Hari raya Natal 25 Desember sebentar lagi, semua umat Kristiani diseluruh dunia pasti tidak sabar menunggu momen sakralis ini. Adalah sebuah pemandangan yang jamak bahwa pada hari itu (plus tanggal 24 malam), Gereja-Gereja penuh sesak, rumah-rumah berbenah dengan pohon Natal, mama-mama sibuk membuat kue didapur.
Bagi kebanyakan orang diera modern ini, Natal adalah momen perayaan, selebrasi dan kilas balik. Sepertihalnya orang-orang didesa saya, memasuki bulan November ini, bunyi musik Natal dari rumah tetangga terus berdentum, padahal natal masih sebulan lagi, pikirku.
Kebiasaan memasang lagu rohani menjelang hari Natal seperti ini, memang sudah menjadi tradisi ditempat saya. Bukan hanya itu, ada juga kegiatan-kegiatan lain dalam rangka memeriahkan hari Natal 25 Desember yang akan datang.
Dimana, disetiap gang-gang sudah terpasang lampu warna warni, bahkan sudah ada yang bolak balik hutan mencari rotan untuk membuat pohon dan kandang Natal. Tak terhitung juga hewan seperti babi, ayam dan kerbau yang siap untuk disembelih pada saatnya.
"Amang poka muings haju situ ko. Salak teme cewulang di Natal ho te? (Paman, Natalnya kan masih sebulan lagi, apa tidak terlalu dini membuat itu (kandang dan pohon Natal)" tanyaku
"Mau ye sen. Siap muings bahan. Biar tinggal pasang kaut ho len ga. (Iya memang, tapi kita persiapkan saja dulu bahannya. Supaya nanti tinggal di pasang saja) pungkas paman saya dengan semangatnya
Dipojok lain, ada juga kelompok esensialis yang selalu mengingatkan makna sosial natal pada khalayak Kristen. Kelompok ini biasanya hadir mengungkapkan keperihatiannya dengan memberi refleksi soal Natal diberbagai tempat, tak terkecuali di media sosial:
"Natal seharusnya bukan hari huru hara. Natal seharusnya tidak dilakukan dalam suasana konsumtif. Natal adalah perayaan kesederhanaan Ilahi bahwa Yesus Kristus telah datang" dan masih banyak lagi jargon moralis lainnya.
Sepintas, terlintas dibatok kepala saya sebuah pertanyaan, bagaimana sih seharusnya memaknai kelahiran Yesusu ini? Didalam Alkitab sendiri, cerita kelahiran Yesus memang tidak ada kisah kronologisnya. Maria mengandung dan tiba-tiba melahirkan. Proses panjang seputar kelahirkan Yesus tidak dideskripsikan secara jelas.
Padahal, kita menunggu mungkin ada kejutan seperti kelahiran anak dari orang-orang besar atau tokoh-tokoh terpandang didunia. Dimana bisa ada foto, kemudian difilmkan dan ditangani dokter ahli dan tempat tidur sang bayi kebanjiran hadiah misalnya.
Lompatan peristiwa ini hendak mengatakan kepada kita tentang sisi lain kelahiran Yesus. Kelahiran yang normal, biasa saja dan dari orang-orang kecil. Bahkan tidak ada dokter waktu itu. Tidak juga dirumah sakit berkelas seperti di Siloam. Semuanya penuh dengan kesederhanaan, taka da perbedaan dengan kondisi orang miskin. Bahkan waktu itu, Maria hanya dibantu oleh suaminya Yoseph.
Disisi lain juga, bila kita membaca Injil Lukas, mau menceritakan sisi kemanusiaan yang sederhana dari Tuhan Yesus. Tuhan hadir dalam pengalaman manusia, mengambil bagian dalam kehidupan kaum marginal dan orang kecil.
Memang saat ini umat Kristen sedang dilematis, Natal sedini menjadi momen paradoks, sebab kelahiran Tuhan Yesus Kristus dimaknai oleh dua sisi yang bertentangan dikalangan umat Kristiani. Terlepas dari metamorfosis perayaannya Natal yang identik dengan campuran budaya lokal, yang terpenting perayaan Natal tidak menyimpang dari akidah.
"Natal merupakan pesta iman dan seyogiayanya dimaknai secara khusyuk untuk membuka hati menerima kedatangan Bayi Yesus sang Juru Selamat"
Saya lebih suka untuk mengatakan bahwa hari Natal (sebagaimana hari-hari besar agama lainnya) semestinya kita 'maknai', bukan 'dirayakan'. Tanggal berapapun Natal itu, itulah saat setiap mereka yang percaya memaknai dalam hatinya betapa Tuhan sang Pencipta kehidupan begitu mencintai kita dengan menghadirkan kasih melalui seorang Bayi mungil di Betlehem bernama Yesus Kristus.
Tuhan yang begitu penyanyang mau merendahkan diriNya menjadi sama dengan manusia: lahir dengan sederhana, menjalani kehidupan yang keras, dan mati dengan bilur-bilur luka. Itu merupakan pengorbanan yang menurut saya tidak akan mampu ditiru oleh siapapun, dan merupakan manifestasi cinta yang hakiki.
Merayakan Natal bukan berarti kita mengenang ragawiNya kedunia yang kita peringati (erlepas apakah Yesus lahir pada tanggal 25 Desember atau tidak), melainkan kelahiran pesan-pesan moral bagi dunia yang sudah penuh cemar.
25 Desember hanyalah sebuah tanggal pengingat, bahwa Tuhan begitu peduli dengan dunia kita maupun peduli dengan prahara kehidupan umatNya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H