Memang saat ini umat Kristen sedang dilematis, Natal sedini menjadi momen paradoks, sebab kelahiran Tuhan Yesus Kristus dimaknai oleh dua sisi yang bertentangan dikalangan umat Kristiani. Terlepas dari metamorfosis perayaannya Natal yang identik dengan campuran budaya lokal, yang terpenting perayaan Natal tidak menyimpang dari akidah.
"Natal merupakan pesta iman dan seyogiayanya dimaknai secara khusyuk untuk membuka hati menerima kedatangan Bayi Yesus sang Juru Selamat"
Saya lebih suka untuk mengatakan bahwa hari Natal (sebagaimana hari-hari besar agama lainnya) semestinya kita 'maknai', bukan 'dirayakan'. Tanggal berapapun Natal itu, itulah saat setiap mereka yang percaya memaknai dalam hatinya betapa Tuhan sang Pencipta kehidupan begitu mencintai kita dengan menghadirkan kasih melalui seorang Bayi mungil di Betlehem bernama Yesus Kristus.
Tuhan yang begitu penyanyang mau merendahkan diriNya menjadi sama dengan manusia: lahir dengan sederhana, menjalani kehidupan yang keras, dan mati dengan bilur-bilur luka. Itu merupakan pengorbanan yang menurut saya tidak akan mampu ditiru oleh siapapun, dan merupakan manifestasi cinta yang hakiki.
Merayakan Natal bukan berarti kita mengenang ragawiNya kedunia yang kita peringati (erlepas apakah Yesus lahir pada tanggal 25 Desember atau tidak), melainkan kelahiran pesan-pesan moral bagi dunia yang sudah penuh cemar.
25 Desember hanyalah sebuah tanggal pengingat, bahwa Tuhan begitu peduli dengan dunia kita maupun peduli dengan prahara kehidupan umatNya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H