Mohon tunggu...
Ritti Piany Sangadji
Ritti Piany Sangadji Mohon Tunggu... Lainnya - Mahina Maluku

Penikmat puisi dan sastra, pembelajar sepanjang masa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

4.15-6.15 PM

11 September 2021   07:33 Diperbarui: 11 September 2021   07:38 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku melihatnya lagi, wanita paruh baya yang mengenakan baju abu-abu khas penguni gedung besar ini. Selalu, di jam ini, tak pernah terlambat. Jam 4.15 sore, jika kau kesini, kau juga tentu akan menjumpainya. Wanita pemilik tatapan meneduhkan namun sarat akan makna kesepian, bibirnya selalu tersenyum, cantik sekali, sambil sorot matanya menatap lurus ke arah jajaran bunga kembang sepatu berwarna putih yang tumbuh rapi di sudut sana.

Baru seminggu aku disini. Dan sama seperti wanita itu, aku juga mengenakan pakaian abu-abu. Bedanya, abu-abuku tak pernah kelihatan, ia selalu kututupi dengan jaket biru cerah bermantel toska yang diberikan ayah di hari ulang tahunku kemarin. Jaket yang penuh kenangan, ekspresi rindu tanpa batas. Ah sudahlah, aku disini tidak akan membahas jaket atau pakaian apapun itu namanya. Wanita yang kutaksir umurnya mendekati setengah abad itu lebih menarik untuk kupandangi.

Aku selalu duduk di tempat ini. bahkan sejak hari pertama aku menjadi bagian kecil dari kerumitan gedung ini. Aku menyukai tempatnya. Teduh, tak bising seperti bilik atau lorong tempat aku biasa menghabiskan sisa hari. Dan sejak hari pertama aku disini, aku selalu melihatnya, wanita tua itu, pada jam segini, dia akan mulai memasuki tempat ini, kemudian mengambil tempat di deretan bangku nomor 2 pojok kiri, dekat lampu taman bulat besar yang tingginya bisa mengalahkan pepohonan yang baru mulai tumbuh di dekat tempatku ini.

Satu minggu aku disini, satu minggu itu pula aku selalu melihatnya. Sosoknya Tak pernah datang lebih awal atau terlambat, selalu tepat jam 4.15, dia sudah memasuki tempat ini.

Hari ini ku beranikan diri untuk mendekatinya. Perlahan aku beranjak dari spot favoritku menuju ke tempat biasa wanita itu menghabiskan penghujung siangnya. Aku duduk tepat disampingnya, malu-malu aku menatap matanya dan ku sampaikan salamku melalui sebuah senyum terbaik yang pernah kuberikan pada pria yang diam-diam kusukai saat masa remajaku dulu. Wanita itu membalas senyumku. Membalas tatapanku, sekilas saja. Kemudian kembali memandangi barisan kembang sepatu disana. Aku diam, ah, bodoh! Kenapa mendekat kalau tidak ada topik diskusi?! Akhirnya sekarang kami duduk berdua, tanpa sepatah katapun yang terucap! Aku mengutuk diriku untuk kebodohan yang sudah kubuat sore ini. Dalam beberapa kasus, keberanian saja tidak akan cukup. Ia harus sepaket dengan perencanaan yang matang tentang untuk apa keberanian itu ada. Dan sekarang, aku mencemooh ketidak matangan rencana untuk duduk bersama wanita ini.

Aku kembali menatapnya. Masih dengan senyuman, tapi senyumku ini lebih sendu kala melihatnya. Wanita itu masih lurus memandangi pemandangan indah didepannya. Seolah tak terpengaruh dengan kedatanganku. Aku membalikkan pandanganku, menatap objek yang sama dengan apa yang dipandanginya.

"Kau tahu nak, hidup ini seperti kembang sepatu yang kita pandangi sekarang ini" wanita itu membuka pembicaraan. Aku refleks memandang kembali wanita itu setelah beberapa menit keheningan menemani kami.

"Maksudnya tante?"

"Bunga disana tampak cantik. Kelopak putihnya mengundang siapa saja yang lewat untuk memandangnya. Tapi nak, tak semua kelopak bisa berumur panjang. Ada saja tangan-tangan usil yang memetiknya saat kecantikan paripurna bunga itu sedang bagus-bagusnya" Aku terdiam, masih mencoba mencari maksud dibalik pembicaraan tak terencana ini.

"Dari kecil nak, kita dirawat, dididik dan disayangi penuh oleh orang tua kita. Sama seperti kembang sepatu itu, dia tumbuh disini. Dirawat oleh penjaga taman yang tengah beristirahat di sana, disiram tiap hari agar menjadi tanaman subur dan indah" Wanita itu berhenti sejenak. Kemudian memutar pandangannya kearahku. beliau tersenyum. Aku membalas senyuman itu, walau aku tahu, senyuman itu tidak ditujukan padaku.

Sekilas tadi kulihat, pandangan matanya tak lagi kosong, ada relung kenangan yang sedang ingin diselaminya. Sesekali beliau menarik napas, dan menghembuskannya kembali. seolah pelukan masalah yang bersarang di pikirannya ingin dilepas dengan segera. Tetapi kadang beliau terdiam, mungkin karena belum ingin membiarkan sepenggal memori di hari kemarin pergi begitu saja. Aku masih lancang menganalisis arah obrolan ini, inti pembicaraanya apa, apa maksud pernyataan pembuka yang beliau ucapkan barusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun