Mohon tunggu...
Septheani ritonga
Septheani ritonga Mohon Tunggu... wiraswasta -

reading and learning

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Like: Ada Apa Dengan Golkar

23 Desember 2014   02:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:40 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Belum selesai carut marut dualisme kepemimpinan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) antara kubu Romahurmuziy dan SDA dengan Ketua Umumnya Djan Farid kini publik kembaliterpaksa disuguhi cerita lain tentang partai politik. Partai Golongan Karya (Golkar) yang notobene merupakan partai senior juga mengalami kisruh politik layaknya partai gurem dan tidak berpengalaman. Jika kita mencermati pokok permasalahannya pada intinya sama, tidak ada regenerasi pemimpin yang dapat mengayomi, dan mengakomodasi dengan baik aspirasi anggota partainya. Akibatnya dualisme kepemipinan tidak bisa dihindari, kepentingan dan ambisi pribadi mengalahkan idealisme partai itu sendiri. Jika dilihat dari rekam jejak partai golkar yang didirikan sejak 20 Oktober 1964 partai ini seharusnya telah belajar dari pengalaman politik yang sulit sejak era Presiden Soekarno hingga runtuhnya rezim Presiden Soeharto. Partai Golkar mengalami tekanan luar biasa pada saat lahirnya reformasi tahun 1998 karena partai Golkar dianggap identik dengan penguasa orde baru. Golkar mengalami krisis identitas akibat citra yang buruk dimasyarakat dan dituntut untuk dibubarkan. Ketua Umum terpilih Akbar Tandjung mampu menyelamatkan golkar yang hampir saja karam karena hempasan gelombang politik saat itu.

Tahun ini partai golkar kembali mengalami guncangan politik yang justru berasal dari permasalahan internal partai sendiri. Partai terpecah menjadi faksi faksi yang masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Kemelut internal partai dimulai dengan konflikpemilihan ketua umum, sebagian mendukung pencalonan kembali Aburizal Bakri sebagian lagi menolak dan menghadirkan beberapa nama sebagai calon ketua umum. Skenario yang tak jauh berbeda dengan PPP yaitu antara kubu Romahurmuziy dengan kubu Surya Dharma Ali (SDA). Tren baru muncul di Indonesia dengan adanya “versi ini” dan “versi itu” dan istilah “KW 1” dan “KW 2”. Setelah kubu ARB sukses mengusung ARB menjadi ketua umum versi Bali dengan aklamasi, kubu yang bersebrangan yang digagas oleh Tim penyelamat partai golkar juga menyelenggarakan munas di Ancol, Jakarta yang akhirnya memilih Agung Laksono memjadi ketua umum Partai Golkar versi Jakarta. Perselisihan berlanjut dengan saling klaim ketua umum yang sah berdasarkan AD/RT partai yang berujung dengan saling mengajukan legalitas ke kementerian Hukum dan HAM yang hasilnya ternyata masih abu-abu karena kementerian hukum dan HAM belum dapat mengabulkan kepengurusan partai kedua kubu dan menyarankan islah kedua kubu tersebut sesuai dengan mekanisme partai.

Sambil mengisi amunisi untuk tindakan selanjutnya kedua partai kini kerap saling sindir di media dan mengeluarkan lelucon politik seperti “politik burung unta” yang dilontarkan politikus golkar Hajriyanto yang ditanggapi oleh kubu Agung Laksono bahwa mereka adalah “burung merpati”, sedangkan kubu ARB mengklaim sebagai “burung Garuda”. Jika di dalam munas sebelumnya perpecahan di partai Golkar melahirkan sejumlah partai baru peserta pemilu bagaimana dengan akhir cerita partai golkar kali ini, akankah bercerai atau rujuk kembali? Ataukah malah melahirkan klub penc!nta burung?entahlah.. yang pasti publik sudah bosan dengan sandiwara-sandiwara politik yang dimainkan politikus negeri ini. Tetapi kisruh internal partai golkar ini dengan cepat menggerus elektabilitas partai golkar ke angka 8 % menurut survei LSI (Lingkaran Survei Indonesia). Sungguh dampak yang signifikan, jika konflik internal ini terus dibiarkan rasanya tidak perlu pengamat politk handal untuk meramalkan nasib partai beringin di pemilu 2019.

Menunggu detik-detik episode terakhir perselisihan partai golkar mungkin kutipan karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer berikut  bisa kita renungkan bersama :

“Sejak zaman nabi sampai kini, tak ada manusia yang bisa terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila. Bahkan pertama-tama mereka yang membuang diri, seorang diri di tengah-tengah hutan atau samudera masih membawa padanya sisa-sisa kekuasaan sesamanya. Dan selama ada yang diperintah dan memerintah, dikuasai dan menguasai, orang berpolitik “(Rumah Kaca).

“Saya hanya mendukung partai yang berpihak kepada keadilan dan kemanusian (Saya Ingin Lihat Semua ini Berakhir).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun