parpol baru di Indonesia. Kemudian mendaftar menjadi calon legislatif untuk salah satu dapil di DKI. Sedangkan June, sudah setahun ini bekerja sebagai tenaga lapangan di salah satu lembaga survey. Parpol dimana Dietrich menjadi anggota pernah jadi klien kantornya.

“Deb... ngelamun nih?” tiba-tiba Dietrch menyentak lamunan saya

“Hmm.. iya Dit. Kenapa?”

“Sorry ya kalau aku nanya si June. Tapi dia baik-baik saja kan?”

“Iya dia baik-baik aja kok. Lagi semangat ngurusin survey-surveynya. Dia keliling Indonesia setahun ini Dit,” kata saya sambil mereka-reka, apakah pertanyaan ‘apa June baik-baik saja’ itu bisa saya tafsirkan dengan: ‘apa June sudah punya pacar?’

“Wah, asyik dong ya?” kata Dietrich.

“Yaaaah, kamu tahulah si June gimana. Orangnya nggak bisa diem. Dia juga suka kan sama yang namanya penelitian, ngukur ini ngukur itu, lalu dengan tampang seriusnya dia bikin analisa ini dan itu, hahaha...”

“Hahaha .. iya, iya, itu aku juga tahu. Eeee ...”

“Kabar Dinda bagamana Dit? Baik-baik saja?” potong saya cepat. Udah ah, jangan nanya June melulu. Membahas si Dinda, istrinya, lebih baik, pikir saya.

“Dia baik Deb... “ jawab Dietrich singkat.

Malam ini, saya merasa sedikit bersalah karena tidak memberi akses informasi yang cukup kepada Dietrich tentang June. Maafin aku ya Dit. Aku lebih mempertimbangkan perasaan Dinda. Dia nggak tahu kan kalau kamu diam-diam masih mikirin si June? Trus, masa aku biarin sih? Udah ah! ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun